Oleh Prof Dr Muhammad Chirzin MAg
Al-Quran adalah permulaan Islam dan manifestasinya yang terpenting. Petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda antara kebenaran dan kepalsuan. Pembimbing manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Al-Quran adalah serat yang membentuk tenunan kehidupan mukmin. Ayat-ayat Al-Quran adalah benang yang menjadi rajutan jiwanya (Qs Al-Isra` [17]:9-10, Az-Zumar [39]:23).
Tiada satu bacaan pun, sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu, yang menandingi Al-Quran. Tiada bacaan melebihi Al-Quran, yang memperoleh perhatian dari segi sebab-sebab dan latar belakang maupun masa dan waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari kandungannya generasi demi generasi. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang terpadu di dalamnya keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangan; kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
“Tiada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan ‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad, Al-Quran.” (H.A.R. Gibb).
Al-Quran ibarat sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing pembacanya.
Al-Quran datang dari Allah, bukan hanya arti dan maknanya, tetapi juga bentuk dan lafalnya. Al-Quran adalah aspek yang integral dari petunjuk-Nya. Banyak orang yang tercengang ketika membaca Al-Quran untuk pertama kalinya, sebab Al-Quran tampak di matanya sebagai sesuatu yang inkoheren. Ketidaksinambungan yang terlihat dalam Al-Quran disebabkan oleh perbandingan yang tidak seimbangan antara roh dengan bahasa manusia yang terbatas. Seolah-olah bahasa manusia sebagai pemadatan menanggung beban yang sangat berat dari firman Allah yang pecah menjadi seribu keping.
“Al-Quran bagaikan pengantin wanita. Bila engkau mencoba membuka pakaiannya, ia tidak akan memperlihatkan dirinya padamu. Apabila engkau membuka Al-Quran, engkau tidak akan menemukan apa-apa dan engkau tidak akan memperoleh kenikmatan. Hal ini karena cara engkau membuka pakaiannya, tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Ia menampakkan dirinya buruk dan tidak menggairahkan di dalam penglihatanmu. Bila engkau memenuhi persyaratan yang ditetapakan, ia akan memperlihatkan wajahnya nyang paling indah tanpa kaubuka cadarnya.” (Jalaluddin Rumi).
Al-Quran adalah sebuah totalitas, sebuah pencerminan yang beranekaragam dari Eksistensi-Mutlak agar dapat dipahami oleh manusia. Al-Quran adalah sebuah cahaya yang menghendaki agar kita yang hina ini menyaksikannya. Seperti halnya dunia ini, Al-Quran pada waktu yang bersamaan bersifat tunggal dan aneka ragam. Dunia ini adalah suatu keanekaragaman yang membuyarkan dan memecah-mecahkan, sedangkan Al-Quran adalah suatu keanekaragaman yang serba menarik dan mengarah kepada Yang Esa.
Keanekaragaman Kitab Suci ini mengisi dan menyerap jiwa manusia dan tanpa terasa membawa jiwa manusia ke dalam alam kesyahduan dan keabadian dengan suatu cara yang sangat halus. Melalui mosaik teks-teks, ungkapan-ungkapan dan kata-kata di dalam Kitab Suci Allah meredakan agitasi akal pikiran dengan menampilkan diri-Nya sendiri sebagai agitasi mental.
Al-Quran adalah sebagai gambaran segala sesuatu yang dapat dipikirkan dan dirasakan oleh otak manusia, dan melalui Kitab inilah Allah meredakan kegelisahan manusia dengan memasukkan keheningan, kesyahduan dan kedamaian ke dalam jiwa orang-orang yang beriman.
Dengan Al-Quran Allah hendak menyelamatkan manusia, karena di dalam diri kita sesungguhnya ada “orang-orang yang kafir” (kafirun), “orang-orang yang mempersekutukan Allah” (musyrikun), “orang-orang yang munafiq” (munafiqun), dan “orang-orang yang aniaya” (zhalimun). Kisah-kisah di dalam Al-Quran setiap hari terulang di dalam diri kita. Makkah adalah jantung kita. Al-Quran adalah alam semesta yang senantiasa menghubungkan kita dengan Allah.
Al-Quran bertujuan untuk: (1) Membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta menetapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia. (Qs Al-Ikhlash [112]:1-4, Ali Imran [3]:64).
(2) Mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan satu umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan. (Qs Al-Maidah [5]:2).
(3) Menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antarsuku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, naturan dan supranatural, kesatuan ilmu, iman dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik dan ekonomi yang kesemuanya berada di bawah satu keesaan, yaitu keesaan Allah SWT. (Qs Al-Baqarah [2]:213).
(4) Mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. (Qs Asy-Syura [42]:36-38).
(5) Membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan agama. (Qs Al-Baqarah [2]:177, Ali Imran [3]:110).
(6) Memaduan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia. (QS An-Nahl [16]:90).
(7) Memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. (Qs Al-Baqarah [2]:143).
(8) Menekankan peranan ilmu dan teknologi guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi. (Qs Al-Mujadilah [58]:11).
Bahasa Al-Quran adalah suci, sebab Tuhan telah memilih untuk menggunakannya sebagai alat komunikasi. Tuhan selalu menyampaikan petunjuk-Nya dalam bahasa yang mengekspresikan kebenaran dalam bentuk yang paling konkrit. Bahasa suci memiliki kedalaman tersendiri dan jarang diperkembangkan secara horizontal. Setiap kata jarang mempunyai arti didaktis atau konseptual dalam isinya. Baru kemudian bahasa suci ini dikembangkan ke dalam bentuk abstrak dan filosofis.
Pada awal-mulanya sebuah tradisi memiliki bahasa yang berbeda dari yang sekarang ini. Kata-katanya tidak usang dan kandungannya jauh lebih besar daripada yang kita sangka. Banyak hal yang cukup jelas bagi pembaca-pembaca di zaman yang lampau pada masa kini perlu diterangkan sejelas-jelasnya – tetapi bukan ditambah.
Al-Quran bukanlah suatu teks mistik dan bukan pula buku petunjuk logika Aristotelianistis, meskipun ia mengandung mistisisme dan logika. Ia bukan pula puisi semata-mata, meskipun di dalamnya terdapat puisi yang paling indah dan penuh kekuatan. Ayat-ayat Al-Quran menunjukkan bagaimana bahasa manusia dilebur oleh kekuatan kata-kata-Nya. Melalui ayat-ayat Al-Quran orang merasakan kekuatan firman Tuhan.
Al-Quran menunjukkan bagaimana bahasa manusia dengan segala kelemahannya, tiba-tiba mampu menjadi wadah bagi firman tersebut, karena dorongan dari suatu kekuatan yang jauh lebih besar daripada kekuatan yang dapat dibayangkan oleh manusia.[]
***
Al-Quran tidak dapat dibandingkan dengan karya manusia. Di dalam Al-Quran sering tampak hal-hal yang seolah-oleh inkoheren. Tetapi sebenarnya bukanlah Al-Quran yang inkoheren, melainkan pikiran manusia sendiri; dan sulit sekali bagi manusia mengintegrasikan diri ke dalam suatu “titik pusat”, agar ia dapat memahami arti Al-Quran yang sebenarnya.
Kesulitan dalam membaca dan memahami Al-Quran terletak pada ketunggalan dari apa yang “diucapkan” Tuhan dan apa yang terdengar oleh manusia, dalam bahasa, yang meskipun suci, adalah bahasa manusia juga. Al-Quran adalah sebuah “dunia” yang mempunyai tatanan dan arsitekturnya sendiri yang bukan dalam bentuk susunan sebuah ensiklopedia mengenai fakta-fakta ilmu, dan bukan pula dalam bentuk sebuah buku ajar yang didedikasikan untuk suatu disiplin ilmu tertentu. Walaupun Al-Quran tidak dianggap sebagai sebuah buku panduan ilmu, namun di dalamnya orang dapat menemukan ayat-ayat yang mempunyai kepentingan ganda yang berupa ulasan mengenai fakta-fakta ilmiah.
Seringkali pada saat Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat berikutnya berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tatapi sesungguhnya ia mengandung keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sehingga apabila dipelajari dengan saksama, dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau, terangkum dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.
Teks Al-Quran seringkali menawarkan tipe pergeseran, yang tiba-tiba menghentikan gerak pikiran yang normal. Orang sering mempunyai kesan bahwa pergeseran tersebut terjadi untuk memacu pembacanya atau pendengarnya bergerak ke level pemahaman yang lebih tinggi dengan memaksanya untuk melihat hubungan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Sebuah pembicaraan tentang optika tiba-tiba muncul dalam sebuah pembicaraan metafisis; astronomi disebut dalam sebuah ayat yang berbicara tentang hukum. Orang dapat menganggap pergeseran tersebut sebagai tanda-tanda, seperti panah-panah berkilauan, yang menarik perhatian kepada sumber metafisis, sumber yang mengantisipasi berabad-abad kemajuan manusia. Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian adalah untuk mengingatkan manusia bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dalam belasan ayat (Qs Al-Baqarah [2]:172-188) Al-Quran mengemukakan secara berturut-turut keharaman makanan tertentu, seperti babi, ancaman terhadap orang yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa, kedekatan Allah kepada hamba-hamba-Nya, hubungan suami istri, dan larangan memakan harta secara tidak sah. Mengapa terkesan acak? Al-Quran menghendaki agar umat manusia melaksanakan ajarannya secara terpadu. Tidaklah babi lebih dianjurkan untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu; bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan; wasiat sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan; puasa dan ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks antara suami-istri, dan andaikata ada perselisihan di antara sesama pada umumnya, dan antara suami istri pada khususnya, janganlah menyuap hakim untuk memenangkan perkaranya.
Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya, antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik (Qs Al-Qashash [28]:76-82). Al-Quran tidak segan mengisahkan “kelemahan manusia”, namun itu digambarkannya dengan kalimat yang indah lagi sopan, tanpa membangkitkan potensi negatif, untuk menggarisbawahi akibat kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan setan.
Ketika Al-Quran menggambarkan kelemahan manusia, ia mengemukakan situasi, langkah konkrit, dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya, tetapi dengan cara yang berbeda dari ulah penulis cerita yang memancing nafsu dan merangsang birahi (Qs Yusuf [12]:21-28). Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi, tetapi juga tidak dibuka lebar dan diumbar selebar apa yang sering dipertontonkan di layar lebar atau layar kaca.
Al-Quran terdiri dari bagian yang sifatnya berbeda satu sama lain. Sebagian didaktis dan penuh keterangan, sebagian lagi puitis, ringkas dan langsung pada pokok persoalannya. Al-Quran diturunkan dalam bentuk yang kadang agung dan penuh misteri seperti rimba belantara; kadang jernih, simetris, dan geometris seperti kristal. Sebagian dari ayat-ayat Al-Quran diturunkan dalam bentuk pembicara orang pertama, dan sebagian lagi dalam bentuk yang lain. Bentuk ekspresi dalam Al-Quran dan sifatnya yang sedemikian rupa adalah pokok seni Islam.
Keagungan Al-Quran tidak terletak pada ekspresinya tentang fenomena alam ataupun kejadian sejarah. Keagungannya terletak pada kedudukannya sebagai lambang yang maknanya terus berlaku sepanjang sejarah, sebab ia menyatakan kebenaran abadi. Di dalam Al-Quran disebutkan tentang orang yang jahat dan siksaan atas diri mereka, tetapi hal ini lebih ditekankan sebagai lambang dari kenyataan yang selalu ada.
Keajaiban Al-Quran terletak pada kekuatan bahasanya yang mampu menarik hati orang terus-menerus, sejak mulai diturunkan seribu lima ratus tahun yang lalu sampai kini. Iman seseorang terlihat dari getaran hatinya ketika mendengar pembacaan ayat-ayat Al-Quran (Qs Al-Anfal [8]:2-4).
Al-Quran adalah intisari dari semua pengetahuan. Tetapi pengetahuan ini terkandung di dalam Al-Quran sebagai benih dan prinsip. Adalah absurd apabila kita mencoba untuk mencari penjelasan ilmiah yang terperinci dalam Al-Quran. Kita akan dihadapkan pada situasi yang mencengangkan, apabila mencoba membandingkan petunjuk yang abadi dengan pengetahuan yang fana, sebab pada saat kita menemukan hubungan antara pengetahuan tertentu dengan teks Al-Quran, pengetahuan itu sendiri telah berubah sesuai dengan sifatnya yang fana. Yang ada dalam Al-Quran adalah prinsip dari segala pengetahuan, termasuk kosmologi dan pengetahuan tentang alam semesta. Jadi, Al-Quran bukan saja sumber pengetahuan metafisis dan religius, tetapi juga sumber segala pengetahuan. Al-Quran adalah pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan intelektual Islam.
Al-Quran diturunkan untuk petani sederhana maupun ahli metafisika. Al-Quran mengandung berbagai tingkat pengertian bagi semua jenis pembacanya. Adalah sia-sia untuk mengajukan kritik terhadap Al-Quran hanya karena kita tidak bisa menerima deskripsi harafiah di dalam Al-Quran, ataupun karena kita tidak bisa memahami simbolisme yang terdapat di dalamnya. Mungkin ada yang mengatakan bahwa pemahaman Al-Quran yang serupa itu tidak akan mempunyai arti apa-apa selain cerita tentang perang, perintah dan larangan, surga dan neraka, dan seterusnya. Banyak orang yang membaca Al-Quran tanpa mendapatkan apa-apa kecuali petunjuk harafiah.
Al-Quran mengandung berbagai tingkat arti dan lapisan makna. Karena itu orang harus mempersiapkan diri agar dapat memahami arti Al-Quran yang sebenarnya. Manusia menemukan arti Al-Quran yang eksplisit melalui penafsiran terhadap hal yang terdapat secara implisit di dalam Al-Quran. Penafsiran ini biasanya didasarkan pada Hadis (sabda Nabi Saw) dan dilakukan oleh orang yang mampu menjadi penafsir. Kita tidak akan dapat memahami arti batin Al-Quran sebelum kita menghayati dimensi batin diri kita sendiri, dan tanpa karunia Tuhan. Apabila kita membaca Al-Quran secara dibuat-buat, tanpa menyadari kedalaman akar jiwa kita, maka Al-Quran akan tampak di mata kita sebagai sesuatu yang dangkal, yang tidak memiliki arti yang dalam. Al-Quran akan menyembunyikan diri dari kita, dan kita tidak akan dapat memahami arti batinnya. Hanya dengan penghayatan spiritual kita bisa memahami arti batin Al-Quran.
Ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun selama 23 tahun, dan selama itu pula Nabi Muhammad SAW tekun mengajarkan Al-Quran kepada para sahabat dan membimbing umatnya, hingga akhirnya mereka berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan, ridha dan ampunan Ilahi.
Allah menjadikan Al-Quran sebagai “reformasi besar” kemanusiaan dengan kekuatan yang mempengaruhi setiap jiwa. Dia menjadikan manusia sebaik-baik umat setelah lama terbelakang dan tertinggal. Al-Quran adalah petunjuk Allah yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila Al-Quran dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran (cipta), rasa dan karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat. Ketika Nabi SAW ditanya tentang apa yang beliau lakukan agar terus dikenang oleh generasi-generasi sesudahnya, beliau menjawab, “Membaca Al-Quran.” []
*Penulis adalah guru besar Ilmu Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Kazanah” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 8 tahun 2008