MAKASSAR, Suara Muhammadiyah-Penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan legislatif pada tahun 2018 dan 2019 telah menimbulkan keriuhan baru. Tensi panas kadang terasa hingga ke akar rumput. Seharusnya, masyarakat ikut tidak hanya dalam keriuhan, tetapi juga dalam proses pengawasan semua jenjang demokrasi. Sejak awal hingga setelah menjabat.
Mantan Komisioner Komisi Penyelenggara Pemilu Chusnul Mar’iyah memberikan kuliah politik di Lantai 17, Gedung Iqra Kampus Unismuh Makassar, Sabtu 6 Oktober 2018. Senior Lecturer in Departement of Political Science Universitas Indonesia, membawakan materi tentang “Peta Politik Indonesia Kontemporer Keummatan dan Kebangsaan: Pemilu Serentak 2019. Mereka didampingi Dekan Fisipol Unismuh Makassar, Dr Ihyani Malik.
Hadir dalam kesempatan itu antara lain Rektor Unismuh Makassar, Dr H Abdul Rahman Rahim, SE,MM, Ketua BPH Unismuh Makassar, Dr Ir HM Syaiful Saleh, M.Si, Wakil Rektor I, Dr Ir Rakhim Nanda, Wakil Rektor II, Dr Andi Sukri Syamsuri dan dosen Unismuh.
Chusnul Mar’iyah menyatakan, dalam demokrasi ada kompetisi atau persaingan, tetapi tidak termasuk penggunaan kekuatan dalam demokrasi. Dalam demokrasi, masyarakat harus ikut berpartisipasi di dalamnya. Tidak boleh ada warga negara yang dipinggirkan dalam proses politik. Menurutnya, warga negara perempuan seringkali dipinggirkan dalam proses politik. Padahal, semua warga negara punya hak dan kebebasan untuk berpolitik.
Menurutnya, dalam rangkain penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2009, mulai dari pemilu legislatif, pemilu pilpres dan sampai kepada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi dan kabupatan sampai saat ini, masih banyak masalah. Kesalahan ini banyak bersumber dari lemahnya lembaga KPU yang ada.
Oleh karena itu, siapa yang harus diawasi dalam Pemilu? Menurut Chusnul Mar’iyah, yang harus diawasi dalam pemilu adalah peserta pemilu (partai politik dan perseorangan), calon petahana, regime yang berkuasa dengan aparatur negara (birokrasi, TNI, Polri, dan BIN) yang dapat menggunakan dana APBN dan APBD dan fasilitas negara hanya untuk partainya, kelompoknya dan petahana untuk maju kembali.
“Yang juga patut diwaspadai adalah penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu, DKPP (semua dalam tahapan pemilu, DPT, sistem IT KPU, kampanye, hari H, sengketa hasil pemilu). Juga Bandar politik yang menguasai media, yang menggelontorkan dana sebagai sistem ijon politik, juga civil society dan pemilih itu sendiri,” katanya.
Pemilu dalam demokrasi itu, kata Chusnul Mar’iyah, merupakan dasar legitimasi pembentukan pemerintahan, menjadi sarana partisipasi warga negara, yaitu tempat bagi warga negara dalam mengevaluasi kepemimpinan politik pejabat selama satu periode, dan memberinya sanksi berupa penolakan atau dukungan kembali. Selain juga menjadi arena persaingan bagi kekuatan-kekuatan politik dan cita-cita ideologi. Dalam proses ini, mutlak dibutuhkan pengawasan dari publik. (rytber1/ridha)