YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kajian Malam Sabtu (Kamastu) AMM DIY pada 23 November 2018 membedah karya salah seorang intelektual Muhammadiyah, alm Kuntowijoyo. Buku kumpulan esai dengan judul Muslim Tanpa Masjid (2002) dibahas oleh novelis muda, Mahfud Ikhwan.
Mahfud menyatakan bahwa Kuntowijoyo merupakan sosok sejarawan kaliber, yang sangat istimewa. “Dan generasi muda Muhammadiyah harus tahu itu. Kuntowijoyo membuat mazhab baru, tentang sejarah yang tidak saja terfokus pada kekuasaan. Kuntowijoyo juga mengkaji tentang umat dan hal-hal yang bersifat transendental,” ujarnya.
Menurutnya, karya sastra Kuntowijoyo kadang lebih sulit dipahami daripada karya pemikirannya. Karya-karya Kuntowijoyo ditulis dengan sederhana. Terbaik itu menjadi sederhana. Dan menjadi sederhana itu tidak mudah. “Membahas karya sastranya maka juga mengkaji pemikirannya. Sebagian besar yang ditulis Kuntowijoyo nyaris seperti ramalan,” katanya. Termasuk tentang generasi muslim tanpa masjid.
Dalam kajian Mahfud, ada tiga hal yang melekat dengan Kuntowijoyo. Pertama, umat. Kuntowijoyo mencetuskan sastra profetik, dia ingin menjalankan tugas sastranya sebagaimana nabi menjalankan tugas profetiknya. Karyanya menghadirkan nilai-nilai kenabian. Sebagai misi mulia untuk mendidik peradaban.
“Tahun 1990-an, Kunto jatuh sakit dan merasa dekat dengan kematian. Dia seolah menolak dipanggil saar itu bukan karena takut mati, tapi karena merasa belum melakukan sesuatu atau memberikan dedikasi untuk umat. Membantu mustadlafin,” ulasnya. Dia meminta kesempatan umur untuk berbuat sesuatu kepada umat yang luas dan melewati sekat perbedaan.
“Karya-karya Kunto tidak pernah sepi dari manusia. Tokoh-tokoh yang dihadirkan selalu bercerita tentang manusia di tengah keramaian. Tokoh yang selalu berkelindan dengan orang-orang,” tutur Mahfud. Dalam karya-karya Kunto, manusia dalam hubungannya dengan sesama atau umat tidak selalu baik-baik saja. Tidak selalu linier. Seorang intelektual, seniman, dan siapapun itu, menurut Kunto, tidak boleh hidup individualis. Dia harus hidup bermasyarakat.
Kedua, sejarah. “Dia sebagai seniman mencintai mitos, tapi sebagai sejarawan, dia juga berusaha membongkar mitos dengan ilmu pengetahuan. Ada mitos yang perlu disakralisasi atau demistifikasi dan sebaliknya juga ada yang dibiarkan saja. Kitab suci juga perlu mengalami demistifikasi dengan cara reaktualisasi dan kontekstualisasi,” ulasnya. Tempat dan waktu mempengaruhi cara orang beragama dan melihat sejarah. Cara orang beragama merupakan hasil dari pergulatan setempat. Untuk mengetahui itu, adalah dengan pendekatan sejarah.
Ketiga, seni. Seni tidak bisa dilihat dari hasilnya. Seni itu ekspresi ibadah. Seni sebagai simbol yang menjelaskan kita. Seni mungkin tidak bisa menarik orang masuk Islam, tapi seni bisa menjadi identitas keislaman. Tanpa peninggalan karya seni dan sejarah, mungkin kita tidak bisa tahu bahwa Islam pernah berjaya di Eropa.
Mauhfud kemudian menjelaskan tentang esai Muslim Tanpa Masjid. Melalui esai fenomenal ini, Kuntowijoyo menggambarkan suatu generasi baru yang lahir tidak sebagai santri. Mereka terlahir dari kampus-kampus yang ikut menggulingkan rezim kekuasaan Orde Baru. Mereka tidak terikat dengan kiai dan pesantren atau lembaga agama. Mereka mempelajari Islam melalui media baru dalam relasi yang baru.
“Melalui Muslim Tanpa Masjid, Kunto mengajak untuk menerima generasi baru ini sebagai produk sejarah. Mereka terliterasi dengan tanpa menjadi murid langsung dari kiai-intelektual, tapi membaca dan mengikuti kajian mereka. Muslim tanpa masjid jangan dijauhi, tapi diterima sebagai bagian integral dari umat,” ungkapnya.
Terkait dengan politik, Kuntowijoyo menyatakan bahwa umat Islam jangan terlalu sibuk dengan politik praktis. Pada 1998, Kunto pernah menulis enam alasan umat Islam tidak mendirikan parpol Islam. Menurut Kunto, umat Islam pasca Orde Baru tidak perlu membuat partai baru, tapi masuk ke partai-partai yang sudah ada. Dan ikut mewarnai nilai-nilai Islam di semua partai yang sudah ada itu.
Enam alasan Kuntowijoyo tersebut, pertama, mengakibatkan terhentinya mobilitas sosial vertikal umat Islam yang telah menunjukkan tren menaik. Kedua, terjadi disintegrasi umat yang diakibatkan fanatisme pada partai. Ketiga, umat menjadi miopis yang hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat dan berorientasi kekuasaan. Keempat, kemiskinan perspektif dengan menuntun umat pada satu perspektif saja, yaitu perspektif partai. Kelima, runtuhnya proliferasi atau penyebaran kepemimpinan umat. Keenam, terjadi alienasi di kalangan pemuda karena tercerabutnya mereka dari akar agama yang diakibatkan oleh perbedaan pandangan. (ribas)
Baca juga:
Paradigma Profetik Kuntowijoyo
Sering Dituduh Wahabi, Muhammadiyah Perlu Tunjukkan Sisi Kultural
Muhammadiyah Representasikan Islam Indonesia yang Otentik
Kyai Dahlan dan Nyai Walidah Wariskan Konsep Ideal Relasi Gender Muhammadiyah
Katrin Bandel dan Pengalaman Spiritual Seorang Mualaf dalam Konteks Pasca Kolonial