YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (Himmpas) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar seminar bertajuk “Menggagas Islamisasi, Berikan Teladan Tak Sekadar Simbolisasi” di Aula FMIPA UGM, pada Sabtu, 13 Oktober 2018. Hajatan ini menghadirkan Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Maarif, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta KRT Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, dan praktisi tasawuf sekaligus Direktur PhiloSufi Centre Surabaya Yusuf Daud Risin.
“Saya orang yang sangat gelisah. Umur sudah hampir 84 tahun. Apa yang saya gelisahkan? Saya menyaksikan jarak yang sangat jauh antara idealisme Islam dengan perilaku umatnya. Baik pada tingkat global, nasional, regional, hingga ke desa-desa,” tutur Buya Syafii mengawali pemaparannya.
Buya Syafii membacakan beberapa ayat al-Qur’an untuk menunjukkan contoh kesenjangan yang terjadi. Semisal QS. Al-Anbiya (21):107, yang menyatakan, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Jika berkaca pada ayat itu, maka umat Islam seharusnya merupakan umat yang senantiasa menebar rahmat, kasih sayang, dan kebaikan. Prasyarat untuk itu adalah bahwa umat Islam telah selesai dengan dirinya dan berdaya untuk menebar kebaikan kepada semua.
“Alamin ini jamak dari ‘alam. Bukan hanya alam manusia. Tapi juga semua alam, tumbuhan dan hewan,” kata Buya. Idealisme Qur’an menyatakan demikian, namun dalam prakteknya, Islam justru masih belum bisa menjadi rahmat bagi umatnya sendiri. “1,6 Milyar penduduk muslim di seluruh dunia. Semua negara ada muslimnya sekarang. Berkembang dengan cepat, tapi apakah nampak rahmatnya?” kembali Buya mengajukan pertanyaan.
Buya lantas mengajak untuk mencermati hasil survei tentang indeks negara Islami yang dilakukan beberapa waktu lalu. Survei itu berusaha untuk mengukur kondisi suatu negara berdasar pada beberapa indikator nilai-nilai Islam, semisal kedamaian, keamanan, kebahagiaan, kesejahteraan, kebersihan, dan seterusnya. “Hasilnya, tidak satu pun negara-negara Islam yang masuk (dalam kategori Islami). Yang masuk justru negara-negara Skandinavia. Padahal mereka tidak bersyahadat,” ujarnya.
Predikat Khairu Ummah Harus Diusahakan
Buya menunjukkan ayat 110 dari QS. Ali Imran (3), yang juga menampakkan kesenjangan. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dalam menjelaskan ayat ini, Buya menyatakan bahwa khairu ummah merupakan predikat sebagai suatu komunitas yang unggulan dan berkualitas dalam semua bidang. “Kuntum khaira ummatin. Ummat terbaik dibandingkan komunitas lain. Semua perilaku, sistem sosial, ekonomi, politik, itu terbaik. Melakukan yang makruf yang dibenarkan atau diperbolehkan oleh syariat. Mencegah yang mungkar, itu juga kerja kita,” urainya.
Menyikapi realita itu, Buya Syafii mengajak untuk kembali berkaca, menyadari realitas, dan selanjutnya mulai bergerak membenahi keadaan. Tidak cukup sekadar mengutuk keadaan. Ajakan itu berkaca pada QS. Al-Ra’du (13): 11. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Ayat itu mengindikasikan bahwa Allah baru akan berpihak untuk membantu umat Islam bangkit, ketika umat tersebut mau untuk berbenah diri. “Kalau prakarsa dan inisiatif tidak diambil, maka Tuhan diam saja,” ungkapnya.
Menurut Buya, ayat tersebut bermakna luas. Selain ayat itu, terdapat ayat lainnya yang menyatakan bahwa jika manusia mau untuk membela (nilai-nilai yang diperintahkan) Allah, semisal nilai tentang kebenaran, keadilan, kesetaraan, persaudaraan, dan seterusnya, maka Allah akan membela orang-orang tersebut.
Artinya, umat Islam sudah saatnya untuk berubah. Realitas yang ada perlu dibenahi. “Saya tidak ingin membawa Anda ke dunia pesimis. Tapi ini realitas kita. Allah tidak mau mengubah, kalau kita tidak mau merubah,” ulasnya.
Realitas lainnya yang juga disedihkan adalah kondisi umat Islam yang lebih mementingkat kulit dibandingkan pada substansi isi. Umat Islam terjebak pada simbolisasi dan formalisasi. “Umat islam lebih tertarik pada simbol, bukan pada substansi. Haji, umrah, nunggu puluhan tahun. Di sana nangis-nangis, pulang ke Indonesia, perilaku tidak berubah juga,” ujar Buya memberi contoh perilaku simbolis dalam beragama.
Muslim Bertauhid Punya Tanggung Jawab Menegakkan Keadilan
Buya Syafii juga mengajak para peserta untuk mulai berpikir jauh ke depan. Mengupayakan Islam kembali pada nilai-nilai idealitasnya. Islam yang memberi rahmat bagi semesta. Islam yang menganjurkan nilai-nilai luhur keadilan, kebenaran, kesetaraan, kepedulian, kebersamaan, dan seterusnya.
Jika ditelusur pada sejarah awal Islam, diutusnya Nabi salah satunya adalah untuk menyadarkan manusia tentang peran ini. “Di Makkah, Nabi belum berkuasa. Tapi ayat-ayatnya sudah membicarakan tentang kemiskinan, ketidakadilan yang ekstrem,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam yang harus ditegakkan tidak hanya agama tauhid yang terasing dari kehidupan, tetapi adalah agama yang memiliki keseimbangan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.
“Orang Arab jahiliyah juga percaya Allah. Tetapi kepercayaan kepada Allah tidak ada kaitannya dengan tegaknya keadilan,” ulasnya. Contoh perilaku yang ditentang adalah semisal di QS. Al-Mutaffifin tentang perilaku curang atau tidak jujur dalam praktik berdagang. Mereka adalah ahli berdagang tetapi tidak jujur.
Selain tidak jujur, Arab jahiliah juga memelihara kesenjangan sosial-ekonomi yang sangat tajam. Para elit bermewah-mewahan dan para jelata berkesusahan. “Nabi melihat ketimpangan. Sebelum menerima wahyu, nabi tidak mengenal agama. Baru setelah itu diperintahkan untuk merubah keadaan. Inna sanulqi alaika qaulan saqila. Nabi diberi perkataan yang berat. Nabi diberi beban untuk memperbaiki keadaan dan perilaku mereka,” katanya. Maka ketika berbicara tentang tauhid, maka juga berbicara tentang keadilan. Tugas manusia bertauhid untuk menegakkan keadilan.
Buya Syafii mengacu pada ungkapan populer yang bersumber dari Ibnu Taimiyyah, “Allah berpihak kepada pemimpin yang adil, meskipun kafir. Sebaliknya, Allah tidak berpihak kepada pemimpin yang zalim, meskipun Muslim.” Nilai keadilan sosial-ekonomi yang mengacu pada sila kelima Pancasila menjadi sorotan Buya Syafii dalam berbagai kesempatan. Tanpa tegaknya pilar keadilan, maka berbagai masalah akan terus bermunculan, dan menjadi bom waktu.
Di banyak ayat al-Qur’an, nilai-nilai keadilan begitu dikedepankan. Bahkan, tujuan diutusnya para nabi, salah satunya adalah untuk mewujudkan keadilan di muka bumi. Semisal disebut dalam QS. Al-Hadid (57) ayat 25, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
Supaya mendapatkan pemimpin yang adil dan tidak zalim, maka umat ini tidak boleh bodoh. “Umat yang bodoh jadi makanan penguasa yang zalim. Disuruh taat saja. Al-Ghozali menyatakan ada ulama suu, ada ulama yang jahat. Memberi fatwa untuk membenarkan penguasa. Muslim yang berkuasa kadang mendapatkan legitimasi dari ulama. Umat harus cerdas,” ulasnya
Dunia Arab Muslim Sedang di Titik Nadir, Jangan Taklid pada Peradaban yang Jatuh
Gejala The Arab Spring atau Musim Semi Arab yang digadang-gadang sebagai awal kebangkitan dunia Arab, telah gagal. Gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi sejak 18 Desember 2010, telah berlangsung di Tunisia dan Mesir, perang saudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah dan Yaman, protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko dan Oman. Terdapat juga demonstrasi kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, hingga Sudan. “Arab Spring telah gagal. Itu perlawanan terhadap rezim kekuasaan dan ulama yang memberi ruang bagi penguasa,” kata Buya.
Menurutnya, dengan gagalnya Arab Spring telah menunjukkan bukti bahwa dunia Arab sedang di titik nadir. “Dalam bacaan saya, dunia Islam, khususnya Arab muslim itu sedang berada di titik nadir, di titik yang paling bawah. Tetapi muslim non-Arab masih juga berkiblat ke sana. Karena memang dulu pernah jaya. Padahal sekarang hampir semuanya sedang berantakan. Di mana rahmatnya? Doa panjang-panjang, tapi seperti tidak didengar Tuhan,” kata Buya Syafii.
Oleh karena itu, umat Islam di seluruh penjuru dunia perlu untuk menyadari bahwa Arab tidak sama dengan Islam itu sendiri. Jangan menjadikan semua yang datang dari Arab sebagai seolah-olah adalah bagian dari agama Islam dan oleh karena itu perlu diikuti mentah-mentah. Ketidakmampuan muslim non Arab untuk memilah antara bagian dari substansi agama dengan bungkus kebudayaan Arab adalah sebuah masalah besar. Muslim yang bukan penutur Bahasa Arab kerap merasa tidak percaya diri dan pada akhirnya menjadi taklid pada dunia Arab.
Bermula dari Perseteruan Kader Inti Nabi
Kata Buya Syafii, telah muncul semacam Arabisme salah jalan atau misguided Arabism sejak di masa akhir Khulafa’ al-Rasyidin yang terus diwariskan ke seluruh penjuru. Sampai hari ini, Muslim non-Arab ternyata tidak punya tapisan yang ketat untuk menilai Arabisme dalam kategori ini berdasarkan kriteria al-Quran yang difahami secara benar dan kontekstual. Situasi menjadi semakin runyam, karena Muslim yang non-Arab itu pada umumnya tidak mampu mempelajari ajaran Islam dari sumber aslinya dalam bahasa Arab. Maka ketergantungan rumusan Islam dalam bungkus Arabisme itu tidak dapat dielakkan lagi.
Perang Jamal pada tahun 656 Masehi dan Perang Shiffin pada 657 Masehi melibatkan elite Arab Muslim generasi awal dengan aktor utamanya ‘Ali bin Abi Thalib, Aisyah binti Abu Bakar, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Qais bin Sa’ad hingga Ammar bin Yasir. Para tokoh ini merupakan kader inti yang dididik langsung oleh Nabi dan beberapa justru adalah termasuk yang dijamin masuk surga.
Menurut Buya Syafii, kondisi yang dapat disebut bebas dari perseteruan yang sangat dibenci dalam ajaran Islam adalah ketika kepemimpinan Abu Bakar hingga Umar bin Khattab saja. Setelah itu, gejolak politik sudah tidak bisa diredam lagi dan akhirnya sesama muslim saling bunuh-bunuhan. “Usman dibunuh oleh muslim. Ali juga dibunuh oleh mantan pengikutnya, Khawarij,” kata Buya. Kondisi ini bukan untuk menunjukkan bahwa kita lebih baik dan lebih suci daripada mereka yang dididik oleh Nabi, justru untuk menjadi pembelajaran dan kemudian tidak mewariskan contoh yang tidak baik ini.
Memang, peradaban Muslim Arab sempat berada di era keemasannya. Menjadi pusat peradaban dan pengetahuan. Namun, itu hanya berlangsung sementara. Rapuh oleh sebab dibangun di atas landasan yang tidak kokoh. “Peradaban muslim itu ditegakkan di atas tengkorak orang muslim. Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, maka sampai kuburan para Dinasti Umayyah dibongkar. Sampai segitunya bermusuhan antar sesama,” urainya.
Dari perseteruan politik itu kemudian melahirkan varian besar Sunni, Syiah, dan Khawarij. Ketiga arus besar ini sama-sama merasa yang paling benar dan mewariskan pertikaian yang tidak ada ujungnya. “Ini (Sunni, Syiah, Khawarij) semua buatan sejarah. Dan semuanya merasa paling benar. Lalu siapa yang paling benar?” tanya Buya. Solusinya adalah dengan keluar dari semua kotak sektarian itu dan menjadi muslim yang otentik.
Al-Qur’an yang dipahami dengan hati dan pikiran yang jernih dan tulus sebagai kunci untuk kembali. “Tidak sulit, bagi saya, jadikan al-Quran sebagai al-furqan, pembeda. Tapi kita tidak mau begitu. Perebutan hegemoni antara Saudi dan Iran. Pemimpin Sunni dan Pemimpin Syiah. Ini tidak ada kaitannya dengan Qur’an. Islam yang benar, sebelum terjadi perkelahian itu. Sekarang Sunni dengan Sunni juga berperang. ISIS itu bagian dari Sunni,” katanya.
Pesan Bagi Generasi Muda
Di bagian akhir, Buya Syafii mengajak para mahasiswa dan generasi muda yang telah siuman untuk berpikir besar. “Pikiran saya belum tentu benar, tapi diuji saja. Mahasiswa harus berpikir, apapun disiplin ilmu Anda. Mari kita berpikir besar, siapa tahu Allah masih berkenan mengabulkan permohonan kita kalau kita mengambil prakarsa untuk berubah,” tuturnya.
Kerja intelektual adalah kerja yang melelahkan dan seumur hidup. Dan itulah kerja yang tidak akan ada habisnya. “Tugas kita itu berat sekali dan melelahkan. Kalau Anda mau berpikir mendalam, maka menderita,” katanya. Namun, Buya juga mengingatkan bahwa dalam mengarusutamakan pemikiran-pemikiran kritis perlu ditempuh dengan cara yang baik dan elegan. “Critical tapi sopan,” pesan Buya.
Buya Syafii lantas mengajak para peserta untuk menjadi orang baik dan senantiasa menebar kebaikan sebagai wujud Islam yang rahmatan lil alamin. “Hidup itu yang baik, yang lurus. Jadilah baik di mana pun Anda berada. Di mana pun, orang baik diperlukan. Orang baik akan bersinar. Buih dan air diuji oleh sejarah. Nabi itu koleksi semua kebaikan,” ujarnya. Nabi adalah sosok yang kebaikannya tidak habis-habisnya terus digali dan diteladani.
Terakhir, Buya berpesan, “Kurangi waktu tidur Anda, (gunakan waktu itu) untuk membaca!”
Barangsiapa Mengenal Dirinya Maka Akan Mengenal Tuhannya
Narasumber Yusuf Daud Risin mengingatkan bahwa Islam merupakan agama yang tidak bisa dipahami hanya dari kulit luarnya saja. Perlu untuk dipahami mendalam. “Islam adalah agama kasih sayang. Perlu dipahami untuk memperoleh kedalaman,” katanya. Dalam hal itu, perlu ada keseimbangan antara pengamalan iman, islam, ihsan sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
“Jangan kau tinggalkan syariat, engkau akan meraih hakikat. Barangsiapa mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya,” kata pengajar Tasawuf ini. Mengenal diri menjadi laku utama para pelaku tasawuf. Manusia dipahami sebagai alam mikrocosmos yang penuh makna dan tanda-tanda kebesaran Allah.
Dalam hal beragama, maka perlu mengedepankan akhlak. Tidak semua bidang dibawa ke ranah syariat yang serba kaku. Semisal dalam menyikapi fenomena waria. Bagaimana hukumnya dalam beribadah? “Yang berhak menghakimi hanya Allah swt. Allah sebagai ahsanul hakimin. Ketika ada satu fatwa pun, engkau punya hak bertanya pada hati nuranimu, dan tanyalah pada Tuhan yang ada bersamamu. Allah tidak berjenis kelamin. Tanya ke kecenderungan nuranimu yang terdalam. Jika laki-laki, beribadah secara laki-laki,” ungkapnya.
Yusuf menunjukkan contoh ketika di masa Nabi, Umar bin Khattab datang ke Rasul untuk memeluk Islam dalam keadaan masih mabuk-mabukan, tetapi diterima oleh Nabi. Pelan-pelan dibangun kesadaran. Tidak ekstrem merubah perilaku tersebut. Akhlak nabi seperti ini harusnya ditiru oleh para tokoh agama dalam menyikapi semua jenis manusia yang beragam latar belakang, termasuk mungkin para waria.
Beragama Harus Menggunakan Akal
Kiai penghulu KRT Ahmad Muhsin Kamaludiningrat menekankan bahwa dalam beragama, maka dibutuhkan penggunaan akal rasional. Akal sebagai penunjang dari wahyu.
“Akal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Membuatnya lebih tinggi dari malaikat sekalipun. Ahsan taqwim (sebaik-baiknya makhluk). Agama itu akal. Ijtihad itu kerja akal. Dengan akal, ilmu berkembang, hukum berkembang. Dikontekskan dengan lingkungan ruang dan waktu,” katanya.
Peran akal dalam agama diidentikkan dengan ijtihad itu sendiri. “Orang yang melakukan ijtihad itu dapat pahala. Jika benar dapat dua pahala. Jika salah dapat satu pahala. Yang menentukan benar dan salahnya itu adalah Allah. Manusia itu nisbi,” ujarnya. Tetapi, dalam melakukan proses ijtihad diperlukan argumentasi yang kokoh.
Landasan argumentasinya, kata Muhsin, berasal dari sumber bayani (al-Qur’an dan Hadis), burhani (ilmu pengetahuan), dan irfani (kejernihan hati nurani yang mendorong keyakinan). Landasan inilah yang digunakan oleh lembaga fatwa MUI. (ribas)
Baca juga:
Agama dalam Pergulatan Politik
Generasi Muda Harus Mengerti Sejarah, Indonesia Buah dari Karya Bersama