Suara Muhammadiyah– Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta, aksi pelucutan senjata tantara Jepang dilakukan oleh para pejuang tanah air di beberapa kota. Setelah Jepang menyerah, Belanda berupaya kembali menduduki tanah air dengan strategi membonceng ‘misi kolonialisme’ lewat Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) atau Pasukan Sekutu. Maka perang fisik tak dapat dibendung lagi. Revolusi fisik terjadi serentak di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya yang digerakkan oleh Komite Nasional Indonesia (KNI), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan laskar-laskar perjuangan umat Islam.
Pasukan Sekutu (AFNEI) di bawah pimpinan Letjen Sir Philip Christison mengambil alih komando di bawah pimpinan Laksda Patterson yang sudah berada di Tanjung Priok sejak 15 September. Christison memberangkatkan Divisi India Ke-23 yang dipimpin Mayjen D.C. Hawthorn ke pulau Jawa. Divisi ini memiliki tiga brigade organik, Brigif India Ke-1 (Brigadier R.C.M. King), Brigif India Ke-37 (Brigadier N. MacDonald), dan Brigif India Ke-37 (Brigadier A.W.S. Mallaby). Secara organik, Divisi India Ke-23 mempunyai tiga batalyon infanteri. Selain memiliki unsur bantuan tempur, divisi ini juga memiliki unsur-unsur bantuan administrasi. Demikian laporan R.H.A. Saleh dalam bukunya, Mari Bung, Rebut Kembali! (2000: 75). Belanda yang turut andil dalam operasi ini, bergabung dalam unsur bantuan administrasi lewat Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA). Pasukan Sekutu dan NICA diterjunkan ke Indonesia untuk melucuti tantara Jepang dan membebaskan tawanan warga Belanda di beberapa kota, terutama di Semarang, Ambarawa, Magelang, dan sekitarnya.
“Pada tanggal 29 Oktober 1945,” tulis R.H.A. Saleh (2000: 77), “di bawah pimpinan Brigadier R.G. Bethell, dikirim ke Semarang satu brigade campuran yang diberi nama CRA’s Brigade (Commander Royal Artillery Brigade).” Pasukan inilah yang bertugas mengurus pembebasan tawanan perang di sekitar Semarang, Ambarawa, dan Magelang. Namun, dalam praktiknya, aksi pembebasan tawanan perang tidak berjalan mulus karena mendapat perlawanan sengit dari TKR dan laskar-laskar umat Islam di ketiga kota tersebut. Menurut Ben Anderson (1988: 174), para serdadu CRA’s Brigade atau tantara Gurkha bersikap kurang simpatik sehingga memunculkan respon aksi boikot dan perlawanan dari para pejuang di tanah air.
Perang melawan tantara Sekutu di Semarang, Ambarawa, dan Magelang di bawah komando Divisi V Kedu yang dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Perang di Ambarawa dan sekitarnya menjadi pertempuran paling sengit ketika pejuang-pejuang TKR di bawah komando Kolonel Soedirman menghadapi pasukan infanteri, tank-tank tempur, pesawat terbang pemburu, dan tembakan artileri dari Kapal Penjelajah Inggris (HMS Sussex). Perang dahsyat ini dipicu oleh kematian Isdiman (Komandan Resimen Purwokerto), seorang perwira andalan Sudirman, yang terbunuh dalam sebuah pertempuran di selatan Ambarawa (Jambu).
Sudirman menyusun strategi serangan serentak, mengepung, dan menyerang kota Ambarawa dari berbagai penjuru. Strategi Sudirman didukung penuh oleh para komandan resimen dan pemimpin-pemimpin laskar umat Islam sehingga pecahlah pertempuran Ambarawa. Dengan peralatan tempur yang kalah jauh dengan CRA’s Brigade, apalagi para milisi kelaskaran umat Islam yang hanya bersenjatakan bamboo runcing, tetapi pertempuran tersebut berhasil memukul mundur Pasukan Sekutu. Pengepungan dan penyerangan TKR di bawah komando Kolonel Soedirman berakhir pada 15 Desember 1945.
Pertempuran di Ambarawa inilah yang menurut Petrik Matanasi (2017) sebagai ujian paling berat bagi Sudirman sebagai komandan perang. Dahsyatnya pertempuran Ambarawa telah menelan korban 2.000 orang TKR. Dari pihak Sekutu tewas 100 orang prajurit. Sejarawan Julius Pour yang mengutip sumber pelaku perang Ambarawa mengungkapkan bahwa perang tersebut sangat mengerikan. Total war—demikian Julius Pour menyebut perang Ambarawa—karena setiap jengkal tanah dipertahankan secara mati-matian oleh kedua belah pihak. Sejarawan Ben Anderson menilai bahwa kemunduran pasukan Sekutu secara terpaksa ke Semarang sebagai bukti kemenangan taktik militer TKR di bawah komando Sudirman.
Pertempuran di Ambarawa dan sekitarnya menjadi saksi sejarah ketika pejuang-pejuang di tanah air masih mampu mengalahkan pasukan Gurkha yang dikenal sangat terlatih dengan persenjataan modern. Keberhasilan pertempuran mempertahankan kemerdekaan ini sekalipun harus dibayar mahal dengan banyaknya jumlah korban dari pihak TKR, tetapi secara strategi telah menunjukkan bahwa kekuatan militer Indonesia masih ada dan tidak bisa dipandang remeh. Palagan Ambarawa adalah saksi sejarah unjuk kekuatan militer Indonesia kepada dunia. Selanjutnya, peristiwa pertempuran Ambarawa dijadikan sebagai Hari Infanteri oleh Angkatan Darat Republik Indonesia, yang kemudian berubah menjadi Hari Juang Kartika TNI-AD. [abu aksa].