Oleh DR H Haedar Nashir, M.Si.
“Dari Makassar ke Makassar
Khittah jadi pegangan dasar”
(Prof. H. M. Din Syamsuddin)
Dua baris dalam lirik lagu Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang dikutip pada awal tulisan Bingkai ini adalah buah karya Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. H. M. Din Syamsuddin. Maknanya sangat dalam dan kontekstual. Bahwa Muktamar Makassar tahun 1971 telah menghasilkan karya monumental yaitu Khittah Ujung Pandang, yang menjadi titik pangkal Muhammadiyah kembali ke jatidiri sebagai gerakan dakwah dan tidak terlibat dalam politik praktis.
Kini ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua dan pada 3-7 Agustus 2015 akan bermuktamar di Makassar, Khittah haruslah tetap menjadi pegangan dasar. Bahwa di tengah situasi politik nasional yang penuh dinamika dan sebagian pendapat mulai mencuat kembali agar Muhammadiyah memikirkan langkah politik yang tepat untuk dirinya, potongan lirik lagu tersebut seakan memberikan pagar kokoh agar gerakan Islam ini tetap istiqamah di jalur dakwah non-politik praktis.
Dunia politik praktis untuk meraih kekuasaan di pemerintahan memang penting dan strategis. Muhammadiyah tidak menggarapnya secara langsung sebagai perjuangan dakwah bukan karena menjauhi, alergi, dan menganggap tidak penting. Muhammadiyah melalui Khittahnya mengambil jarak dan tidak mengambilnya karena politik praktis semestinya merupakan lahan perjuangan partai politik, bukan lahan Muhammadiyah sebagai Ormas. Muhammadiyah juga memiliki mengalaman panjang ketika berpolitik praktik terbukti banyak masalah, konflik, dan kesulitan yang membuat pekerjaan dakwah kemasyarakatan terbengkalai.
Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Muhammadiyah jelas tidak akan menjadikan dirinya sebagai partai politik, tidak pula mendirikan partai politik, maupun menghimpitkan dirinya secara organisasi dengan partai politik manapun. Jika ingin berpolitik maka siapkanlah kader untuk partai politik dan kader profesional. Langkah ini jauh kebih realistik dan juga strategis. Buktinya, orang-orang yang menjadi Menteri pada Kabinet Pemerintahan berasal dari partai politik dan kalangan profesional.
Aktif di Parpol
Alih-alih berpikir terlalu jauh dan agak utopis, memang sebaiknya Muhammadiyah menggarap sesuatu yang realistik yakni menyiapkan kader politik untuk aktif di partai politik. Muhammadiyah secara proaktif dan terlembaga harus menyiapkan, mendidik, dan melatih para kadernya yang memiliki “hasrat” dan “bakat” untuk terjun di partai politik (parpol). Mereka sudah saatnya masuk ke parpol dengan persiapan yang matang, digembleng dengan segala ilmu dan kemampuan mencukupi, memiliki idealisme kuat, dan membawa misi perjuangan Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya pendidika politik di lingkungan Muhammadiyah, yang dapat dilakukan oleh Majelis Pendidikan Kader dan Lembaga Hikmah.
Namun untuk aktif di parpol harus memiliki kemauan dan kesungguhan yang kuat. Perjuangan di politik itu terjal dan keras. Jika lemah dan sekadar instan maka tidak akan berkelanjutan. Kalau satu kali gagal menjadi calon angota legislatif maka jangan mundur dan lantas kembali ke organisasi, teruslah berjuang. Jika menjadi anggota pengurus parpol di tingkat manapun jalani dengan tekun dan gigih agar makin naik mobilitas vertikalnya. Jadilah elite parpol yang menentukan, bukan sekadar ikutan. Para kader politik Muhammasiyah tidak boleh aktif di dunia politik dengan bekal seadanya, bersifat individual, dan hanya numpang lewat. Jangan pula “bedol desa” yaitu semuanya terjun secara massal sehingga organisasi ditinggalkan dan menjadi sepi dari kegiatan dakwah kemasyarakatan karena ramai-ramai ke kancah politik.
Jika selesai di satu tugas parpol pun teruslah berjuang, sebaiknya tidak gampang pulang kampung ke induk organisasi. Jadikan partai politik sebagai lahan perjuangan sampai tuntas dengan idealisme yang baik. Kalau tidak terpilih lagi di lesgislatif, besarkankah partainya. Sebab kalau kemudian gampang menyerah dan kembali ke Muhammadiyah selain bisa terkena post power syndrom juga habitat berpolitiknya akan tumbuh di persyarikatan. Bukan soal salah atau benar, tetapi langgam parpol memang berbeda sekali dengan irama gerak organisasi kemasyarakatan. Kalau benar-benar bisa menyesuaikan tentu tak ada larangan, sejauh benar-benar tulus berkhidmat sepenuh hati untuk membesarkan Persyarikatan.
Dalam Kepribadian Muhammadiyah disebutkan secara tegas, “Sejak partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno, maka warga Muhammadiyah yang selama ini berjuang dalam medan politik praktis, mereka masuk kembali dalam Muhammadiyah. Namun karena sudah terbiasa dengan perjuangan cara politik, maka dalam mereka berjuang dan beramal dalam Muhammadiyah pun masih membawa cara dan nada berpolitik secara partai.”. Begitulah bedanya langgam parpol dan ormas. Khusus bagi yang berada di internal Persyarikatan, tentun jangan pula menggunakan cara-cara parpol dalam mengurus Muhammadiyah. Jadikan Khittah sebagai pegangan dasar.
Kader Profesional
Pintu masuk ke pemerintahan tidak kalah penting melalui jalur profesional. Jatah kaum profesional di Kabinet kecenderungannya kini dan ke depan malah makin menguat ke kalangan profesional dari berbagai bidang keahlian. Di zaman Orde Baru misalnya, kita tidak tahu sebelumnya ketika Prof Mukti Ali dan Munawwir Sadzali menjadi Menteri Agama, ternyata belakangan diketahui keduanya orang Muhammadiyah.
Demikian pula dalam Kabinet di era reformasi hingga yang terakhir ini, sejumlah Menteri memiliki latar belakang dan menyatakan diri sebagai orang Muhammadiyah. Termasuk yang tersebar di lembaga-lembaga legislatif, yudikatif, dan birokrasi pemerintahan lainnya. Sejumlah Kepala Daerah diketahui sebagai orang atau kader Muhammadiyah, baik yang berasal dari kalangan parpol maupun profesional. Ada pula yang aktif di kepolisian, militer, dan institusi-institusi strategis lainnya.
Namun boleh jadi para kader atau anggota Muhammadiyah yang tersebar itu hadir secara alamiah dan tidak “by design”. Kini dan ke depan penting untuk lebih direncanakan dan diprogramkan secara tersistem. Memang untuk menjadi pemimpin atau kader politik dan profesi tidak sepenuhnya mengandalkan pendidikan dan pelatihan, terdapat unsur bakat dan kemampuan dasar dengan dukungan pengalaman. Tetapi fakta juga menunjukkan jika segala hal dipersiapkan secara terencana dan terprogram maka segala sesuatu jauh lebih baik dan berhasil.
Muhamadiyah sendiri secara organisasi sudah memiliki lembaga-lembaga pendidikan dan profesi yang lengkap dan berjenjang, termasuk Perguruan Tinggi yang besar dan tersebar di seluruh tanah air. Karenanya lembaga-lembaga ini dapat dijadikan sebagai “kawah candradimuka” untuk menghasilkan para kader profesional yang handal dan unggul, yang dapat tersebar ke berbagai lembaga di pemerintahan maupun le,baga swasta yang strategis. Ketika dalam momentum tertentu di butuhkan maka tidak lagi kesulitan mencari orang yang profesional serta memiliki pengalaman dan reputasi yang di atas rata-rata, sehingga secara niscaya negara memang akhirnya membutuhkan dirinya.
Menyiapkan dan mendorong kader politik dan profesional sebagaimana disebutkan itu jauh lebih realistik dan strategis bagi Muhammadiyah. Tentu semuanya memerlukan pemikiran-pemikiran strategis yang melandasinya. Pemikiran-pemikiran pokok sebagaimana terkandung dalam Khittah Denpasar 2002 tentang Khittah Berbangsa dan Bernegara maupun pemikiran resmi lainnya sebenarnya cukup memadai untuk menjadi basis pemikiran Muhammadiyah tentang politik dan kenegaraan. Masalahnya sering terletak pada aplikasi dan pelakunya, bukan pada konsep dan pemikirannya.
Jika memang ada pemikiran alternatif yang jauh lebih baik, strategis, dan dapat dijalankan secara realistik sebagai solusi, maka Muhammadiyah pun tentu dengan senang hati akan mengkaji dan mengambilnya. Namun menyiapkan kader politik untuk partai politik dan kader profesional secara lebih terencana, terprogram, dan tersistem menjadi lebih mendesak dan strategis bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan. Semuanya dilandasi dengan spirit untuk makin meneguhkan, menguatkan, dan meluaskan misi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid guna terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
==================================
Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik “Bingkai” majalah Suara Muhammadiyah nomor 1 tahun 2015