Implementasi Spirit AI-Ma’un

Said Tuhuleley

Almarhum Said Tuhuleley Foto Dok MPM/SM

Oleh Dr Said Tuhuleley MM

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orangyang menghardik anakyatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Q.s. Al-Ma`un: 1-7)

Surat dengan tujuh ayat pendek dalam Juz 30 tersebut  sesungguhnya menegaskan prinsip kemanusiaan yang sangat kental. Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an bahkan menyebutnya sebagai memecahkan hakikat besar yang hampir mendominasi pengertian iman dan kufur secara total.

Menafsirkan tiga ayat pertama Al-Ma`un ini Sayyid Quthb memberi ulasan menarik berikut ini. “Boleh jadi, hal ini sebagai sesuatu yang mengejutkan bila dibandingkan dengan definisi iman secara tradisional. Akan tetapi inilah inti persoalan dan hakikatnya.   Bahwa   orang yang   mendustakan   agama  adalah  orang yang menghardik  anak yatim   dengan  keras yakni  menghina  anak yatim  dan menyakitinya. Juga tidak menganjurkan memberi makan orang miskin dan tidak suka   memberi   anjuran   untuk   memelihara   orang   miskin.   Kalau   hakikat pembenaran agama ini sudah mantap di dalam hatinya niscaya dia tidak akan membiarkan anak-anak yatim dan tidak akan berhenti menganjurkan memberi makan orang miskin.  Tidak ada yang lebih jelas dan lebih tegas daripada ketiga ayat ini dalam menetapkan hakikat yang mencerminkan ruh aqidah dan tabiat agama ini dengan cermin yang lebih tepat” (Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terjemahan As’ad Yahsin dan Abdul Aziz Salim Basyarahil, 2001).

Menarik untuk diperhatikan kriteria kedua para pendusta agama, yaitu tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Bukankan perbuatan “menganjurkan” itu merupakan perbuatan yang teramat ringan? Ahmad Mustafa Al-Maraghy dalam Tafsir Al-Maraghy (terjemahan Hery Noor Aly cs., 1989) memberi penjelasan yang sangat membantu kita |untuk memahami kriteria kedua ini. Ahmad Mustafa Al-Maraghy menyebut, “Dalam ayat ini terkandung suatu pengarahan, bahwa jika kita tidak mampu melakukan kewajiban tersebut, seharusnya kita minta kepada orang lain yang mampu untuk melakukannya. Misalnya yang dilakukan lembaga-lembaga tertentu”.

Di sini sebenarnya kunci dari kriteria kedua para pendusta agama. Bagi mereka yang mampu memberi makan orang miskin, maka kewajiban mereka adalah memberi makan. Tapi bagi mereka yang tidak mampu memberi makan orang miskin, maka paling sedikit mereka harus menganjurkan orang lain yang mampu untuk melakukan itu.

Tetapi mengapa “memberi makan orang miskin” yang ditampilkan untuk mewakili persoalan kemiskinan dan kemelaratan? Ini tidak lain karena memang manusia diciptakan Allah tidak dapat hidup tanpa makan. Jadi soal makan adalah soal paling dasar yang menopang kehidupan manusia. Persoalan menjadi lebih nyata jika realitas dunia saat ini diamati. Salah satu persoalan besar dunia yang dihadapi hampir semua negara adalah ketidakcukupan pangan. Oleh karena itu mudah-difahami bahwa “memberi makan orang miskin” sangat pas ditampilkan untuk mewakili fenomena kemiskinan dan kemelaratan.

Spirit Al-Ma`un

Jika spirit Al-Ma`un dikembangkan, maka dapat kita katakan bahwa perhatian penuh pada kaum miskin. Dengan demikian, sudah barang tentu dengan upaya penanggulangan kemiskinan merupakan  bagian dari kewajiban keagamaan, dan mereka yang tidak memberi perhatian penuh pada kaum miskin dan berusaha memecahkan masalah kaum miskin dikategorikan pendusta agama.

Secara demikian dapat kita katakan bahwa kelompok yang tidak memperhatikan secara penuh kaum miskin adalah kelompok para pendusta agama; para pemimpin organisasi kemasyarakatan, termasuk Muhammadiyah, yang tidak memberi perhatian penuh pada kaum miskin juga merupakan pendusta agama; bahkan pemimpin negara yang tidak memberi perhatian penuh untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan adalah para pendusta agama.

Kalau kita coba melanjutkan pengembangan spirit ini secara lebih teknis, maka dapat dikatakan bahwa para penggerak organisasi kemasyarakatan yang sejak program kerjanya tidak mencantumkan ikhtiar guna memecahkan masalah kemiskinan, termasuk dalam kelompok pendusta agama. Di lingkup yang lebih luas, salah satu ukuran dari pemerintahan yang mendustakan atau tidak mendustakan agama adalah sejauh mana Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN maupun APBD) mencerminkan adanya semangat  pro poor (memihak kaum miskin-Red.).

Berkaitan dengan masalah kemiskinan ini, Indonesia yang sejak lama dikenal sebagai negara agraris dengan mayoritas masyarakat atau penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, ternyata menyisakan ceritera pilu tentang nasib petani dan pertanian. Realitas nasib masyarakat petani dan pertanian di Indonesia menunjukkan hal yang berbeda dengan potensi sumber daya alam tersebut. Pertanian dan masyarakat tani mengalami proses pemiskinan sistemik dan masif. Berapa pun in-put diberikan, produksi padi petani tidak banyak bertambah. Atapun kalau bertambah, harga jual produk pertanian sangat tidak seimbang dengan biaya produksi pertanian. Input sering melebihi output. Begitu pula kenaikan harga dasar gabah dan beras tak mampu mengangkat petani dari keterpurukan. Petani-petani dengan berbagai produk pertanian lainya mengalami hal serupa.

Proses pemiskinan itu datang dari banyak sisi. Kebijakan pertanian misalnya, sering tidak berangkat dari kondisi objektif masyarakat tani dan pertanian nasional. Nasib petani semakin dipertanyakan dalam gonjang-ganjing politik ekonomi perberasan saat ini. Bersamaan dengan itu petani juga dihadang masalah lahan, irigasi, modal usaha, tata-niaga, pemasaran, termasuk distribusi dan sebagainya. Sebagian besar petani tampak lebih sebagai sapi perahan korporasi besar, baik pupuk, pestisida, benih hingga perniagaan produk-produk pertanian.

Sementara kepemilikan dan pengusahaan lahan pertanian terus mengecil. Keadaan itu dipieiparah oleh kondisi kesuburan lahan yang kian memburuk. Kemampuan pembudidayaan terus tertinggal dibanding petani di berbagai negara lain. Perbankan dan stakeholders lainnya tampak enggan memberikan dukungan kepada petani dan sektor pertanian.

Pemberdayaan Masyarakat

Mengapa hal ini semua kita percakapkan dalam kaitannya dengan gerakan dakwah Muhammadiyah? Sebabnya tidak lain adalah karena hal ini memang realitas yang dihadapi masyarakat kita. Jika para aktivis Muhammadiyah tidak ingin menjadi pendusta agama, maka mau tidak mau perhatian harus diberikan kepada kaum miskin dan upaya penanggulangannya.

Dari dataran berpikir/inilah kita masuk pada pembicaraan tentang kata kunci pemecahan masalah, yaitu pemberdayaan masyarakat. Perlu disadari, pendekatan baru terhadap persoalan kemiskinan menuntut adanya fokus yang jelas pada masalah kemiskinan struktural. Penanggulangan kemiskinan struktural berarti menangani faktor-faktor sistemis dalam masyarakat yang secara konsisten mengakibatkan marjinalisasi kelompok-kelompok tertentu dari akses terhadap sumber daya dan manfaatnya.

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan diakibatkan juga oleh faktor kultural dan individual. Oleh karena itu penyelesaian masalah kemiskinan tidak dapat difokuskan semata-mata pada upaya pengatasan masalah kemiskinan struktural, akan tetapi masuk juga sampai pada level kultural dan individual. Hanya dengan begitu upaya pemecahan masalah kemiskinan dapat menjangkau semua tahapan, jangka panjang maupun jangka pendek; sembari kita masuk pada penyelesaian pada level struktural yang cukup memakan waktu lama, kita juga menyelesaikan permasalahan keseharian masyarakat miskin.

Advokasi sangat diperlukan mengingat apa yang sudah disinggung di bagian depan, yaitu kemiskinan juga disebabkan oleh banyaknya kebijakan publik yang tidak sensitif dan berflihak pada rakyat banyak. Oleh karena itu advokasi sangat dibutuhkan, karena advokasi jmerupakan suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan, atau|)rogram dari segala tipe institusi (Ritu R. Sharma, 2004).

Salah satu bentuk advokasi yang perlu mendapat perhatian kita adalah advokasi terhadap penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Daerah. Sebab banyak sekali kasus penyusunan APBD Kabupaten dan Kota yang memperlihatkan masih tingginya belanja tidak langsung dibandingkan dengan belanja langsung, terutama untuk sektor-sektor yang menyangkut harkat hidup rakyat banyak, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Bahkan APBN kita sekalipun masih memperlihatkan bagaimana belanja fasilitas para pejabat seakan-akan menjadi prioritas. Lihat saja harga mobil dinas para menteri dan pejabat tinggi lain yang melampaui angka satu milyar rupiah per-unit, atau rehabilitasi rumah dinas anggota DPR yang menghabiskan anggaran negara hampir empat ratus milyar rupiah.

Sebagai penutup, pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah upaya serius dalam rangka meningkatkan harkat hidup rakyat miskin. Jika spirit Al-Ma`un kita letakkan persis di atas persoalan ini, pilihan bagi kita tidak banyak: “Pendusta Agama atau Penegak Agama”.


*Penults adalah Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah; dan Staf Pengajar FAI UMY

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Wawasan” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 6 tahun 2010

Exit mobile version