Jawaban Kiai Dahlan Ketika Agus Salim Bicara Politik di Muhammadiyah
SURAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sesi terakhir Konsolidasi Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada 18 November 2018, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan tentang pentingnya menjaga nilai-nilai yang diwariskan para pendiri dan pendahulu Muhammadiyah.
Haedar menceritakan beberapa hal yang perlu dicontoh. Di antaranya terkait dengan sikap kiai Dahlan. Seminggu sebelum kiai Dahlan wafat, beliau sakit keras. Para dokter meminta beliau untuk istirahat total dan tidak boleh menerima tamu. Bahkan sejak sebulan sebelumnya, dokter telah meminta beliau istirahat. Namun, kiai Dahlan tidak mau istirahat. Kata beliau, “Jika saya hentikan pekerjaan ini atau istirahat sekarang, maka beratlah tanggung jawab para penerus saya.”
Padahal seharusnya sudah cukup banyak hal yang telah beliau lakukan. Namun, kiai Dahlan merasa perlu untuk terus berjuang bagi Muhammadiyah. “Ini menjadi value atau nilai-nilai dasar dari Muhammadiyah,” tutur Haedar Nashir.
Nilai lainnya adalah tentang pentingnya menjaga Muhammadiyah supaya tidak terkontaminasi politik praktis. Tahun 1918 [versi KH Suprapto tahun 1921], sempat ada perdebatan antara Kiai Dahlan dan Haji Agus Salim yang ketika itu sudah aktif di Sarekat Islam (SI). Agus Salim yang pernah menjadi anggota Muhammadiyah dalam forum itu mengajak Muhammadiyah untuk mengubah bentuk orientasi gerakan menjadi partai politik seperti SI.
Dengan retorikanya yang bagus, Agus Salim hampir bisa mempengaruhi para peserta sidang. Wajah Kiai Dahlan tampak menunjukkan ketidaksetujuannya. Sampai-sampai beliau menggebrak meja. Kiai Dahlan lantas menjawab seluruh argumen Agus Salim dengan jawaban retoris, “Apakah Muhammadiyah itu? Apakah gerakan Islam itu? Apakah yang kita lakukan ini, untuk apa dan mengapa?”
Kiai Dahlan menolak untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan politik. Padahal ketika itu, SI sedang berjaya dan menjadi role model bagi gerakan modern. Kiai Dahlan kukuh supaya Muhammadiyah tetap pada jalurnya sebagai gerakan kultural, yang tidak memainkan peran politik praktis. Namun, bisa memainkan peran yang jauh lebih besar dari partai politik.
“Poin ini menjadi penting dalam gerakan kemuhammadiyahan kita. Nilai dasar ini tidak boleh hilang dari kita. Jati diri harus terus diperhatikan. Jangan tergopoh-gopoh ketika menghadapi persoalan,” kata Haedar.
Haedar mengajak semua warga Muhammadiyah menyadari potensi dan posisi Muhammadiyah. “Kekuatan kita bukan hanya fisik dan tidak tiba-tiba. Kalau kita kumpulkan semuanya yang kita miliki, kita lebih dari parpol, lebih dari ormas. Bahkan, kita bagaikan negara dalam negara,” ulasnya.
Terakhir, Haedar mengingatkan tentang kisah terkenal dari Abu Nuwas yang mencari barang hilang. Meskipun barangnya hilang di dalam rumah, Abu Nuwas mencari di luar rumah dengan alasan karena di dalam rumah gelap. Dari kisah itu, kita belajar: Kalau Anda hilang sesuatu barang di dalam, jangan mencari barang hilang itu di luar, hanya karena di dalam gelap. (ribas)