Jalan Panjang Membangun Indonesia

Muhammadiyah Haedar Nashir Agama

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir Dok SM

Oleh Dr H Haedar Nashir, MSi

Kenapa Muhammadiyah lebih memilih kata INDONESIA ketimbang NUSANTARA dalam berbagai konsep dan pemikirannya? Sebutlah “Islam Indonesia”, “Indonesia Berkemajuan”, dan sebagainya. Muhammdiyah mengakui ada nama-nama lain yang tumbuh secara kultural untuk menunjukkan nama kepulauan yang sangat luas ini seperti Nusantara, Melayunesia, dan lain-lain. Nama-nama itu memang menjadi bagian dari keindonesiaan dan sejarah Indonesia.

Muhammadiyah memilih diksi INDONESIA berdasarkan pertimbangan. Pertama, secara yuridis-konstitusional INDONESIA  adalah nama resmi Negara dan Bangsa Indonesia yang dipilih para pendiri bangsa.  Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, yang dipakai nama Indonesia. Pembukaan UUD 1945 beserta batang tubuhnya yang menjadi Konstitusai Dasar Negara Republik Indoensia juga hanya memakai dan memilih nama INDONESIA, bukan Nusantara atau Melayunesia.

Kedua, proses kebangkitan nasional dengan segala rangkaiannya juga memilih  nama Indonesia. Artinya secara politik dan ideologis serta kultural perjuangan membentuk sebuah bangsa dan negara yang merdeka, semua pergerekan nasional menuju ke satu nama yaitu INDONESIA, bukan yang lain. Ketiga, secara ilmiah banyak kajian yang menunjukkan kata Indonesia selalu ada bersama kata Melayunesia, sedangkan kata Nusantara atau lainnya tidak masuk dalam kajian dan menjadi pilihan para ilmuwan sejarah.

Istilah Nusantara sendiri ternyata memiliki cakupan yang terbatas. Dalam sejumlah kajian disebutkan konsep “negara” di masa lampau seperti Majapahit, istilah “Nusantara” itu hanya cakupan kecil dari “Negara Agung” dan “Mancanegara”. “Negara Agung” adalah daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah. “Mancanegara” adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di “daerah perbatasan”. Sedangkan “Nusantara”, yang berarti “pulau lain” (di luar Jawa) adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan, yang para penguasanya harus membayar upeti kepada negara pusat.

Menjadi Indonesia

INDONESIA lahir di pentas sejarah melalui proses pergumulan panjang sarat dinamika. Ketika James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl lebih memilih “Melayunesia” ketimbang “Indunesia” untuk nama sebuah wilayah yang terbentang luas antara benua Australia dan Indocina tahun 1850 yang silam, kemudian Adolf Bastian seorang etnolog pada Universitas Berlin tahun 1884 justru lebih memilih dan kemudian mempopulerkan nama INDONESIA; kisah sejarah itu merupakan titik awal kehadiran Indonesia tidak hanya sebatas nama tetapi juga identitas diri. Satu abad kemudian, tatkala para pejuang kemerdekaan di era kebangkitan nasional berketatapan hati memilih hanya INDONESIA di antara  nama-nama Nusantara, Dwipantara, Swarnadwipa, Insulinda, dan Melayunesia; proses itu merupakan takdir sejarah untuk sebuah nama INDONESIA yang di dalamnya terkandung  jiwa,  pikiran, dan  cita-cita luhur akan hadirnya sebuah bangsa dan negara.

INDONESIA itu anugerah Allah yang jatuh di bumi untuk disyukuri oleh seluruh anak negeri. Gugusan kepulauan nan luas, indah, dan kayaraya ini telah memikat hati seorang Eduard Douwes Dekker atau Multatuli hingga menjulukinya sebagai Zamrut di Khatulistiwa. Dalam titik sejarah yang kritis dan di atas perjuangan ratusan tahun para mujahid bangsa yang berkorban dengan segenap jwa-raga, INDONESIA akhirnya bebas dari cengkreman penjajah dan hadir sebagai negara merdeka sebagaimana ungkapan syukur para pendiri bangsa: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”.

Dalam konteks perjuangan kebangsaan, INDONESIA adalah sebuah identitas dan energi politik perlawanan terhadap kaum penjajah yang nista. Ketika Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Mohammad Hatta berjuang di negeri Belanda dengan membawa nama Indonesia. Sementara di dalam negeri hadir  sosok-sosok dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, HOS Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, Sutardjo Kartohadikusumo, Soekarno, Muhammad Hatta, dan seluruh anak bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Semua arus perrgerakan itu hadir untuk dan atasnama INDONESIA yang bercita-cita untuk menjadi bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Indonesia adalah identitas sebuah bangsa yang majemuk, yang dalam kepusparagamannya telah membentuk diri menjadi satu: Bhineka Tunggal Ika. Putra-putri generasi bangsa ketika behimpun dalam Sumpah Pemuda 1928 dengan penuh gelora telah menjadikan Indonesia sebagai titik temu untuk “Bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa yang satu” yakni Indonesia. Puncaknya pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atasnama seluruh rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yang dikuti dengan penetapakan Konstitusi Dasar UUD 1945 sebagai fondasi utama kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peran Muhammadiyah

Dalam perjuangan kemerdekaan dan membentuk Indonesia menjadi sebuah negara dan bangsa merdeka sungguh besar peranan umat Islam, termasuk di dalamnya peran Muhammadiyah sebagai komoonen Islam Indonesia. Di tengah kemajemukan yang terus berproses membentuk diri sebagai bangsa yang toleran, damai, dan dewasa itu komitmen dan peran umat Islam sebagai mayoritas sungguh besar, yang oleh antropolog Kontjaraningrat dan sejarawan Sartono Kartodirdjo disebut sebagai kekuatan perekat integrasi bangsa. Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dalam peristiwa Piagam Jakarta dan sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang menjadi tonggak lahinrya Konstitusi Dasar Negara tidak lepas dari perjuangan dan pengorbanan terbesar umat Islam.

Dalam proses pembentukan Indonesia yang tidak sekali jadi itu kehadiran Muhammadyah dan para tokohnya sungguh besar dan bermakna. KH Ahmad Dahlan, Nyai Walidah Dahlan,  KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Kahar Muzakkir, Panglima Besar Sudirman, Ir Juanda, Dr Soetomo, dan lain-lain bersama para pendiri dan pejuang negeri yang lainnya sungguh telah memberikan goresan tinta emas bagi kebangkitan dan kemajuan Indonesia. Ir Soekarno, sebagai tokoh penting pergerakan kemerdekaan yang juga menjadi anggota dan pernah menjadi pengurus Muhammadiyah sejak tahun 1933, merupakan bagian dari denyut nadi perjuangan Muhammadiyah membentuk dan membangun Indonesia yang bergelorakan kemajuan. Maka merupakan suatu sikap yang konsisten jika pada Muktamar ke-47 di Makassar yang lalu Muhammadyah mengeluarkan dokumen resmi tentang Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi wa Syahadah.

Karenanya,  ketika Muhammadiyah menggelar Konvensi Nasional Indonesi Berkemajuan di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, maka sesungguhnya acara ini mengandung spirit perjuangan membangun Indonesia sebagai matarantai sejarah pergumulan yang panjang dan berkesinambungan itu. Konvensi ini bukankah ajang beretorika, karena Muhammadiyah dalam sejarah pergerakannya jauh lebih suka berpikir dan bekerja, sehingga forum nasional lintas ini kami hadirkan untuk membangkitkan kembali etos perjuangan menjadikan INDONESIA sebagai negara dan bangsa yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.

Muhammadiyah melalui Konvensi tersebut ingin mengajak dan memberi contoh bersama seluruh komponen bangsa dan juga pemerintah agar bangsa Indonesia berani menghadapi masalah serta dengan cara-cara cerdas dan bekerja keras mampu menyelesaikan masalah demi masalah tanpa meratapi dan membesar-besarkannya. Muhammadiyah ingin membangun persepsi dan alam pikir positif sekaligus sebuah optimisme baru, bahwa bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang memiliki keyakinan dan karakter kuat untuk maju, berpikir dan bekerja produktif, berfikir rasional dan objektif, dan memiliki visi masa depan yang jelas.

Bangsa Indonesia jika ingin berkemajuan harus memiliki mentalitas kuat dengan sifat-sifat utama seperti jujur, amanah, terpercaya, disiplin, tanggungjawab, mandiri, kuat pendirian, toleran, harmoni, suka bekerjasama, peduli sesama, dan mentalitas terpuji lainnya. Sebaliknya menjauhi sikap manja, malas, curang, ajimumpung, korup, menerabas, dan sifat-sifat menyimpang lainnya yang dapat merugikan diri sendiri dan kehidupan bersama. Dari Konvensi tersebut diharapkan hadir pikiran-pikiran cerdas dan membumi sebagai jalan perubahan membangun daya saing bangsak di tengah jejak ketertinggalan Indonesia dalam sejumlah hal dari negeri-negeri tetangga.

Dalam proses menuju Indomesia berkemajuan Muhammadiyah tetap berkomitmen menjalankan misi dakwah dan tajdid melalui berbagai amal usaha unggulan yang bertumbuh di seluruh tanah air hingga ke daerah-daerah terluar, terjauh, dan terdepan. Dalam visi Islam Berkemajuan yang melintasi dan  bersemboyan “Sedikit Bicara Banyak Bekerja”, “Ilmu Amaliah Amal Ilmiah”, dan “Siapa Menanam Mengetam”, maka Muhammadiyah mengkhidmatkan hasil pemikiran dan karya produktif seluruh amal usahanya itu untuk Indonesia Berkemajuan sebagai aktualisasi Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur!


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Bingkai” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 12 tahun 2016

Exit mobile version