Oleh: Muhammad Qorib, MA
Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang berbeda dengan umat Islam, dengan pemikiran dan pemahaman mengenai Islam, atau mungkin dengan pengamalan tentang Islam. Islam setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi normatif dan sisi historis. Sisi normatif menggambarkan Islam yang ideal dan sesungguhnya, sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sisi normatif ini bersifat mutlak, abadi, dan selalu benar. Di mana saja dan kapan saja, ketika seseorang membicarakan sisi ini, maka sikapnya akan sama dengan pembicaraan orang lain di tempat berbeda.
Lain halnya dengan Islam dari sisi historis. Sisi ini merupakan pengejawantahan dari pemahaman dan pengamalan umat Islam. Jika sisi normatif selalu bersifat benar, maka sisi historis bersifat sebaliknya, relatif, sementara dan harus selalu diperbarui. Pada sisi yang kedua inilah dinamika pembaruan pemikiran Islam berada. Oleh karena sifatnya relatif, sementara dan harus selalu ditinjau ulang, maka sisi ini tidak dapat terhindar dari sentuhan tangan sejarah. Untuk sisi ini, tidak ada yang abadi kecuali perubahan (baca: pembaruan). Menolak perubahan berarti menolak sunnatullah.
Sebuah Keharusan
Akbar S. Ahmed (1993) menulis bahwa pembaruan pemikiran Islam tidak harus diartikan sebagai upaya menjadikan kultur Barat (baca: Westernisasi) sebagai sumber inspirasi dalam membangun masyarakat tanpa sikap kritis. Pembaruan pemikiran Islam merupakan upaya memahami kembali sumber ajaran Islam untuk mencari jawaban atas beragam tuntutan kehidupan sosial yang kian berubah. Dengan demikian Islam akan selalu up to date dan segar.
Ungkapan Ahmed itu bertujuan untuk mengikis kecurigaan sebagian umat Islam terhadap dinamika pembaruan pemikiran Islam yang terjadi. Bagi Ahmed, Islam tidak boleh dijadikan istana mati yang dipaksa untuk menaungi kondisi sosio kultural masyarakat. Pembaruan pemikiran Islam mensyaratkan sikap terbuka terhadap berbagai gagasan. Namun, sikap terbuka yang disyaratkan tidak harus menjadikan umat Islam latah dalam segala hal dan kehilangan identitas. Sebaliknya, pembaruan pemikiran Islam membimbing kaum Muslimin untuk mengetahui di mana posisi dirinya, ke mana mereka melangkah dan apa yang seharusnya dilakukan.
Bahwa kita harus menghormati para ulama terdahulu merupakan keharusan. Namun rasa hormat itu tidak mesti melemahkan sikap kritis kita atas karya-karya mereka. Para ulama itu sudah amat berjasa di masanya, juga di masa kini. Hal itu dapat dilihat dari apresiasi kita dalam memahami maupun mempedomani fatwa-fatwa mereka. Namun demikian, dapat diduga bahwa ada saja produk pemikiran mereka yang sudah tidak kontekstual untuk zaman sekarang. Sebagai buah karya yang dibingkai hukum relativitas maka karya-karya itu bisa ditafsirkan kembali. Di sinilah pembaruan pemikiran Islam memainkan perannya.
Sebagai contoh, di akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20 para ulama di Indonesia mengharamkan penggabungan antara laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama ketika belajar. Keadaan itu ditinjau ulang oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mengeluarkan fatwa sebaliknya. Meskipun mendapat kecaman keras dari para ulama lain, seiring dengan bergulirnya waktu, ijtihad KH. Ahmad Dahlan dianggap sebuah keharusan.
Jauh sebelum itu, Umar bin Khattab mengeluarkan sebuah ijtihad yang secara tekstual berbanding terbalik dengan ayat al-Qur’an. Umar tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi seorang pencuri dengan alasan motivasinya bukan untuk menumpuk kekayaan, melainkan untuk menghilangkan kelaparan. Padahal di dalam sebuah ayat Allah berfirman: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dam sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”(QS. Al-Maa’idah/ 5: 38).
Dua contoh itu jelas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab dan KH Ahmad Dahlan melihat betapa pentingnya pembaruan dilakukan. Spirit pembaruan yang dicontohkan Umar bin Khattab dan KH Ahmad Dahlan membimbing kita untuk senantiasa menghidupkan Islam. Ketika Islam kita rasakan sebagai agama yang hidup maka Allah akan pula kita rasakan hadir dalam setiap waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan setiap problema yang kita hadapi. Sebaliknya, jika kita tidak dapat merekonstruksi berbagai pemahaman ulama terdahulu tentang Islam, bisa diduga, Islam akan terasa mati karena tergilas putaran roda sejarah.
Dalam wilayah pemikiran, tidak ada teks yang tidak negotiable atau interpretable ketika dihadapkan pada kebutuhan aktual. Misalnya soal waris, unsur negosiasi dalam teks itu sangat jelas karena beberap alasan. Pertama, ada prinsip jangan sampai orang mendapatkan harta dengan haram. Kedua, jangan sampai hak orang lain dirampas. Inilah prinsip yang abadi. Dengan tinjauan demikian, Islam akan terasa hidup dan menjadi solusi bagi setiap problema umat manusia.
“Islam Lain”
Kalau kita lihat sejarah yang ditulis oleh Marshall Hodgson “The Venture of Islam”, tampak sekali wajah Islam yang hidup. Di dalam buku itu juga diuraikan bahwa Islam pernah melahirkan peradaban yang dinamis. Kebebasan berpikir dan berkreasi telah mengisi ruang-ruang kosong. Namun jika kita menoleh wajah Islam yang sekarang, sepertinya peran Islam sudah terdesak ke pinggir kehidupan dan tenggelam dalam ritual yang rigid.
Seperti sudah disinggung, pembaruan Islam berada pada sisi yang kedua, aspek historis. Di sini perdebatan demi perdebatan tidak dapat dielakkan. Islam yang hidup dan berkembang lima ratus tahun lalu, mungkin sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Dengan demikian kita harus beralih ke “Islam lain.” Beralih ke “Islam lain” jangan dipahami sebagai mencipta bentuk “Islam baru” dan meninggalkan “Islam” yang sudah ada.
Istilah itu digunakan untuk mencari produk penafsiran baru yang lebih aktual dan kontekstual dengan tidak mengabaikan produk penafsiran sebelumnya. Contoh riil adalah usaha yang dilakukan Muhammadiyah. Dulu, selain melakukan co-education antara laki-laki dan perempuan, Muhammadiyah juga menerima sumbangan dari pemerintah kolonial Belanda. Sehingga pada waktu itu tuduhan sebagai kaki tangan Kristen sering diarahkan kepada Muhammadiyah. Tetapi ketika karya nyata organisasi Islam ini mulai terlihat, seperti mendirikan panti asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan sebagainya, orang akhirnya bisa menerima.
Hal itu berarti kredibilitas moral-intelektual tokoh-tokohnya dan karya nyata yang jelas akan menentukan tingkat responsivitas masyarakat. Hal seperti itulah yang akan memberikan dukungan kepada gerakan pembaruan. Muhammadiyah sudah mencontohkan bahwa umat Islam harus senantiasa beralih dari satu “Islam” ke “Islam” lain. Dengan kata lain, spirit pembaruan harus terus digaungkan. Wa Allah a’lam bi al Shawwaab.[]
*Penulis adalah Staf Pengajar FAI Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Wawasan” Majalah Suara Muhammadiyah nomor 3 tahun 2010