Jejak Kebangsaan Kaum Modernis

kiai

KH Ahmad Dahlan (Dok SM)

Suara Muhammadiyah– Asian Games yang baru lalu memberikan kesadaran ulang bagi kita sebagai sebuah bangsa. Ada Jilbab Defia Rosmaniar di medali emas pertama untuk Indonesia, ada  salib Jonathan Christie di emas bulu tangkis, ada wajah khas Wewey Wita di arena pencak silat. Dan sudah barang tentu  ada dua mahasiswa Universitas Muhammadiyah. Iqbal Chandra Pratama (UM kalimantan Timur) dan Aries Susanti Rahayu (UM Semarang) yang mempersembahkan emas pencak silat dan panjat tebing. Semua identitas itu tidak menjadi penghalang bagi seluruh anak bangsa ini untuk berteriak merayakan keberhasilan mereka. Semua dipersembahkan untuk Indonesia.

Bangsa Indonesia menjadi sebuah bangsa seperti sekarang ini tidak menjadi dengan sendirinya, namun melalui proses yang teramat sangat panjang dan melelahkan. Sebelum bersatu, kita pernah tercerai-berai. Antar pewaris dinasti Mataram Islam di Jawa saja pernah terjadi perselisihan yang beradarah, juga antar kerajaan yang lain. Demikian pula antar kelompok masyarakat yang lain. Namun, itu dahulu, pada saat wilayah Nusantara Raya ini masih di jaman jahiliyah, saat  elite bangsa saat itu masih membelenggu diri nya sendiri dalam ego sektoral masing-masing. Masih lebih suka menuruti nafsu kuasanya sendiri meski harus menjadi budak bangsa lain dan menindas saudara sendiri.

Saat kesadaran sebagai bangsa itu mulai  tumbuh, semua ego sektoral itu mulai diredam. Semua merunduk untuk menjadi Indonesia. Kalau kita baca catatan sejarah, para tokoh dari kelompok Islam Modernis banyak berperan dalam proses menumbuhkan kesadaran sebagai bangsa yang satu ini. Juga berperan sentral dalam mengasuh dan mempertahankan bayi kesadaran berbangsa ini pada masa-masa krusial. Saat bangsa ini mulai menata dan meletakkan pondasi kebangsaannya dalam sidang-sidang BPUPK-PPK. Juga pada saat bayi kesadaran berbangsa ini kembali mulai digoyahkan dalam sidang-sidang  konstituante.

Kalau kita buka ulang catatan sejarah pada masa bayi kesadaran berbangsa itu saat masih ada dalam rahim sampai lahir dan  belajar berjalan dengan tertatih, kita akan menjumpai nama Kiai Dahlan, Fachroddin, HOS Cokroaminoto, Ki Bagus  Hadikusuma, Mas Mansur, Agus Salim, Moh Nasir, Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Hamka, Moh Roem, Sukiman dan lain-lainnya. Hampir semua nama yang ada itu dari kelompok Islam yang beredar adalah dari kelompok Islam modernis. Sedangkan dari kelompok Islam tradisional hanya ada Wahid Hasyim dan Wahab Hasbullah.

Mereka-mereka inilah yang saat itu sudah tercerahkan dan mencerahkan kesadaaran ummat sehingga mampu beradu wacana dengan kelompok nasionalis dan sosialis. Saat itu hanya kaum modernis yang siap dengan soal-soal pikiran modern tentang kenegaraan. Mareka siap dan mampu berdialog soal-soal Islam dan isu-isu kenegaraan yang kontemporer. Mereka punya referensi pada Islam klasik maupun pada pikiran-pikiran baru.

Kesan yang hampir sama juga akan kita jumpai saat membaca laporan Kongres Al Islam I tahun 1922 di Tjirebon. Kelompok Islam modernis terkelihat jauh mendominasi kongres dengan berbagai wacana yang kebangsaannya yang lebih mapan dan maju. Terutama pada kongres hari ke-2 saat terjadi perdebatan antara Fachrodin, Wahab Chasbullah, dan Kiai Asnawi.

Dari semua catatan sejarah itu kita akan tahu bahwa  bangsa Indonesia ini dapat lahir dan terus bertahan dengan terus merawat kesadaran untuk saling menenggang dan menekan ego sektoral masing-masing sambil terus mengikis perasaan paling hebat hanya karena merasa paling besar jumlah massanya. Apalagi menggunakan jumlah massa itu mengancam dan menekan saudara sebangsa untuk menuruti kehendak kelompoknya. [isma].

Exit mobile version