Battle of Surabaya, Barisan Tempur Semua Unsur

Battle of Surabaya, Barisan Tempur Semua Unsur

Pada hari kesembilan di November 1951, Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Penetapan itu merujuk pada peristiwa enam tahun silam, ketika ribuan pejuang Indonesia dengan gagah berani menghadapi para penjajah bersenjata lengkap.

Mendengar pengumuman ini, mungkin Bung Tomo sedang terpekur di hadapan istrinya, sambil berujar lirih, “Gambarku dimuat di halaman depan koran, namaku dibaca khalayak. Padahal sesungguhnya, tiada besar peranku pada 10 November 1945 bila dibandingkan keikhlasan beribu-ribu saudara yang telah gugur, dan karena merekalah, peristiwa 10 November itu menjadi besar gaungnya.”

Bermula kedatangan tentara Jepang pada 1 Maret 1942. Belanda menyerah kepada Jepang tujuh hari kemudian. Tiga tahun berselang, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, memanfaatkan momen ketidakberdayaan Jepang yang dijatuhi bom atom, dan terpaksa menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Para pejuang Indonesia pun melucuti senjata tentara Jepang. Kadang meletupkan pertempuran kecil. Bertepatan dengan itu, pada 15 September 1945, tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta, dan di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Sekitar 6.000 tentara Inggris yang merapat ke Surabaya bertujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang serta memulangkan tentara Jepang.

Kedatangan Inggris ternyata juga bermaksud mengembalikan administrasi Indonesia kepada Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Di antara rombongan tentara Inggris, NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut serta membonceng. Muncul gelombang perlawanan terhadap AFNEI dan NICA. Meskipun sempat terjadi perundingan dan gencatan senjata, pertempuran kecil masih terus terjadi.

Pada 30 Oktober 1945 malam, mobil yang ditumpangi pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, Jenderal AWS Mallaby, berpapasan dengan sekelompok pejuang Indonesia ketika melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya baku-tembak hingga menewaskan sang jenderal. Inggris murka. Belum pernah sebelumnya kehilangan seorang jenderal, bahkan sepanjang Perang Dunia I dan II. Sebab itu dijadikan alasan menyebarkan ancaman balas-dendam.

Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum meminta rakyat dan pejuang Indonesia menyerahkan diri dan senjata yang direbut dari Jepang kepada AFNEI dan NICA. Batas akhir berlakunya ultimatum yang disebar pada 9 November itu adalah pada pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Setelah itu, seluruh warga Surabaya diminta untuk meninggalkan tanah kelahiran. Puluhan pesawat tempur, kapal perang dan tank canggih serta 24.000-30.000 pasukan darat Inggris telah bersiap.

Di 9 November malam, para pemimpin dan perwakilan dari berbagai utusan berkumpul, berkomunikasi dengan pemerintah pusat. Presiden Soekarno menyerahkan semua keputusan pada pemerintah Jawa Timur. Setelah itu, Gubernur Soerjo berbicara di radio. Di antara orasinya menyatakan sikap bahwa rakyat tidak mengendaki pertempuran, surat ultimatum itu tidak pada tempatnya, rakyat tidak sedang dalam masa berperang. Oleh karena itu, semua diminta tenang dan menunggu pengumuman selanjutnya.

Roeslan Abdulgani dalam memoar Seratus Hari di Surabaya (1975) menyatakan, Doel Arnowo menelpon kembali Bung Karno, yang dijawab Menlu Ahmad Soebardjo. Menlu ditugaskan berunding dengan sekutu dan menemui titik buntu. Keputusan diserahkan ke Surabaya. Pukul 23.00, Gubernur Soerjo mengambil alih corong radio. Dengan mantap menyatakan, “Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap kita ini. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, polisi, dan semua badan-badan perjuangan pemuda kita.”

Meminjam bahasa Wiji Thukul, hanya ada satu kata, “Lawan!” Tirani harus tumbang dan keadilan harus ditegakkan. Jihad menjadi bungkus perlawanan. Bung Tomo berpidato di Radio Pemberontakan, “Slogan kita tetap sama: Merdeka atau Mati. Dan kita tahu, Saudara-saudara, bahwa kemenangan akan ada di pihak kita, karena Tuhan ada di sisi yang benar…”

Ribuan orang datang dari berbagai penjuru, meski hanya bermodal bambu runcing. Bukan sembarang perang. Rentetan pertempuran memakan waktu hingga tiga minggu, sampai tentara sekutu terdesak. 6.000-16.000 pejuang Indonesia gugur di palagan. Pertempuran maha dahsyat itu diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Buah perjuangan segenap eleman bangsa. Ada peran Gubernur Soerjo, Bung Tomo, KH Wahab Hasbullah, Roeslan Abdul Gani, KH Mas Mansyur, Doel Arnowo, dr Moestopo, Soedirman, dan lainnya. Dalam narasi film Battle of Surabaya (2015), bahkan di sana juga ada peran perempuan hingga anak kecil.

Menjadi keliru ketika di kemudian hari ada yang merebut klaim, dengan menyatakan bahwa rapat akbar pimpinan NU pada 21-22 Oktober yang melahirkan resolusi jihad NU sebagai sebab tunggal revolusi 10 November di Surabaya. “Dalam tinjauan historiografi Indonesia, beberapa karya dari para Indonesianis maupun sejarawan nyaris tidak menempatkan peristiwa resolusi jihad sebagai topik yang urgen,” kata pemerhati sejarah, Mu’arif.

Menurut telusurannya, Ben Anderson dalam buku Revolusi Pemuda (1988) memang menyajikan sepenggal narasi seputar peristiwa rapat akbar umat Islam pada 21-22 Oktober 1945, tetapi peristiwa ini tidak dapat dimaknai berdiri sendiri. Apalagi dimaknai sebagai sebab tunggal yang dapat memicu peristiwa besar setelahnya. Dalam Sejarah Alternatif Indonesia karya Malcolm Cadwell dan Ernest Utrecht (2011), peristiwa rapat akbar tidak masuk dalam pembahasan. Keduanya memberikan analisis yang cukup panjang tentang peran dan ketokohan Bung Tomo. Dalam Sejarah Indonesia Modern (2005), Riklefs memberikan analisis yang berbeda terhadap fakta historis rapat akbar 21-22 Oktober, bahwa bukan hanya NU yang menggagas rapat akbar tersebut, tetapi juga Masyumi, Hizbul Wathan, dan lain-lain.

Dalam catatan Kedaulatan Rakyat, November 1945 adalah bulan yang sibuk di Yogyakarta. Setelah Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Pakualam XVIII menyatakan Keraton Yogyakarta dan Pakualaman bagian dari Indonesia, Yogya menjadi salah satu basis perjuangan. Selain diadakannya Kongres Pemuda Indonesia pada 10-11 November dan konferensi untuk memilih panglima TKR pada 12 November, peristiwa lainnya yang tidak bisa dilupakan adalah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945 M/1-2 Dzulhijjah 1364 H di Gedung Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Kongres Umat Islam yang diikuti banyak elemen umat ini menghasilkan seruan agar muslim Indonesia berjihad untuk menentang penjajahan kembali dan mengisi kemerdekaan. Seruan tersebut merupakan penegasan dari Resolusi Jihad, yang mengokohkan para pejuang di Surabaya untuk maju tak gentar menghalau sekutu. Forum juga menyepakati bahwa Masyumi sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam. Ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945, posisinya juga sebagai pimpinan Majelis Syura Partai Masyumi.

Kongres Umat Islam di Yogyakarta tersebut, menurut catatan Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Rizki Lesus, turut dihadiri KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, Prawoto Mangkusasmito, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Sukiman Wirjosandjojo, Saifuddin Zuhri, dan ratusan kiai dari Jawa dan Sumatera. Mereka sepakat untuk menghapus imperialisme dan menegakkan kemerdekaan agama dan negara. (ribas)


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Sajian Utama” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 21 tahun 2018

Exit mobile version