Oleh Dr H Haedar Nashir MSi
Hidup di dunia ini tidak akan lepas dari masalah dan tantangan. Manusia hidup secara niscaya harus menghadapi masalah dan tantangan seberat apapun. Tidak mungkin atau malah mustahil manusia hidup tanpa masalah dan tantangan selama dia masih berada di dunia, kecuali setelah mati dan hidup di akhirat kelak. Pasca kematian pun manusia memiliki masalah dan agenda yakni bagaimana menjalani hisab atas apa yang dilakukannya selama hidup di dunia. Lebih-lebih hidup dalam perjuangan menegakkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Muhammadiyah dalam ikhtiar mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Perjuangan Muhammadiyah sepanjang zaman tidak lepas dari penghadapan dengan masalah dan tantangan untuk dicarikan jalan keluarnya dengan alternatif yang sebaik-baiknya.
Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam akhir zaman yang dengan namanya Muhammadiyah menisbahkan diri sepanjang hayat dan perjuangannya tidak luput dari masalah dan tantangan. Dalam babak sejarah yang paling kritis bahkan Nabi pernah mengalami apa yang disebut ‘am al-hazm atau tahun kesedihan. Ketika Nabi dan kaum muslim tengah gencar menyebarkan Islam di tengah gelombang intimidasi dan bahkan ancaman pembunuhan dari kaum kafir Quraisy, kala itu dua orang terkasih yang melindunginya yakni pertama-tama Siti Hadijah sang istri tercinta dan pamannya Abu Thalib dipanggil Tuhan. Namun Nabi tegar betapapun beratnya masalah dan tantangan yang dihadapi, sehingga suatu waktu beliau pernah menyatakan kepada orang-orang Quraisy: “jika sekiranya matahari diletakkan di atas tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini (menyebarkan agama Islam) maka aku tidak akan melakukannya atau aku dibuatnya hancur binasa”.
Nabi selain kebal dari ancaman dan tindakan kekerasan, pada saat yang sama juga tidak mempan dengan iming-iming gemerlap keduniaan berupa harta, tahta, kehormatan, dan fasilitas hidup lainnya yang ditawarkan kaum Quraisy agar beliau menghentikan risalah dakwah Islam. Nabi selaku manusia biasa bukan tidak memerlukan hal-hal yang duniawi itu, tetapi jika harus mempertukarkannya dengan perjuangan menegakkan ajaran Islam, tentu wajib ditolaknya. Nabi diutus bukan untuk mencari kesenangan duniawi, tetapi guna membawa umat manusia selamat hidup di dunia dan akhirat. Dalam konteks iming-iming duniawi yang menggiurkan itulah kemudian turun Fushilat atau Hamim Sajdah yang dibacakan Nabi di hadapan Walid bin Mughirah yang diutus kaum Quraisy untuk membujuk Nabi. Di antara Firman Allah dalam Al-Quran Surat Hamim Sajdah yang dibacakan Nabi itu antara lain berbunyi sebagai berikut (artinya): Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya (QS Fushilat [41]: 6).
Demikian pula dengan gerakan Muhammadiyah. Dalam memasuki abad baru yang kedua Muhammadiyah tidak akan lepas dari masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Tugas anggota, lebih-lebih kader dan pimpinan Muhammadiyah, ialah bagaimana menghadapi masalah dan tantangan yang menghadang di depan itu dengan mencari jalan keluar dan langkah yang terbaik disertai komitmen dan kegigihan yang tinggi sebagaimana uswah hasanah Nabi dalam menghadapi masalah dan tantangan dalam perjuangan Islam. Bukan menghindar, menjauh, dan tunggang langgang dari masalah dan tantangan karena dirasa berat. Kalaupun menghadapinya hanya dengan sikap penghadapan yang minimalis, asal-asalan, dan sekadarnya. Dalam menegakkan perjuangan Islam melalui Muhammadiyah sekadar mencari yang ringan-ringan atau malah yang menguntungkan saja, tetapi manakala dihadapkan pada masalah dan tantangan kemudian helah atau lari dari tanggungjawab. Jika hal terakhir yang terjadi maka Muhammadiyah sebesar apapun modal sosial yang dimilikinya tidak akan menjadi besar dan berkembang. Boleh jadi orang-orangnya menjadi besar dan terkenal, tetapi Muhammadiyahnya berjalan di tempat karena sekadar menjadi batu loncatan belaka, sehingga yang terjadi pada lembaga Muhammadiyah ialah wujuduhu kaadamihi alias adanya seperti tiada. Kebesaran institusi Muhammadiyah tidak setara dengan kualitas dan keunggulan dirinya alias jauh panggang dari api.
Apa masalah dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah memasuki abad kedua perjalanannya? Muhammadiyah tentu menghadapi masalah dan tantangan yang berat atau kompleks seiring dengan kebesaran dirinya sekaligus dunia yang saat ini berkembang di hadapan gerakan Islam ini. Pepatah menyatakan, pohon tinggi akan diterpa angin yang besar. Demikian pula dengan perkembangan kehidupan dunia saat ini sungguh semakin kompleks. Kompleksitas masalah dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah saat ini, lebih-lebih dalam memasuki abad kedua, jauh melampaui masa awal ketika gerakan Islam ini lahir di kampung Kauman Yogyakarta satu abad yang silam. Kompleksitas masalah dan tantangan itu baik secara khusus yang dihadapi atau menimpa umat Islam di mana jama’ah Muhammadiyah berada secara integral di dalamnya, maupun yang dihadapi bangsa dan umat manusia dalam konteks nasional dan global saat ini dan ke depan.
Dalam konsep “Muhammadyah dan Isu-isu Strategis” yang diajukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah hasil godogan tim Panitia Pengarah, terdapat sejumlah masalah-masalah strategis yang dihadapi umat, bangsa, dan kemanusiaan universal yang perlu menjadi perhatian dan penghadapan Muhammadiyah. Dalam aspek keumatan di lingkungan kaum muslimin masalah-masalah strategis ialah kemiskinan kepemimpinan (pemimpin miskin kealiman, visi, dan keteladanan), komoditisasi agama (agama dijadikan barang jualan bisnis dan politik), konservatifisme dan formalisasi agama (paham yang kolot dan serba verbal kehilangan substansi), kemajemukan agama (keragaman keyakinan dan kepemelukan agama), dan soal keadilan gender (relasi sosial yang tidak adil dan bermartabat antara laki-laki dan perempuan). Masalah-masalah keumatan lainnya masih dapat didaftar, termasuk masalah yang dihadapi umat di akar-rumput yang krusisal seperti kemiskinan, fragmentasi sosial, dan lain-lain yang memerlukan penghadapan secara tersistem.
Masalah kebangsaan yang bersifat strategis ialah revitalisasi karakter bangsa, pemberantasan korupsi, reformasi lembaga penegakan hukum, perlindungan dan kesejahteraan pekerja, sistem kepemimpinan nasional, reformasi birokrasi, serta reforma agraraia dan kebijakan pertanahan. Dalam kehidupan politik agenda strategis adalah masalah kerancuan sistem ketatanegaraan/pemerintahan antara presidensial dan parlementer, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem multi partai yang bermasalah, dan pragmatisme politik elite maupun partai politik. Dalam kehidupan ekonomi terdapat dualisme sistem ekeonomi, masalah kebijakan perbankan dan fiskal yang tidak prorakyat, dan kesenjangan ekonomi. Dalam kehidupan sosial budaya terdapat masalah lemahnya kohesi dan solidaritas sosial, konflik sosial, krisis moral dan spiritualitas, dan tumbuhnya mentalitas negatif dalam masyarakat.
Masalah strategis pada ranah global adalah krisis kemanusiaan modern, krisis pangan dan energi, krisis ekonomi global, krisis lingkungan dan iklim global, Islamofobia, migrasi global, serta dialog antar agama dan peradaban. Masalah-masalah strategis di ranah global tersebut beriringan dengan perkembangan globalisasi dan modernisasi tahap lanjut abad ke-21 yang sangat kompleks dan dinamis. Perkembangan kehidupan di abad kedua dari perjalanan Muhammadiyah sungguh tidak sederhana karena di balik berbagai masalah besar tersebut terdapat dinamika pemikiran dan lalulintas seribusatu kepentingan dalam konstelasi antar bangsa, antar negara, dan antar peradaban yang saling silang secara kompleks.
Menghadapi masalah kemanusiaan global, keumatan, dan kebangsaan yang dinamik dan kompleks, bahkan diperkirakan jauh lebih dinamik dan lebih kompleks, maka mau tidak mau Muhammadiyah dituntut untuk mengantisipasi dan menghadapinya dengan strategi gerakan yang kokoh. Muhammadiyah dalam menghadapi perkembangan dunia di abad kedua perjalanan gerakannya sungguh memerlukan dayahadap ganda. Di satu pihak berpijak pada landasan keislaman, prinsip-prinsip gerakan, dan idealisme gerakan Muhammadiyah yang selama ini menjadi fondasi, bingkai, dan orientasi gerakannya. Di pihak lain mampu menjawab tantangan dan masalah secara cerdas dan aktual sehingga kehadirannya benar-benar membumi sebagai gerakan Islam yang memngemban misi dakwah dan tajdid yang unggul. Di sinilah pentingnya transformasi gerakan menuju masa depan sebagaimana menjadi komitmen Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua.
Bagi Muhammadiyah untuk melangkah hari ini dan meratas masa depan memerlukan ikhtiar atau langkah strategis. Ikhtiar dimulai dari ihtisab (mengevaluasi atau introspeksi diri) dan ta’aqul atau tafakur (berpikir secara mendalam) untuk kemudian menentukan langkah perbaikan, penataan, peningkatan, pembaruan, dan pengembangan. Muhammadiyah pun selaku gerakan Islam dalam memasuki abad kedua perjalanannya dituntut untuk mengerahkan segala kemampuan (badlul jihdi) agar masa lalu menjadi pelajaran dan modal gerakan, hari ini menjadi lebih baik, dan ke depan lebih baik lagi. Karena itu Muhammadiyah memerlukan ientifikasi atas masalah dan tantangan yang dihadapinya dalam usia satu abad dan memasuki abad berikutnya.
Kyai Ahmad Dahlan selalu pendiri dan pelopor gerakan Muhammadiyah suka dengan pekerjaan menghisab dan berpikir secara mendalam. Tokoh utama Muhammadiyah sebagaimana dituturkan dan ditulis oleh Kyai Hajid (t.t.: 15) menyatakan sebagai berikut: “Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama mempergunakan akal fikirannya, untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus mempergunakan fikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah-lakunya, mencari kebenaran sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selama-lamanya.”. Apa yang dinyatakan oleh pendiri Muhammadiyah tersebut merupakan dimensi ruhaniah dalam perjuangan menegakkan Islam sebagaimana yang diperankan Muhammadiyah.
Karena itu Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan abad kedua selain memerlukan peta masa depan dengan segala aspek dan rangkaiannya, tidak kalah pentingnya aspek ruhaniah yang menjadi fondasi gerakan. Gabungkan kekuatan intelektual, pranata sosial, dan model amaliahnya dengan kekuatan ruhaniah seperti keikhlasan, komitmen, ketaatan, keshajaan, integritas, solidaritas, dan pengkhidmatan yang utama dari seluruh anggotanya lebih-lebih kader dan pimpinannya. Siapa tahu selama ini Muhammadiyah terlampau mengandalkan diri pada hal-hal yang berdimensi praktis-pragmatis yang serba rasional, sehingga banyak hal yang sesungguhnya dapat diwujudkan namun ternyata tidak menjadi kenyataan karena lemahnya kekuatan ruhaniah. Hal yang ruhaniah pun sebatas verval dan tekstual, sehingga berkutat pada soal-soal sepele dan tidak bersifat mencerahkan. Sungguh diperlukan kekuatan ruhaniah yang bersifat tanwir (pencerahan) yang membawa pengaruh pada proses pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan dengan fondasi idealisme keislaman yang kokoh.
Muhammadiyah itu bukan pabrik. Menggerakkan Muhammadiyah tidak dapat dilakukan dengan model instrumental dan modular belaka sebagaimana bekerjanya mesin betapapun raksasa. Organisasi pun tidak dapat dirancang-bangun secara serba administratif dengan tingkat kerumitan yang canggih semata tanpa spirit yang menjadi daya gerakannya. Kalkulasi-kalkulasi serba rasional yang pragmatis juga tidak cukup memadai untuk menjadikan Muhammadiyah mampu bergerak dinamis sebagai sebuah gerakan Islam modern jika tidak difondasi dengan hal-hal yang bersifat idealisme. Jika selama ini segala ikhtiar rasional dan yang kelihatan serba canggih, gempita, semarak, dan penuh pesona laksana kembang api tidak mampu menjadikan Muhammadiyah menjadi kekuatan utama yang solid, dinamis, dan terpercaya, maka tengoklah siapa tahu ada sisi ruhani yang terabaikan. Pesona lahir harus lahir dari pesona batin yang autentik agar lebih awet dan tidak semu. Kekuatan ruhaniah yang berkarakter pencerahan sebagaimana dipelopori Kyai Haji Ahmad Dahlan dan generasi awal sungguh menjadi sangat penting sebagai elemen fundamental dalam gerakan Muhammadiyah pada abad kedua.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Bingkai” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 13 tahun 2010