Mencukupkan Diri

Muhammadiyah Haedar Nashir Agama

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir Dok SM

Diriwayatkan, beberapa orang Anshar meminta sesuatu kepada Nabi dan diberinya, lalu mereka meminta lagi,  kemudian Rasulullah pun memberinya sehingga habislah apa yang ada pada Nabi. Rasul akhir zaman itu kemudian bersabda: “Apa yang ada padaku tidak akan kusembunyikan terhadapmu dan barang siapa memelihara dirinya dari meminta-minta dia akan dipelihara oleh Allah, dan barang siapa mencukupkan yang ada padanya dia akan dicukupi oleh Allah, dan barang siapa yang berusaha bersabar maka Allah akan menjadikannya sabar, dan tidak ada suatu karunia bagi seseorang yang lebih baik serta kebih luas daripada sabar”.

Apa yang disabdakan Nabi itu dan persitiwa yang menyertainya menunjukkan ajaran tentang al-‘iffah, yakni memelihara diri dari usaha meminta-minta dan mencukupkan apa yang diikhtiarkan dengan perjuangan diri yang gigih. Al-‘iffah juga memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang buruk, tidak menuruti hawa nafsu, serta menjujungtinggi martabat diri. Dengan sifat al-‘iffah setiap muslim akan mencukupkan diri dengan segala hasil ikhtiar sendiri dan tidak menjatuhkan atau merendahkan martabat pada hal-hal yang memalukan.

Kini dalam kehidupan sehari-hari, lebih-lebih dalam berbangsa sangat diperlukan watak, sifat, sikap, perilaku, dan tindakan yang berjiwa al-‘iffah. Maklum, tidak sedikit orang yang semestinya semestinha hidup lebih dari cukup malah bertindak menghinakan diri dengan korupsi dan perbuatan-perbuatan hina atau nista. Gaji atau penghasilan sangat besar sesungguhnya lebih dari cukup untuk hidup terhormat, bahkan dapat berbagi rizki kepada mereka yang membutuhkan. Namun ternyata pendapatan yang sangat besar itu masih belum memuaskan dirinya, apalagi merasa cukup. Akhirnya mereka mencuri uang dan kekayaan negara yang semestinya mereka lindungi.

Kenapa terjerumus pada korupsi da perbuatan nista? Karena orang-orang yang berbuat menyimpang itu tidak memiliki jiwa al-‘iffah dalam kesadaran imaninya. Formal beriman, berilmu agama tinggi, bahkan merasa diri suci atau bersih. Tetapi perbuatan dan tindakannya bertentangan dengan nilai-nilai utama ajaran Islam yang fitri. Kesadaran dan ilmu agamanya tidak membentuk jiw al-‘iffah, yang mencukupkan dengan apa yang dimiliki, bahkan lebih dari cukup untuk disyukuri. Akhirnya yang tertanam dalam dirinya rasa tidak pernah cukup. Rasa tidak pernah puas.

Merasa diri tidak pernah cukup tumbuh subur karena pada saat yang sama nafsu berlebihan (israf) telah menguasai diri. Nafsu tamak, serakah, dan rakus terlampau menjadi libido diri, sehingga apapun yang diperoleh akan merasa kurang. Mereka menjadi  lapar harta, lapar kuasa, dan lapar nafsu-nafsu inderawi lainnya. Baik memperoleh penghasilan besar apalagi kecil tetap tidak pernah puas. Inilah yang disebutkan Allah sebagai orang yang menuhankan hawa nafsunya.

Maksud hati menjalankan amanat umat atau rakyat, namun di tengah jalan berbelok arah menjadi sibuk mengurus diri sendiri. Hasrat-hasrat diri yang terpendam kemudian ditumpahkan dalam perangai ajumumpung. Menjadi pemburu  harta, tahta, dan perhiasan dunia dengan cara tak halal dan melampaui batas. Pelesiran ke luar negeri hingga studi banding tentang santet ke Jerman dan Inggris, sesuatu yang irrasional. Lagi pula kenapa di alam modern dan di tengah umat beragama yang taat masih memikirkan soal santet untuk masuk dalam wacana politik, seolah tidak ada pekerjaan yang lebih utama untuk mengangkat hajat hidup rakyat. Akhirnya pengemban amanat rakyat itu menjadi keblinger, sesat jalan dan salah kaprah karena pola hidup serakah.

Kiranya para elite dan pengemban amanat rakyat mesti belajar memupuk jiwa al-‘iffah, sikap perilaku utama yang menunjungtinggi kemuliaan dan menjauhkan diri dari segala hal yang menjatuhkan martabat diri. Perangai yang mencukupkan diri dan tidak menjadi sosok-sosok serakah, yang menabrak nilai agama dan tatanan hidup berbangsa nan mulia. Jika al-‘iffah menjadi jiwa para ponggawa dan warga bangsa, maka peradaban mulia pun terangkat ke tangga utama dalam kehidupan bersama.


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 9 tahun 2013

Exit mobile version