KAZAKHSTAN, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir bersama Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini menghadiri VI Congress of the Leaders of World & Traditional Religions yang diselenggarakan di Kazakhsztan pada 10-11 Oktober 2018. Pembukaan acara yang digelar di Atrium Hall the palace of peace and accord dan dihadiri Presiden Kazakhsztan Nursultan Nazarbayev dan Presiden Serbia Aleksandar Vučić.
Forum ini dihadiri 82 negara perwakilan, yang terdiri dari pemimpin organisasi agama Islam, Kristen, Hindu, serta perwakilan organisasi internasional, seperti Aliansi Peradaban PBB, OSCE , UNESCO. Pertemuan ini membahas peran para pemimpin agama dalam menjaga dunia yang aman. Serta melibatkan pemangku agama dalam membangun kepercayaan dan saling menghormati, memerangi ekstremisme agama dan menciptakan dunia yang aman.
Dalam kesempatan itu, Haedar Nashir menyampaikan materi ‘Religion and Globalization:Challenges and Responses’. Menurutnya, agama pada dasarnya tidak menentang globalisasi. Islam khususnya, sejak awal perkembangannya di Kota Makkah dan Madinah telah menyerukan nilai-nilai kosmopolitanisme. Melampaui sekat-sekat SARA.
“Islam secara konsisten menyerukan pesan universal yang tidak terbatas suku tertentu dan etnis, geografi dan daerah. Islam telah menyerukan persaudaraan universal dan kerja sama antara orang-orang dari elemen penting dunia,” tutur Haedar.
Selain memberikan dampak positif, globalisasi, kata Haedar, juga dapat memberikan dampak negatif. Tergantung pada penyikapan terhadap globalisasi yang merupakan kodrat zaman. Dalam hal ini, peran agama Islam sangat dibutuhkan untuk meminimalisir dampak negatif globalisasi. Pesan itu dirujuk pada QS. al-Maidah ayat 2 dan QS. al-A’raf ayat 56.
“Dalam hal ini Islam, harus memposisikan diri dalam proses yang tak terelakkan dari globalisasi. Agama harus tetap sebagai sumber dorongan untuk globalisasi yang akan membawa kebaikan bersama, tapi pada saat yang sama, harus berfungsi sebagai pengingat dan alarm bagi umat manusia untuk tidak terlibat dalam perbuatan yang merusak,” ulasnya. Perilaku fasad fi al-ardh dianggap sebagai pemicu dampak negatif yang merusak keseimbangan dan keserasian semesta.
Haedar juga menuturkan bahwa tanggung jawab merespon globalisasi tidak hanya berada di tangan para ulama atau pemimpin agama dalam arti konvensional saja, tetapi juga menjadi kewajiban bagi semua umat manusia untuk selalu waspada bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena, yang terkadang memiliki sisi yang baik maupun buruk, dan karena itu agama tidak bisa berperan sendiri.
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar terus konsisten menyerukan untuk pengembangan spiritualitas yang sejalan dengan era globalisasi. Konsepsi untuk menyelaraskan nilai universalitas agama dengan konteks ruang dan waktu yang terus bergerak maju adalah bagian dari kontekstualisasi terhadap ajaran agama yang shalih likulli zaman wa makan.
“Muhammadiyah mendesak anggotanya pada khususnya, dan muslim di seluruh dunia pada umumnya, untuk selalu melakukan ijtihad menghadirkan Islam yang berkemajuan, dan sesuai dengan kebutuhan modernitas saat ini, serta mencegah bencana efek samping dari globalisasi yang terjadi,” urai Haedar Nashir. (ribas/ppmuh)