YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif menitipkan harapan supaya Muhammadiyah melahirkan kembali sosok-sosok pembaharu yang membawa perubahan positif bagi agama, bangsa, dan kemanusiaan. Generasi awal Muhammadiyah mencatatkan sejarah sebagai kalangan creative minority yang berjuang untuk mencerahkan masyarakat dengan bekal gagasan yang melampaui zamannya.
Pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan bersama para muridnya semisal Kiai Hadjid dan Kiai Syuja merupakan orang-orang yang gelisah dengan situasi lingkungan masyarakatnya saat itu. Kegelisahan ini harus diwariskan kepada generasi penerus Muhammadiyah. “Kegelisahan yang jujur perlu dikembangkan. Gelisah bukan untuk gelisah. Tapi gelisah untuk membawa perubahan yang mendasar,” ujarnya.
Karakter para tokoh ini berbanding terbalik dengan kondisi umat Islam dan bahkan termasuk di dalamnya para intelektual muslim, yang justru abai dengan tanggung jawab sosialnya. “Banyak orang Islam, termasuk intelektual itu merasa nyaman saja. Tidak gelisah. Kiai Dahlan itu sangat gelisah,” tutur Buya.
Buya Syafii menyatakan bahwa kondisi Kauman sebagai cikal berdirinya Muhammadiyah merupakan sebuah kampung ‘hitam’ dengan masyarakat yang berpikiran kolot. “Kiai Wasul mengatakan bahwa Kauman sebelum adanya Muhammadiyah itu musyrik kabeh (semua),” ungkapnya. Di tengah kondisi itu, Kiai Dahlan memiliki kesadaran dan kemauan untuk menghadirkan perubahan dan membawa masyarakat menjadi lebih baik.
Dari pusat kejawen Kauman, Muhammadiyah kini telah menyebar ke seluruh penjuru. “Tapi Muhammadiyah jangan merasa aman saja. Kalau begini terus, kita tidak bisa mengubah Indonesia,” urai Buya Syafii. Benih optimisme ini perlu dirawat. “Ada Cabang dan Ranting Muhammadiyah unggulan itu memberi harapan,” katanya.
Pada 18-21 Oktober 2018, Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah mengadakan Muhammadiyah Expo si Gunung Pring, Magelang. Dalam kegiatan itu, ditampilkan tentang geliat Muhammadiyah di akar rumput. Ada banyak komunitas Muhammadiyah yang melakukan dedikasi luar biasa. Dalam hal pemberdayaan ekonomi hingga membumikan tolerasi. Mereka jauh dari sorot media.
Buya Syafii menyampaikan apresiasi atas gerak Muhammadiyah di akar rumput ini. “Jika sesuatu diurus dengan baik, profesional, dan semangat kebersamaan, maka bisa,” katanya. Oleh karena itu, optimisme ini perlu untuk dilipatgandakan menjadi gelombang besar. Ketulusan untuk melakukan pengabdian menjadi kunci.
Hal lainnya, Buya Syafii mengingatkan warga Muhammadiyah untuk menggali kembali gagasan dan pemikiran para generasi awal. “Perlu dikenalkan pada warga Muhammadiyah pemikiran-pemikiran Kiai Dahlan, Kiai Syuja, Kiai Hadjid. Munculkan Dahlan-Dahlan baru,” tuturnya. Muhammadiyah diharapkan untuk tidak mempertahankan status qou dan apalagi merasa sudah nyaman di zona aman. “Saya rasa perlu dibangun kesadaran kolektif. Muhammadiyah bisa. Kita harus berubah,” kata Buya.
Selain itu, juga perlu untuk memahami sejarah perkembangan Islam. Sehingga bisa memahami agama secara tepat. Bisa memilah antara Islam yang otentik (normatif) dengan Islam historis, yang dihasilkan oleh perbedaan tafsir, perpecahan politik, hingga pengaruh budaya.
Buya Syafii khawatir dengan kehidupan umat Islam yang semakin jauh meninggalkan nilai-nilai ideal yang terdapat dalam al-Qur’an. “Jarak antara idealisme Quran dengan umat ini sudah terlalu jauh,” ulasnya. Semisal tentang nilai persaudaraan, yang sama sekali hilang dalam sejarah peradaban Islam.
“Baca sejarah yang ditulis oleh sejarawan yang jujur. Tatanan masyarakat Muslim yang ideal itu hanya sampai masa Khalifah Umar saja. Bani Umayyah dan Abbasiyah itu dibentuk di atas tengkorak sesama Muslim,” ujarnya. Oleh karena itu, Buya Syafii berharap supaya al-Qur’an dijadikan sebagai benang merah. Landasan bersama yang dipahami secara mendalam dan tulus, tanpa berbalut topeng kepentingan apa-apa.
Pesan lainnya, Buya Syafii berharap supaya Muhammadiyah mempertahankan manhajnya untuk tidak berafiliasi ke salah satu mazhab tertentu, meskipun juga tidak berarti anti mazhab. Metodologi pemahaman terhadap sumber ajaran agama yang dilakukan dengan seperangkat manhaj tarjih, memiliki kelebihan untuk terlepas dari sekat-sekat sektarianisme sempit, yang berujung kotak-kotak perpecahan. Hal itu cukup menguras energi. “Yang Sunni bangga dengan Sunninya, yang Syiah begitu, yang sub-sub Sunni dan sub-sub Syiah begitu,” katanya.
Padahal seharusnya, Islam dengan predikat khairu ummah harus bisa menjadi unggul dan menghadirkan alternatif jawaban bagi krisis dunia modern. Menurut Buya Syafii, saat ini, peradaban Barat masih pseudo peradaban. Tidak menyentuh kedalaman. Sementara peradaban Islam masih belum bisa memberi harapan dan alternatif jawaban. (ribas)
Baca juga
Kultum Buya Syafii Maarif: Esensi Syariat adalah Tegaknya Keadilan
Kultum Buya Syafii Maarif: Menjadi Pemenang dalam Perlombaan Peradaban
Kultum Haedar Nashir: Upaya Muhammadiyah Internasionalisasi Islam Indonesia