Suara Muhammadiyah– Artikel Hadji Omar Said Tjokroaminoto di koran Fadjar Asia edisi Jum’at 14 Zulhijah 1347 bertepatan dengan 24 Mei 1929 berisi kritik tajam terhadap tiga kelompok umat Islam yang menurutnya dipandang tidak tepat dalam menempatkan semangat nasionalisme. Pertama, adalah mereka yang berkeinginan untuk menjadi nasionalis terlebih dahulu, baru nanti setelah Indonesia merdeka akan mengatur pemerintahan secara Islam. Kedua, sebagian umat Islam yang atas nama nasionalisme menyembunyikan identitas keislaman mereka di berbagai vergadering-vergadering sekalipun itu hanya mengucap maupun menjawab salam. Ketiga, sebagian umat Islam yang dalam bernasionalisme menempatkan agama dalam posisi netral.
Kritik dan argumentasi Tjokroaminoto ini, setidak-tidaknya, memiliki latar belakang sosial politik pasca Kongres Sarekat Islam (SI) di Randublatung, Pekalongan (1926) atau sekitar dua tahun setelah Kongres Al-Islam di Bandung (1926). Analisis Tjokroaminoto ini lahir dari sikap dan kecenderungan organisasi-organisasi umat Islam ketika merespon gejala dan gerakan nasionalisme menuju kemerdekaan. Namun demikian, analisis Tjokro pada konteks tertentu dapat dibenarkan, tetapi dalam konteks lain sangat tidak relevan. Sebab, sang president SI ini memang berambisi terjun ke dunia politik secara total dan menghendaki organisasi-organisasi umat Islam mengikuti langkahnya.
SI yang telah menjelma menjadi gerakan politik praktis (Partai Sarekat Islam) menghendaki organisasi-organisasi umat Islam terjun langsung dalam politik praktis. Namun, SI tampaknya terlalu memaksakan haluan politik praktis dan tidak menghargai visi politik beberapa organisasi umat Islam lainnya. Di luar organisasi-organisasi Islam terdapat pula organisasi pribumi seperti Budi Oetomo (BO), Tentara Buruh Adidharma, Tamansiswa, Insulinde, dan lain-lain. Mereka tidak menggunakan nama Islam, tetapi para pucuk pimpinan organisasi-organisasi ini jelas beragama Islam. Dari sini sebenarnya sudah tampak tiga varian kelompok yang disinyalir oleh Tjokro di atas. Varian pertama adalah mayoritas petinggi SI yang cenderung pragmatis. Varian kedua adalah para petinggi organisasi pergerakan yang memang tidak menggunakan nama Islam. Sedangkan varian ketiga adalah para petinggi organisasi-organisasi Islam modernis yang netral politik. Analisis Tjokro ini semakin dipertegas ketika SI mengeluarkan kebijakan pendisiplinan terhadap organisasi-organisasi tersebut (disiplin partai). Tidak hanya Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam yang terkena imbas kebijakan disiplin partai, tetapi organisasi-organisasi seperti BO, Adidharma, Taman Siswa, dan Insulinde juga harus tersingkir.
Sedangkan Kongres Al-Islam diinisiasi sejak tahun 1912 oleh pimpinan Sarekat Islam dan tokoh-tokoh modernis di tanah air (termasuk K.H. Ahmad). Dalam konteks ini, analisis Tjokro tidak begitu relevan karena justru organisasi Islam modernis seperti Muhammadiyah turut andil membidani kelahiran Kongres Al-Islam yang beranggotakan seluruh organisasi Islam di tanah air. Kongres Al-Islam pertama diselenggarakan di Surakarta pada tahun 1912 melahirkan keputusan penting yang menjadi cikal bakal nasionalisme Indonesia. Taufiqurrahman dalam “Tjatatan Kongges Ummat Islam” (Lihat Kongres Muslimin Indonesia 20-25 Desember 1949, hlm. 118) menyebutkan, “Kongres ini adalah murni di mana para pemimpin hanya menudju keluhuran Islam guna menghadapi nasib bersama dan menolak penghinaan bangsa.”
Upaya membangun kesadaran bersama dalam menghadapi nasib dan menolak penghinaan bangsa merupakan embrio kesadaran berbangsa yang terus dilakukan Comite Kongres Al-Islam, sekalipun reaksi penolakan dan kritik keras dari kelompok tradisionalis. Pada tahun 1921, Kongres Al-Islam digelar di Cirebon. Namun, jalan terjal menuju persatuan umat Islam masih berliku-liku dan penuh tantangan. Justru, tantangan terberat datang dari kalangan umat Islam tradisional yang masih sulit diajak bersatu hanya karena persoalan furu’iyat. Sejarah telah mencatat perdebatan tokoh-tokoh Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan, Haji Fachrodin, dan lain-lain) ketika dikritik oleh K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Asnawi, keduanya perwakilan dari kelompok tradisionalis Jawa Timur. Tjokroaminoto harus bersusah payah mendamaikan kelompok tradisionalis yang masih sulit menerima putusan-putusan Kongres. Taufiqurrahman menulis salah satu keputusan Kongres Al-Islam di Cirebon sebagai upaya “mengurangi bahaja perselisihan tentang soal furu’” (hlm. 118).
Tak dapat dipungkiri, nasionalisme (nationalism) memang konsep baru yang hadir di zaman modern untuk mengungkap model ‘pengakuan’, ‘kesetiaan’, atau ‘keyakinan’ sebagai sebuah bangsa dengan tujuan tertentu. Konsep ini hadir mendapat respon berupa penolakan yang keras dari kelompok muslim tradisionalis yang memandang nasionalisme bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan kelompok modernis memandang relevan menghadirkan konsep nasionalisme yang disandingkan dengan ajaran Islam. Kelahiran Kepanduan Hizbul Wathan (HW) di Muhammadiyah merupakan bukti nyata respon kehadiran semangat nasionalisme dalam gerakan Islam modernis yang dirintis K.H. Ahmad Dahlan ini. Proses inisiasi gerakan HW tidak bisa lepas dari konteks dinamika pemikiran Islam modernis yang disandingkan dengan kehadiran konsep nasionalisme yang sedang menggema di dunia Islam pada waktu itu. “Nama Hizbul Wathan yang berarti ‘partai cinta tanah air’ terinspirasi dari gerakan Mustafa Kamal Pasha di Turki,” tulis Djarnawi Hadikusuma dalam buku Aliran Pembaruan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani hingga K.H. Ahmad Dahlan (1979).
Ketika Muhammadiyah telah selesai dengan perdebatan nasionalisme dan Islam, kelompok tradisionalis justru masih berkutat pada persoalan fikih. Dengan susah payah, Tjokro berargumentasi meyakinkan kelompok tradisionalis, “apabila patriotisme merupakan sifat mencintai negeri dan tanah tumpah darah kita, maka Nabi kita Muhammad Saw itulah Patriot dan Nasionalis terbesar yang pernah ada di antara umat manusia.”
Menjelang kemerdekaan, ketika pembentukan BPUPKI dan PPKI (1945), tokoh-tokoh yang merepresentasikan kelompok Islam modernis mendominasi kepanitiaan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Perwakilan dari kelompok tradisionalis tidak seberapa. Namun meminjam analisis Tjokro dalam artikel yang ditulis sekitar 16 tahun sebelum pembentukan BPUPKI dan PPKI, meskipun mayoritas anggota kedua badan ini beragama Islam, tetapi mereka tidak secara eksplisit memperjuangkan Islam dalam proses penyusunan Dasar Negara Republik Indonesia. Mereka lebih menyembunyikan identitas sebagai muslim, padahal proses pembentukan dasar negara adalah tahapan krusial ketika hendak mewarnai sistem pemerintahan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Justru, sosok Ki Bagus Hadikusuma yang paling menonjol ketika memperjuangkan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam kasus ini, teori Tjokro tidak relevan karena Ki Bagus sebagai representasi tokoh Muhammadiyah justru proaktif dalam proses politik tingkat tinggi memperjuangkan ajaran Islam masuk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. [abu aksa].