Oleh: Ahmad Najib Burhani PhD
Beberapa kajian telah dilakukan untuk melihat mengapa umat Islam sepertinya selalu kalah di Indonesia. Salah satu temuan dari kajian itu misalnya menyebutkan bahwa umat Islam Indonesia itu merupakan mayoritas dalam jumlah, tapi memiliki mentalitas sebagai minoritas. Istilah yang sering dipakai adalah minority complex. Penyakit minority complex ini tentu biasanya dialami oleh kelompok minoritas. Ini terwujud, misalnya, ketika mereka melihat sesuatu yang unique yang ada pada mereka sebagai suatu penyimpangan atau keanehan.
Mereka melihat uniqueness sebagai kelemahan atau bahkan sebagai problem atau masalah. Namun minority complex juga bisa terjadi pada kelompok mayoritas, seperti terjadi pada umat Islam Indonesia yang secara kuantitas mencapai hampir 88 persen dari total penduduknya. Penyakit inilah yang di antaranya yang menyebabkan sebagian umat Islam selalu berpikir tentang ancaman dari kelompok minoritas, hidup dalam bayang-bayang ketakutan, dan sulit berpikir sebagai bangsa atau umat yang besar. Orang yang menderita minority complex ini biasanya akan merasa perlu bantuan kekuasaan untuk bisa memperoleh sesuatu yang semestinya bisa diperoleh tanpa melalui bantuan kekuasaan.
Fenomena ini juga bisa dilihat dengan kajian pos-kolonialisme, bahwa mentalitas atau minority complex sebagai warisan dari masa kolonial. Dalam perspektif ini, apa yang terjadi di Indonesia ini bisa dijelaskan dengan melihat fenomena beberapa negara bekas jajahan negara lain. Meski penjajah telah meninggalkan negeri jajahannya, sifat dan mentalitas sebagai bangsa jajahan masih melekat pada sebagaian rakyat dan kebetulan mereka yang menjadi penguasa juga ingin berperilaku seperti penjajah.
Sikap dan mentalitas seperti itu diciptakan atau ditanamkan oleh penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya. Ini misalnya terwujud dalam penamaan inlander kepada pribumi, sebagai bentuk diskriminasi sosial. Pada zaman colonial kelompok penjajah menciptakan tiga kelas yang berbeda, yaitu: kelompok penjajah kulit putih (Europeanen) sebagai kelas sosial tertinggi. Kelopok berikutnya yang menjadi kelompok sosial kelas dua adalah orang Arab, India dan Tionghoa. Istilah yang biasanya dipakai adalah Vreemde Oosterlingen (Timur Asing). Mereka sering menjadi mediator atau broker antara kelas atas penjajah dan kelompok masyarakat kelas tiga yang merupakan pribumi atau inlander.
Dengan sistem kelas sosial ini, maka kelas paling bawah diharapkan terus menghamba kepada orang asing. Sistem kelas ini kemudian ditiru atau dilanjutkan oleh oleh Orde Baru dengan menjadikan kelompok Tionghoa sebagai kelompok pedagang, tidak menjadi aparat pemerintah. Diskriminasi ini diperparah dengan politik Orde Baru yang tidak berpihak kepada umat Islam. Pada awal pemerintahan Orde Baru, umat Islam yang taat sering dianggap sebagai ancaman terhadap negara karena mereka dianggap memiliki loyalitas ganda ke negara dan agama.
Adakah persoalan lain yang membuat kita ketinggalan selain isu minority complex? Tentu ada, di antaranya adalah ketidakmampuan kita berpikir luas, keluar dari bingkai kelompok agama. Kasus yang terjadi di Mesir dan Tunisia menunjukkan bahwa ketika umat Islam mendapat kesempatan memimpin atau mendapat kekuasaan, maka yang pertama kali diurus atau diperhatikan seringkali adalah urusan kelompok agama saja. Ketika Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu di Mesir pasca Arab Spring. Ikhwanul Muslimin mendapat suara terbanyak dan Mohamed Morsi terpilih menjadi presiden. Namun baru satu tahun memimpin, banyak rakyat Mesir yang merasa dikecewakan. Rasa kecewa itu kemudian memberi kesempatan kepada militer untuk melakukan kudeta dengan menggunakan kekuatan rakyat.
Demikian pula halnya yang terjadi di Tunisia dengan Partai Ennahda. Nasibnya memang tak seburuk Ikhwanul Muslimin di Mesir. Partai ini juga lebih terbuka terhadap perbedaan dan pluralitas di masyarakat dengan berusaha merangkul beragam kelompok dan menjembatani berbagai perbedaan. Bahkan banyak yang melihat partai ini jauh lebih baik dari AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) di Turki. Namun pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Moncef Marzuki dari Ennahda Party akhirnya kalah dalam pemilu yang diadakan tiga tahun setelah Arab Spring. Mereka dianggap tak bisa memuaskan harapan berbagai kelompok kepentingan di masyarakat.
Untuk di Indonesia, hal serupa terjadi dengan partai-partai Islam seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Ketika orang dari partai ini mendapat mandat menjadi menteri di kementerian tertentu, isu yang berkembang adalah bahwa kementerian itu hanya menjadi sapi perahan. Pejabat dan staf di kementerian itu diganti dengan orang partai atau di-PKS-kan. Benar atau tidaknya isu ini tentu masih perlu dibuktikan. Tapi mencuatnya “skandal sapi” menunjukkan bahwa apa yang selama ini dituduhkan kepada PKS mendapat semacam pembenaran. Tentu saja ini tidak hanya terjadi di PKS, tapi juga partai-partai lain yang berbasiskan Islam semisal PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional). Jika itu terjadi pada partai yang tak membawa label agama, maka ada sedikit maklum meski tetap saja tak bisa diterima. Namun jika itu terjadi pada partai yang membawa bendera Islam, maka sepertinya dosanya lebih besar.
Cara berpikir sektarian, hanya untuk partai atau kelompok agamanya, ini diantaranya yang membuat Islam kalah atau orang tak percaya dengan partai Islam lagi. Umat Islam ini masih sulit berpikir atau berjuang dengan melepaskan belenggu kelompok. Meminjam bahasa Buya Ahmad Syafii Maarif, mestinya kita sudah membalikkan cara berpikir kita dari “ke-Muhammadiyahan, ke-Indonesiaan, dan kemanusiaan” menuju “kemanusiaan, kebangsaan, dan ke-Muhammadiyahan”. Namun yang terjadi tetap pada pola yang pertama.
Ringkasnya, paling tidak ada dua persoalan yang sering membuat umat Islam kalah, pertama adalah “minority complex” dan yang kedua adalah cara berpikir sektarian atau kekelompokan.
Penulis adalah Peneliti LIPI dan Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “wawasan” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 2 tahun 2015