Majelis Tarjih dan Perannya Terhadap Dunia Islam

Majelis Tarjih dan Perannya Terhadap Dunia Islam

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Senin malam, 5 November 2018, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 Prof Ahmad Syafii Maarif melakukan temu wicara dengan para pimpinan dan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Forum yang diselenggarakan di Grha Suara Muhammadiyah itu dalam rangka saling berbagi gagasan tentang pandangan keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar menyambut baik diskusi terpumpun ini dan diharapkan bisa membawa dampak positif. Masukan dari Buya Syafii diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam rumusan Fikih Demokrasi yang sedang akan disusun. Syamsul sempat melaporkan beberapa karya monumental Majelis Tarjih. Semisal Tafsir At-Tanwir, Himpunan Putusan Tarjih, Fikih Bencana, Fikih Air, Fikih Tata Kelola, Fikih Anti Korupsi, hingga Risalah Islamiyah. Semua itu merupakan wujud gagasan besar Islam Berkemajuan untuk mencerahkan umat dan bangsa.

Buya Syafii mengapresiasi kiprah dan dedikasi intelektual Majelis Tarjih. “Saya memberi penghargaan kepada Majelis Tarjih dengan karya-karyanya yang bagus. Karya ini perlu dibaca sampai ketua-ketua cabang dan ranting,” ujarnya. Buya berharap majelis ini harus lebih progresif dan berani untuk menyuarakan paham keagamaan yang membawa umat pada misi utama al-Qur’an, sebagai khairu ummah dan syuhada’ ‘alannas. Cita-cita al-Qur’an menuntut pada keunggulan di semua bidang. Di saat yang bersamaan, Islam dengan keunggulan yang dimilikinya harus menjadi rahmat bagi manusia dan alam semesta.

Aforisme Islam rahmatan lil ‘alamin diharapkan benar-benar dirasakan oleh semua. Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr Hamim Ilyas baru saja menerbitkan buku Fikih Akbar, yang secara khusus mencoba mencari formulasi baru tentang konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin. Menurutnya, rahmat adalah sikap penuh cinta dan kasih sayang yang mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan nyata kepada semua, menuju hidup baik.

Dalam kesempatan tersebut, Buya Syafii mengajak Majelis Tarjih dan Tajdid untuk meluaskan jangkauan ijtihad jama’i (kolektif). “Ijtihad tarjih ini diperluas lagi. Islam yang kita cintai ini jangan sampai terkapar terus di muka bumi,” tuturnya. Berkumpulnya para ahli agama dan intelektual di majelis ini menjadi modal dan potensi besar untuk melahirkan gagasan-gagasan besar.

Salah satunya tentang dunia Islam global. Menurut Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah tidak boleh berada di status quo dan hanya memikirkan dirinya sendiri. “Tarjih perlu menambah beban perannya pada dunia Islam yang sedang berantakan. Dunia Arab sedang dalam proses pembusukan. Muslim non-Arab susah membedakan antara Islam yang otentik dan Islam historis yang dipraktikkan oleh orang Arab,” katanya. Dalam pandangan Buya terhadap dunia Arab, para penguasa politik telah membeku terhadap kebenaran, sementara para ulamanya tidak paham peta.

Akarnya bermula pada perseteruan politik para elit Arab muslim. Sejak setelah wafatnya Nabi. Perseteruan itu diwariskan ke seluruh dunia sampai hari ini. Muslim non-Arab menggeneralisir bahwa semua yang datang dari Arab adalah Islam. Padahal, perilaku para elit Arab ini justru sangat jauh dari nilai-nilai yang diinginkan oleh Islam. Al-Qur’an misalnya menyebut, innama al-mukminuna ikhwah, fa ashlihu baina akhawaikum. Namun, nilai persaudaraan justru luruh. “Dalam perebutan kekuasaan, Qur’an ditinggalkan,” katanya.

Buya Syafii menyarankan untuk membaca karya-karya Abdullah Mohammad Sindi yang mengupas tentang kehidupan Dinasti Arab. Semisal tulisan “Britain, the Rise of Wahhabism and the House of Saud” yang diterbitkan pada tahun 2004. “Islam dalam jubah Wahabisme, itu bentuk Islam yang mengerikan. Mereka khadimul haramain, tetapi di sana menggejala korupsi luar biasa, tidak ada keadilan,” katanya.

Hal ini tidak dalam artian membenci Arab, tetapi memposisikan Arab sesuai dengan proporsi yang tepat. Buya Syafii ingin menyadarkan bahwa sejarah peradaban Islam tidak berjalan mulus. “Peradaban dibangun di atas tengkorak sesama, lawan politiknya. Dinasti Umayyah dibangun di atas tengkorak para pengikut Ali. Dinasti Abbasiyah dibangun di atas tengkorak Umayyah,” ujarnya.

Buya Syafii mengajak Majelis Tarjih untuk menggelisahkan keadaan dunia Islam secara kolektif. Dengan kegelisahan itu diharapkan akan menuju pada titik terang peradaban. Muhammadiyah bermula dari kegelisahan Kiai Dahlan yang melahirkan pemihakan dan perubahan. “Saya pertanyakan terus, Islam di otak dan jantung saya benar tidak?” ungkapnya.

Dalam sesi diskusi, sempat mengemuka tentang wacana siklus peradaban dunia. Sekilas, maju dan mundurnya peradaban adalah bagian dari siklus sejarah, tidak perlu diperjuangkan. Namun, Buya Syafii mengingatkan bahwa manusia diberi otonomi oleh Allah untuk mengubah siklus itu. Buya Syafii merujuk ayat, bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu mau mengubahnya. Artinya, Allah akan berpihak ketika manusia mau mengambil inisiatif untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik.

Allah akan membantu umat Islam menuju khairu ummah ketika umat Islam sendiri mau untuk merubah pikiran dan perilakunya. Buya Syafii optimis bahwa generasi ke depan akan meraih kejayaan, QS. Ad-Dhuha (93) ayat 4: walal akhiratu khairul laka minal ula (dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan). Ayat ini menjadi pemacu supaya umat Islam tidak terperdaya dengan hadis yang menyatakan bahwa sebaik-baik kaum adalah di masa nabi dan masa setelahnya. Hadis ini jika salah dipahami, akan menjadikan umat pesimis dan menyerah begitu saja dengan kondisi keterpurukannya.

Dalam rangka itu, Buya Syafii juga berharap Majelis Tarjih terus melahirkan gagasan kepeloporan yang mencerdaskan umat. “Hukum tidak muncul di ruang hampa. Tarjih harus melahirkan pemikiran yang dimanis, kreatif. Islam yang shalih fi kulli makan wa zaman,” ungkapnya. Untuk itu, perlu melihat segala sesuatu secara luas. “Mohon dibaca kembali orang-orang yang memberi inspirasi. Yang membuat jantung dan otak kita berdansa. Kalau kita hanya melihat ke dalam, kita sudah cukup, hebat. Tapi kita perlu berpikir lebih luas. Tidak hanya diri sendiri dan Muhammadiyah saja,” tukasnya. (ribas)

Exit mobile version