Oleh: Haedar Nashir
Dalam usia belia, Muhammad sempat terbersit ingin menikmati hiburan. Gelora alamiahnya sebagai homo ludens, makhluk bermain, sempat tumbuh. Dia ingin pergi ke suatu tempat yang ada pertunjukan hiburan.
Apa yang terjadi? Baru sebagian perjalanan, tiba-tiba Muhammad terserang rasa kantuk. Dia menepi ke sebuah pohon dan duduk di bawahnya. Tidak lama kemudian dia tertidur lelap. Begitu terbangun, dia sadar kalau sudah tidak ada lagi waktu untuk menikmati pertunjukan hiburan yang hendak ditujunya. Dia sudah tak berhasrat lagi, akhirnya kembali ke rumah pamannya Abu Thalib.
Muhammad diselamatkan Allah untuk tidak menikmati hiburan-hiburan lahiriah sebagaimana lazimnya manusia biasa. Syaghafu al-Nabi bi makarim al-akhlaq, Nabi sejak kecil gemar dengan akhlak yang mulia, tulis Al-Hufy. Muhammad sebagai pribadi terjaga dari kebiasaan-kebiasaan yang sia-sia dan membuat dirinya jauh dari fitrahnya yang bening. Sifatnya yang ma’shum, benar-benar terjaga dari dosa, yang tampak dalam jejak hidupnya.
Sewaktu muda Muhammad digelari oleh kaum Quraisy sebagai Al-Amin, sosok terpercaya. Al-Amin bukan sekadar nama atau atribut luar, tetapi ciri diri yang menyatu antara lahir dan batin, antara kata dan perilaku. Benar-benar menjadi insan paling jujur di muka bumi, yang diakui oleh mereka yang kafir sekalipun. Karenanya, bumi dan umat manusia mengakui kemuliaan perangainya.
Lebih-lebih setelah Muhammad menjadi Nabi. Allah memberi predikat sebagai berkahlak yang agung (QS Al-Qalam: 4). Sebagai uswah hasanah nan sejati. Beliau dikenal shidiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (penyampai kebenaran), fathanah (cerdas), zuhud wal wara (bersahaja), al-karam (mulia), al-hilm (halus budi), dan segala sifat mulia lainnya. Nabi juga kesatria (al-wafa), pemberani (asy-syaja’ah), sertan akhlak utama lainnya yang prokehidupan untuk menyebarkuaskan risalah Allah di muka bumi.
Umatnya di belakang hari tentu ingin meneladani jejak hidup Muhammad s.a.w sebagai teladan yang sempurna itu. Baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam mengurus kehidupan yang luas. Akhlak yang utama menjadi bingkai penuntun hidup. Dalam bertindak sehari-hari maupun mengelola urusan mu’amalah mampu memilah mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang patut dan tidak patut. Bukan asal terabas yang menabrak nilai-nilai luhur ajaran.
Jadi apapun seorang muslim hendaknya berperangai utama. Menjadi politisi, pengusaha, pejabat publik, profesional, maupun orang biasa. Apalagi sebagai ustadz, mubalig, juru dakwah, dan penyebar ajaran agama. Segala hal harus meneladani jejak keutamaan Nabi dan titah ajaran Islam. Kata sejalan tindakan. Baik di lisan, baik pula dalam perbuatan. Sehingga kebaikan itu terpancar dan menjadi kekuatan hidup yang mencerahkan.
Ajaran agama tidak dipilih-pilih hanya yang menguntungkan semata. Nabi dicontoh hanya yang mendukung hasrat pribadi, sementara keteladanan yang sulit dan penuh pengorbanan tidak diikuti. Islam sekadar ditampilkan pada hal-hal simbolik belaka seperti cara berpakaian. Sementara untuk urusan-urusan besar jauh panggang dari api. Agama dan Nabi sekadar menjadi pembenar untuk pemuasan kepentingan-kepentingan duniawi.
Agama tidak jarang dijadikan penutup perbuatan salah. Mengaku jadi wali, lalu bebas berbuat salah dan haram. Perbuatan buruk dibenarkan dalam sosok suci. Pemimpin korupsi dibela. Umat pun dibikin bodoh dan didustai dengan cekokkan ajaran-ajaran yang mengandung fanatik buta. Agama tidak dijadikan kekuatan pencerah, malah jadi alat siasat dan salah kaprah.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 2 tahun 2014