JAKARTA, Suara Muhammadiyah– Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Republik Indonesia mengadakan pertemuan tertutup dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dilanjutkan dengan konferensi pers terkait tiga tema yang sedang hangat. Terkait hukuman mati TKI Tuti Tursilawati, pelarangan jamaah haji asal Palestina, dan masalah hukum Habib Rizieq Shihab di wilayah Arab Saudi.
Dalam pertemuan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Jakarta Pusat pada Selasa (13/11) itu, Duta Besar Arab Saudi Osama bin Mohammed Abdullah al-Shuaibi, disambut oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, dan pengurus Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) Muhyidin Junaidi.
Dubes Osama menyatakan bahwa antara Kerajaan Saudi dengan Indonesia punya hubungan baik dan akan terus melakukan kerjasama ke depannya. “Muhammadiyah merupakan lembaga terkemuka di Indonesia yang punya perhatian khusus pada bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan,” tuturnya.
Pelarangan Jamaah Haji Palestina
Pertama, Dubes membantah rumor yang menyatakan adanya pelarangan jamaah haji asal Palestina. “Rumor pelarangan 1 juta penduduk Palestina untuk melakukan haji adalah tidak benar,” ujarnya. Informasinya tidak masuk akal. Menurutnya, jumlah penduduk Palestina sebanyak tujuh juta. Jika jumlah penduduk ini dipersentasekan dengan kuota yang disediakan oleh negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maka Palestina menerima kuota tujuh ribu jamaah haji.
“Persentase diberikan kepada negara Islam setara dengan jumlah penduduknya satu per seribu,” katanya. Dubes mengibaratkan Indonesia dengan penduduk 220 juta hanya memiliki kuota haji sekitar 220 ribu jamaah. “Maka, tidaklah logis dengan jumlah yang akan melakukan ibadah haji dari Palestina satu juta,” ujarnya.
Menurutnya, isu Palestina merupakan isu semua negara Islam karena Palestina merupakan kiblat umat Islam. “Dukungan pemerintah Indonesia perlu diapresiasi terkait dengan Palestina. Kita tidak bisa membiarkan Palestina sendirian. Kami juga mengapresiasi Muhammadiyah untuk kami melakukan tabayun atau klarifikasi kebenaran informasi tersebut,” ucapnya.
Sebelumnya, banyak pihak meyayangkan sikap politik di dalam dan luar negeri Arab Saudi yang akan berpengaruh pada banyak negara muslim. Hal itu juga terkait dengan kebijakan dan jalinan kerjasama politik-ekonomi Saudi dengan negara super power.
Hukuman Mati Tuti
Kedua, Dubes terlebih dahulu menegaskan bahwa adanya kasus hukuman mati itu tidak akan berpengaruh pada hubungan bilateral kedua negara.
Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi mati pekerja migran asal Majalengka Tuti Tursilawati pada 29 Oktober 2018 di Kota Taif. Pemerintah Indonesia melayangkan protes karena tak ada notifikasi kepada pihak KBRI di Riyadh maupun KJRI Jeddah sebelum eksekusi Tuti. Hukuman mati dianggap melanggar Konvensi Wina. Menanggapi hal itu, Osama mengatakan, notifikasi tersebut memang merupakan hak keluarga untuk mengetahui soal keluarganya.
Osama mengaku masih menunggu penjelasan Pemerintah Arab Saudi soal notifikasi tenaga kerja Indonesia Tuti Tursilawati. Tuti divonis mati oleh pengadilan di Arab Saudi pada Juni 2011 dengan tuduhan membunuh majikannya. “Saya sendiri masih menunggu informasi dari pemerintah saya berkaitan dengan apakah kedutaan telah menerima notifikasi berkaitan dengan masalah tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada Rabu (31/10/2018) menyesalkan adanya eksekusi ini. “Kami memang prihatin, menyesalkan hukuman mati, eksekusi tanpa pemberitahuan, dan tentu Indonesia sudah beberapa kali mengalami itu,” katanya. Haedar berharap ini hukuman mati terakhir yang dijatuhkan kepada WNI di luar negeri. Dia juga meminta aspirasi ini jadi perhatian negara Islam yang tergabung dalam OKI.
“Kita berharap ini yang terakhir dan tidak boleh terjadi lagi. Dan saya yakin pemerintah Arab yang sama-sama masuk dalam OKI dan dunia Islam tentu perlu memahami betul dan menjadikan aspirasi dan keprihatinan ini sebagai hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan tidak terjadi lagi,” ujar Haedar.
Kasus Habib Rizieq Shihab
Ketiga, terkait isu Habib Rizieq, Osama bin Mohammed Abdullah al-Shuaibi mengatakan, Rizieq tidak memiliki masalah izin tinggal sebagaiman isu yang berkembang. Adapun mengenai kasus bendera yang terpasang di rumahnya, otoritas keamanan telah memeriksa yang bersangkutan.
“Berkaitan dengan izin tinggal dan informasi lainnya yang berkaitan dengan Habib Rizieq. Seandainya Habib Rizieq memiliki masalah di Kerajaan Arab Saudi tentu dia sudah dipenjara. Namun kita lihat dia masih dijamin kehidupannya, diperhatikan kehidupannya, baik oleh pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi,” ujarnya.
Duta Besar Saudi juga menyatakan bahwa Rizieq bukan sosok yang menakutkan. “Saya kira Habib Rizieq bukan sosok yang menakutkan. Habib Rizieq seorang muslim, merupakan warga negara Indonesia. Beliau mendapat atensi dan perhatian dari pemerintah Indonesia dan juga dari Pemerintah Arab Saudi,” ulasnya.
Sebelumnya, Rizieq dijemput oleh kepolisian Makkah dan Mabahis Ammah (Intelijen Umum atau General Investigation Directorate/GID). Setelah menjalani pemeriksaan di Kantor Mabahis Aamah, Rizieq diserahkan kepada Kepolisian Sektor Mansyuriah Kota Makkah pada Selasa (6/11/2018) sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Hari itu juga, pukul 20.00, dengan didampingi staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), Rizieq dibebaskan dengan jaminan.
Penangkapan Habib Rizieq terkait dengan adanya bendera bertuliskan tauhid yang dipasang di kediamannya. Diduga, bendera yang menyerupai bendera kelompok ekstrimis itu sengaja dipasang oleh pihak tertentu.
“Bendera tauhid yang ada tulisan kalimat lailahaillallah, kalimat itu memiliki arti penting bagi umat Islam. Kalau bendera itu diletakkan di dinding seseorang, maka perlu dicari tahu siapa yang berbuat seperti itu. Jika ada yang menaruh bendera di rumah Anda, Anda dianggap kriminal? Tidak. Yang kita sayangkan justru pembakaran kalimat tauhid,” kata Dubes Saudi. (ribas)