Hingar bingar tahun politik mulai terasa. Para politisi mulai bermanuver. Tidak jarang manuver-manuver politik para elite parpol cenderung kurang elegan. Berbagai macam cara digunakan demi meraih popularitas. Mulai dari pembunuhan karakter lawan hingga fenomena politisi ‘kutu loncat.’ Tujuannya untuk mencari dukungan politik pada pemilu 2014. Media massa yang menjadi salah satu pilar demokrasi justru malah menjadi alat politik kelompok tertentu. Bagaimanakah seharusnya masyarakat menyikapi gairah para elite politik jelang pemilu 2014? Berikut ini petikan wawancara Suara Muhammadiyah dengan pengamat politik AA GN Ari Dwipayana dari Universitas Gadjah Mada.
Akhir-akhir ini, manuver-manuver politik para elite parpol banyak menggunakan media televisi. Apakah menurut bapak manuver-manuver tersebut telah menafikan hak-hak publik?
Ini tentu menjadi masalah serius. Ketika politik pencitraan melalui media massa menjadi cara untuk mendapatkan dukungan, tentu masalah serius yang akan muncul. Informasi di media massa akan menjadi simertis, satu arah. Akibatnya, tidak ada ruang bagi publik untuk memperoleh informasi yang sesungguhnya dari kandidat tersebut. Termasuk juga tidak adanya informasi untuk mengetahui lebih dalam mengenai track record dari kandidat. Oleh karena itu, menurut saya, perlu ada informasi-informasi alternatif yang dibangun. Dengan demikian, publik tidak menjadi konsumen dari informasi yang tunggal. Informasi-informasi alternatif tersebut, bisa jadi, didapat dari media-media baru yang mencerdaskan publik, apakah itu media-media alternatif atau media-media yang sudah ada, namun yang memberikan informasi mencerdaskan.
Kadang manuver-manuver politik para elite parpol dilakukan kurang elegan, bagaimana komentar bapak?
Memang ada proses politik pencitraan yang searah. Kalau politik pencitraan pasti hanya menampilkan sisi-sisi yang baik dari kandidat. Adapun sisi-sisi yang buruk dari kandidat tidak ditampilkan. Dalam sistem demokrasi elektoral, model semacam itu hampir ada di seluruh tempat. Bahkan, model semacam ini didukung oleh profesionalisasi politik. Model semacam ini biasanya ditangani khusus oleh konsultan media. Peran konsultan media merancang pencitraan kandidat untuk mempengaruhi pemilih. Model semacam ini memang mirip dengan model iklan komersial di televisi. Akhirnya, fenomena seperti ini mirip sekali dengan industrialisasi politik. Dalam industrialisasi politik, seorang tokoh itu dikemas dengan sedemikian rupa sehingga menarik berbagai kalangan untuk memilihnya. Nah, dari model semacam ini problemnya adalah tidak adanya informasi-informasi alternatif dari kandidat.
Beberapa elite parpol telah menyeberang ke partai lain—istilahnya politisi kutu loncat—karena alasan pragmatis. Menurut bapak, apakah sikap semacam ini relevan dalam konteks pendidikan politik untuk masyarakat?
Saya kira, itu hanya memberikan pelajaran yang buruk. Karena politisi kutu loncat hanya mewakili satu model politik pragmatis. Orang sangat cepat berpindah dari satu partai ke partai lain dengan alasan yang sangat pragmatis. Alasan pragmatis di sini baik itu dalam pengertian bahwa dia ingin memperoleh kekuasaan secara instant maupun dia didasarkan pada basis ideologi yang tidak kuat dalam berpolitik. Pragmatisme politik di sini berarti seseorang berpolitik hanya ingin mengejar posisi kekuasaan. Ini tentu menjadi pelajaran yang buruk bagi masyarakat.
Bagaimana seharusnya masyarakat menilai politisi kutu loncat?
Satu cara yang tidak bisa tidak, harus dilakukan, adalah dengan melihat secara kritis sosok politisi itu. Jadi, orang bisa membaca secara dalam track record-nya. Termasuk juga harus memahami latar belakang mengapa seseorang pindah dari satu partai ke partai lain. Jadi, ini tidak bisa tidak, harus ada semacam pendidikan pemilih yang secara dalam melihat latar belakang dan track record dari kandidat-kandidat tersebut.
Beberapa media massa, khususnya televisi, yang berafiliasi dengan parpol-parpol tertentu kadang memberitakan kasus-kasus politik dari parpol lain secara berlebihan sehingga tampak kepentingan politiknya. Bagaimana komentar bapak?
Ya, itu artinya harus diatur secara kuat dalam regulasi. Sebenarnya, ini tugas KPU dan KPI untuk menegakkan regulasi. Prinsip kompetisi harus diatur mengenai prinsip keadilan dalam kompetisi. Ketika kompetisi dilakukan secara tidak fair akan menjadi masalah dalam sistem kompetisi itu. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggaran pemilu, termasuk juga KPI harus menegakkan aturan mainnya. Hal ini supaya tidak ada monopoli penggunaan ruang publik. Kampanye pencitraan di media massa sebenarnya menggunakan ruang publik. Jadi, hal itu harus diatur supaya masyarakat tidak terdistorsi oleh satu kepentingan kandidat atau parpol tertentu.
Bagaimana seharusnya peran dan posisi media massa dalam konteks dinamika politik yang sedang memanas saat ini?
Saya kira, harus ada langkah strategis untuk melakukan pendidikan politik yang baik kepada pemilih. Dengan demikian, pemilih akan secara terbuka mengetahui kualitas kandidat dan partai politik. Media massa harus bisa membaca secara kuat, melakukan backing terhadap masing-masing kandidat, dan juga memberikan informasi-informasi alternatif kepada pemilih, termasuk juga memberikan informasi-informasi dari kandidat-kandidat alternatif.
Bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi manuver-manuver para elit yang dinilai sudah tidak sehat lagi?
Sebenarnya, masyarakat sudah cerdas, hanya elite politiknya saja yang tidak cerdas. Saat ini, masyarakat sudah mulai tidak puas dengan manuver-manuver dari para elite politik. Indikasinya dapat dilihat dari angka golput yang semakin tinggi dalam beberapa Pilkada. Di samping itu, trand tidak loyalnya pemilih kepada partai politik juga makin menguat. Ditambah lagi dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap partai politik. Indikasi-indikasi tersebut mencerminkan ‘lampu kuning’ kepada para elite parpol. Masyarakat kecewa melihat perilaku elite parpol yang hanya melakukan akrobat politik tanpa ada perdebatan-perdebatan subtansi. (rif)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Dialog” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 7 tahun 2013