Umat Islam Jangan Menyalahkan Orang Lain

Umat Islam Jangan Menyalahkan Orang Lain

Imam di Islamic Center of New York yang akrab disapa Imam Shamsi Ali merupakan ulama asal Indonesia yang disegani di Amerika, khususnya di New York. Kader Muhammadiyah ini tetap memantau perkembangan Indonesia. Sebagai wujud kecintaannya pada tanah air, ia mendirikan Yayasan Nusantara. Ia juga menjabat direktur Jamaica Muslim Center. Berikut hasil perbincangan Suara Muhammadiyah dengan Imam Shamsi Ali beberapa waktu lalu:

Sudah berapa lama ustadz berkecimpung di manca negara?

Saya sudah di luar negeri sejak tamat Pesantren Muhammadiyah Darul-Arqam Gombara, Makassar. Saya kira ada pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran dalam membenahi kehidupan umat di Indonesia. Salah satunya adalah bahwa salah satu penyebab utama keterbelakangan umat ini adalah karena sistim pendidikan yang tidak mumpuni. Untuk itu, kebangkitan bangsa mana saja harus dimulai dari penataan sistim pendidikan yang tepat.

Menurut penilaian orang Amerika, bagaimana umat Islam Indonesia?

Saya kira secara umum, orang-orang Amerika memandang umat Islam Indonesia dengan pandangan positif, walau memang diakui adanya pemberitaan tentang kasus-kasus insidental intoleran yang terjadi di beberapa tempat. Ambillah sebagai contoh, kasus Ahmadiyah, Syiah di Madura, pembangunan gereja Yasmin di Bekasi, dll. Semua kasus ini cukup menonjol dalam pemberitaan tentang kehidupan beragama di Indonesia sehingga seolah-oleh mewakili wajah Islam Indonesia. Namun demikian, secara umum masyarakat Amerika masih positif  pandangannya tentang Islam Indonesia, dan sebenarnya punya harapan agar umat Islam Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia mampu menjadi contoh unggul bagi negara yang berpenduduk mayoritas Muslim lainnya.

Orang Amerika punya harapan agar umat Islam Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia mampu menjadi contoh unggul bagi negara yang berpenduduk mayoritas Muslim lainnya.  Mungkinkah  hal ini bisa dilakukan dengan adanya konflik yang tergambar dalam pemberitaan di atas?

Orang-orang Amerika masih melihat Indonesia, kendati diakui adanya konflik-konflik kasuistik, sebagai harapan bagi umat Islam yang demokratis, modern dan bersahabat. Jadi mungkin istilahnya the best among the worst. Hal ini tergambar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup pesat, pemilu yang sangat damai dan demokratis (walaupun tidak sempurna), dan yang paling penting tidak nampak gesekan antara ketaatan kepada Islam dan kehidupan berdemokrasi dalam tatanan bernegara. Maka Indonesia mampu mengkombinasikan semua nilai-nilai universal yang baik. Itu harapan Amerika kepada Indonesia.

Bagaimana pula dengan penilaian pemerintah Amerika yang ikut mendanai  pemberantasan terorisme (yang  diidentikkan dengan  umat Islam) di Indonesia?

Saya kira perkiraan itu tidak benar. Yang benar adalah bahwa pemberantasan terorisme menjadi isu semua bangsa, termasuk Indonesia. Oleh karenanya wajar kalau bangsa-bangsa di dunia berusaha membangun kerjasama untuk memberantas terorisme di mana saja, termasuk di Indonesia. Jadi yang benar adalah kerjasama, seperti di negara lain, antara Amerika dan negara bersangkutan untuk memberantas terorisme. Maklum sejak 11 September 2001, Amerika merasa memiliki kewajiban penuh untuk mencabut akar terorisme di dunia ini. Dan dalam pelaksanannya AS sendiri sadar tidak mungkin bisa melakukannya sendiri.

Sesuaikah penilaian tersebut dengan kondisi umat Islam Indonesia saat ini?

Saya kira tidak. Yang terjadi adalah ada pemberitaan yang tidak imbang. Ada kecenderungan manipulasi pemberitaan di kedua pihak sehingga terjadi kesalah pahaman yang besar. Saya sempat ceramah di beberapa tempat dan saya dapatkan adanya kesalah pahaman tentang Amerika dalam menyikapi kehidupan beragama, khususnya Islam. Seolah-olah Amerika itu anti Islam dan Muslim. Padahal, kenyataanya Islam adalah agama yang tumbuh paling pesat di negara ini.

Islam adalah agama yang tumbuh paling pesat di Amerika. Bisa ustadz gambarkan perkembangan tersebut?

Agama di Amerika Serikat adalah sesuatu yang tidak terlalu menarik lagi. Masalahnya adalah karena memang secara tradisi Amerika Serikat dikenal sebagai negara Judio-Christian. Sehingga kedua agama ini dianggap secara tidak tertulis sebagai agama mayoritas penduduk Amerika. Apapun alasannya, agama-agama itu sejak lama sudah dianggap pengusung mitos dan penghambat kemajuan. Islam sendiri, sejak lama dianggap agama mitos yang mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan rasionalitas manusia, dan juga dianggap penghalang modernitas.

Akan tetapi dalam situasi demikian, entah memang karena Allah menentukan demikian, sebelum 11 September pun Islam tumbuh dengan pesat. Kalau dahulu agama/Islam dibenci karena dianggap penghambat modernitas dan demokrasi, kini ada pihak-pihak yang tidak senang karena Islam mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Dalam keadaan demikian terjadilah serangan 11 September 2001.

Banyak yang menyangka kalau peristiwa 11 September itu adalah kuburan bagi Islam di Barat dan Amerika khususnya. Ternyata sebaliknya yang terjadi. Pertumbuhan Islam menjadi 4 kali lipat dibanding sebelum peristiwa tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena Islam diekspos sedemikian luar biasa, baik dengan cara potitif maupun negatif, alhamdulillah berakhir dengan hasil positif. Dan perkembangan ini bukan cuma secara kuantitas tapi juga secara kualitas. Banyak pemeluk Islam setelah 11 September adalah orang-orang muda, terdidik dan profesional. Sehingga peranan umat islam juga semakin nampak, termasuk dalam pemerintahan AS. Misalnya ada dua anggota kongres Muslim, beberapa walikota Muslim, dan di bidang-bidang profesionalitas lainnya, seperti IT, dokter, dll., banyak sekali anak-anak umat yang memainkan peranan yang sangat penting.

Adakah potensi umat Islam untuk membangun harmonisasi di Indonesia dan lebih luas lagi di dunia?

Sebenarnya jawabannya bukan ada tapi harus. Umat Islam harus memainkan peranan hamonisasi itu sebagai implementasi dari wajah Islam yang ramah, tersenyum, bersahabat atau dalam bahasa Al-Qurannya “Rahmatan lil-alamin”. Bahwa di saat Islam dan pemeluknya dituduh sebagai sumber berbagai konflik di dunia ini, masalah umat ini membalik realita itu dengan kerja nyata. Buktikan saja bahwa tuduhan itu salah dalam bentuk prilaku dan aksi.

Apakah potensi  terbesar yang dimiliki umat Islam Indonesia?

Saya kira terlalu potensi yang dimiliki oleh umat Islam Indonesia. Secara geografis Indonesia dari dulu sangat ideal dalam hubungan internasional dengan perairan yang maha luas. Secara alam Indonesi adalah negara subur dan kaya raya. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat dunia. Anak-anak Indonesia memiliki tingkat akal rata-rata di atas (pintar-pintar). Tapi yang terpenting, Indonesia adalah satu dari secuil negara-negara Muslim yang demokratis, dan secara kebetulan pula Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Semua potensi ini sangat dahsyat jika dikelola  secara baik untuk memainkan peranan dalam membentuk wajah dunia global yang lebih baik.

Bagaimana agenda strategisnya agar potensi tersebut tidak kontra produktif?

Ada lima minimal yang harus dilakukan: Perama,  Pentingnya umat ini menyadari bahwa sumber kejayaan dan kemuliaan itu ada pada agama ini. Jangan pernah berharap jaya dan sukses jika mental kita adalah mental budak dan menyerah. Kedua, Potensi yang ada itu tidak akan memberikan makna apa-apa terkecuali kalau umat ini mampu membangun “networking” yang solid. Saya memakai kata networking karena kata “bersatu” seringkali dipahami sebagai penyeragaman. Padahal bersatu itu bukan berarti seragam. Melainkan kemampuan mengelola perbedaan yang ada sehingga semuanya menjadi sumber kekuatan bersama. Ketiga, Kunci dari kebangkitan dan kejayaan semua umat  itu ada pada satu kata: Pendidikan. Itulah hikmahnya kenapa Al-Qur’an turun pertama kalinya dengan perintah membaca. Pendidikan kita penting untuk dibenahi. Keempat, Umat ini harus kembali ke jalan pertengahan “wasathiyah”. Yaitu kemampuan melihat segala sesuatu dalam hidup ini secara imbang. Terjadi kubu ektsrim dalam tubuh umat yang menjadikan umat ini kehilangan pikiran dan pandangan rasional. Kelima, Umat ini harus berhati-hati dalam menyikapi berbagai hal tapi tidak perlu membangun teori konspirasi yang berlebihan. Teori konspirasi itu adalah selalu menyalahkan orang lain di saat kita mengalami kegagalan. Sehingga tidak pernah mampu melakukan intrsospeksi dan perbaikan. Teori konspirasi dalam banyak hal telah menjadi racun bagi umat ini.

Apa kendalanya untuk menjadikan potensi yang besar itu positif dan produktif?

Kendalanya iya semua tadi itu. Umat ini kehilangan kepercayaan pada agamanya. Bahkan yang nampak beragama juga tidak percaya melainkan emosional atas nama agama. Umat ini hanya bisa berkumpul tapi tidak bisa membangun networking yang solid. Umat ini sangat terbelakang dalam pendidikan sehingga dengan mudah diperbodoh oleh bangsa lain. Umat ini juga sudah terjatuh ke dalam lembah ekstrimisme dan cepat marah, serta umat ini hanya mampu menyalahkan orang lain tapi gagal melakukan pembenahan.

Umat Islam Indonesia bernaung dalam ormas-ormas yang beraneka ragam, ada Muhammadiyah, NU, Persis, Perti  dan banyak ormas yang tumbuh baru setelah reformasi yang diantaranya rawan konflik.  Kerja-kerja apa yang mesti mereka lakukan untuk lebih meningkatkan ukhuwah, mana yang bisa dikerjasamakan dan mana pula yang dikerjakan sendiri-sendiri?

Saya kira salah satu keunikan umat Islam Indonesia adalah adanya keragaman organisasi Islam yang semuanya bekerja untuk umat walaupun dengan pandangan atau pola pikir dan metode yang berbeda. Ambillah dua organisasi terbesar; Muhammaditah dan NU. Keduanya adalah organsiasi non pemerintah terbesar di dunia. Dan memiliki potensi yang sangat luar biasa. Kalau kedua organsiasi ini saja bekerja dengan profesional, lalu menjalin kerjasama dalam hal-hal yang bersifat prinsip, misalnya memerangi kemiskinan dan keterbelakangan dalam pendidikan, saya yakin banyak hal yang bisa dilakukan. Masalah-masalah yang tidak prinsip misalnya ‘furu’ dalam bidang fiqh kiranya bisa dibangun saling memahami dan menghormati. (lut)


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Dialog” Majalah Suara Muhammadiyah edisi Nomor 4 tahun 2014

Exit mobile version