Suara Muhammadiyah– Ada hal menarik dari Pidato Kebangsaan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-73, pada pertengahan Agustus 2018 di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Haedar Nashir di antaranya menyatakan, “Setelah 73 tahun merdeka, Indonesia masih mengalami kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi), dan peluruhan (distorsi) dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan, ditimbang dari semangat, pemikiran, dan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”
Pernyataan itu menunjukkan Muhammadiyah ikut mengevaluasi perjalanan bangsa. Muhammadiyah telah ikut serta dalam proses penyadaran perjuangan merebut kemerdekaan, persiapan kemerdekaan, perumusan landasan bernegara, peletakan tata kehidupan kebangsaan, hingga mengisi kemerdekaan. Maka, sudah menjadi panggilan historis ketika kini Muhammadiyah mengevaluasi perjalanan bangsa. Karena Muhammadiyah menginginkan bangsa ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dalam segenap proses pergumulan panjang, tentu tidak hanya Muhammadiyah yang terlibat. “Menjadi naif dan merupakan pembelokan sejarah jika ada satu golongan atau siapa pun yang gemar mengklaim diri paling berkonstribusi dalam tegak dan bersatunya NKRI di negeri tercinta ini,” tutur Haedar dalam pidatonya. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan klaim-klaim dan perebutan tafsir sejarah bahwa hanya golongan tertentu saja yang paling berperan, dan karena itu, kini paling berhak menguasai negeri ini.
Meski kerap dilupa, Muhammadiyah tidak absen berdedikasi. Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari menguraikan beberapa peranan Muhammadiyah dalam kebangsaan. “Ketika persiapan kemerdekaan, dua tokoh bangsa diundang Pemerintah Jepang ke Tokyo untuk merundingkan konsep kemerdekaan, dipanggillah Soekarno dan Ki Bagus Hadikusumo. Keduanya pemimpin besar,” katanya. Pimpinan Muhammadiyah diundang sebagai representasi umat Islam Indonesia ketika itu. [red, versi lainnya, ada tiga orang yang diundang Jepang: Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Bagus]. Dalam sidang BPUPKI pertama, Ki Bagus yang mewakili ormas terbesar, sangat disegani dan diberikan kesempatan bicara kedua. Bahkan, pidato Soekarno sampai menyebut nama Ki Bagus sebanyak 13 kali.
Di masa jeda antara sidang BPUPKI pertama dan kedua, dibentuklah sebuah Panitia Sembilan yang bertugas memperjelas rumusan hasil sidang BPUPKI pertama. Sembilan nama itu adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A Kahar Muzakkir, Ahmad Subarjo Joyoadisuryo, Mohammad Yamin, Agus Salim, A Wahid Hasyim, Andreas Maramis, Abikusno Cokrosujoso. Panitia Sembilan ini menghasilkan Piagam Jakarta yang menjadi cikal dasar negara.
Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara harus melewati proses diskusi dan lobbying yang tidak mudah, terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta, “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Di tengah situasi alot, ada peran besar Kasman Singodimedjo. Tokoh Muhammadiyah ini menjadi jembatan di antara yang berbeda gagasan. Mewariskan kesadaran bahwa demi bangsa, kita selalu butuh pengorbanan dan sosok pemersatu yang berjiwa lapang. Peran Kasman untuk bangsa tidak diragukan. Sejak 1925 menjadi tokoh sentral Jong Islamieten Bond, sebuah perhimpunan pemuda yang menginspirasi lahirnya organisasi pergerakan. Kasman pernah menjadi komandan PETA (Pembela Tanah Air), anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Jaksa Agung, anggota Dewan Konstituante Masyumi.
Masih ada nama Djuanda Kartawidjaya yang tidak bisa dilewatkan. Tokoh Muhammadiyah ini pernah diamanahi jabatan Perdana Menteri, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Pekerjaan Umum, hingga Menteri Perhubungan, mengambil alih jawatan kereta api dari Jepang, menjadi anggota perundingan KMB. Konstribusi terbesarnya adalah Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada 13 Desember 1957. Melalui konvensi hukum laut United Nations Convention on Law OF THE Sea (UNCLOS), wilayah Indonesia meliputi kawasan laut sekitar, laut dalam, dan laut di dalam kepulauan Indonesia. “Dengan deklarasi Djuanda, maka laut itu bukan pemisah antar pulau, tetapi pemersatu antar pulau, sehingga wilayah Indonesia bertambah dua kali luas sebelumnya,” urai Hajriyanto.
Di luar itu, masih ada Jenderal Sudirman, KH Mas Mansur, Mohammad Roem, Buya Hamka, Siti Munjiyah, hingga dokter Soetomo. Sebelum itu, ada KH Ahmad Dahlan dan Siti Walidah Dahlan. Gelar Pahlawan Nasional Kiai Dahlan melalui Kepres No. 657, pada 27 Desember 1961, menyebut bahwa di antara jasa Kiai Dahlan adalah mempelopori kebangunan umat Islam Indonesia untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat, memahamkan ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan dan beramal, serta mempelopori kebangunan perempuan untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial di ruang publik.
Harry J Benda dalam The Crescent and the Rising Sun, menyatakan bahwa empat dekade pertama abad ke-20 menjadi tonggak kebangkitan gerakan Islam modern, yang berhasil menggoreskan tinta emas dalam hal penyadaran dan pemajuan masyarakat Nusantara di segala bidang, termasuk peran sejarah politik Indonesia. Menurut Benda, Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang lahir pada 1912, menjadi fenomena baru organisasi kaum terpelajar. Sejak awal 1920-an dan seterusnya, Muhammadiyah menjadi kekuatan dominan Islam Indonesia, sebagai persyarikatan terbesar dan paling mampu bertahan, jauh melampaui organisasi agama dan politik lainnya.
Pertumbuhannya menjadi bukti bahwa energi kepemimpinan Muhammadiyah dan segenap gerak langkah organisasi berhasil memenuhi kebutuhan dan membawa dampak nyata di masyarakat. Keberhasilan Muhammadiyah di masa awal terletak pada kegiatan pendidikan dengan kurikulum dan silabus modern, menggabungkan pendekatan Barat dan Timur. Di mata Kuntowijoyo, pendidikan yang dirintis Kiai Dahlan berhasil memadukan antara iman dan kemajuan, yang menghasilkan generasi terpelajar Muslim yang kokoh iman dan kepribadiannya, serta bisa menyatu dengan laju zaman.
Berdasar temuan Benda, reformisme merupakan suatu elemen yang sepenuhnya baru dalam fenomena Islam Indonesia. Awal abad ke-20 merupakan tonggak kemunculan fenomena baru Muslim urban, reformis, dan dinamis. Dalam perkembangannya, kelompok tradisionalis mengikuti metode yang menjadi keberhasilan Muhammadiyah, yaitu membentuk dan mengikuti organisasi dan tradisi organisasi yang merupakan gejala modern.
Dalam teori Darwin, seseorang atau sekelompok orang yang bertahan hidup bukanlah yang paling besar dan kuat, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Inilah alasan tokoh modernis begitu menonjol dalam babakan sejarah. Di tengah tantangan ketertinggalan, kolonialisme dan persinggungan dengan dunia modern, kaum terdidik itu telah siap berperan sebagai syuhada ‘alannas, anak zaman yang berdiri di garis depan. Pemikiran genuine mereka kadang melampaui zamannya. Mereka paling siap berdialektika dengan wacana-wacana kontemporer (termasuk tentang kebangsaan, demokrasi, pluralitas), di saat penduduk Hindia Belanda yang buta aksara masih 90 persen, di awal kemerdekaan. Mereka mampu mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas.
Para tokoh Muslim terpelajar itu terus terlibat membawa lompatan kemajuan bangsa. Di masa Orde Baru, menurut Carool Kersten dalam Berebut Wacana, pemerintah memberi ruang bagi pembaharuan pemikiran Islam. Para Muslim terpelajar digandeng untuk berperan di pemerintahan. Program pembangunan nasional juga mengambil modernisasi sebagai tujuan rancang bangun Indonesia ke depan. HM Rasjidi hingga Mukti Ali termasuk di antara tokoh Muhammadiyah yang berkonstribusi besar di fase ini. (ribas)