Judul Film : Nyai Ahmad Dahlan The Movie
Sutradara : Olla Atta Adonara
Produser : Dyah Kalsitorini dan Widyastuti
Penulis naskah : Dyah Kalsitorini
Pemeran : Tika Bravani, David Chalik, Cok Simbara, Della Puspita, Rara Nawangsih, Egi Fedly, Inne Azri, Malvino Fajaro, dkk
Perusahaan produksi : Iras Film
Tayang di bioskop : 24 Agustus 2017
“Walidah pengen merasakan bagaimana rasanya sekolah seperti anak-anak (Belanda) itu. Tidak di rumah terus // Perempuan harus bisa beramar makruf nahi mungkar. Perempuan juga harus bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini // Bangsa ini adalah amanah dari Allah yang harus kita jaga hingga akhir hayat kita”
Kutipan yang diambil dari Film Nyai Ahmad Dahlan di atas mewakili penggambaran tentang sosok Nyai Walidah. Tokoh pahlawan perempuan pertama dari Muhammadiyah itu memiliki pikiran dan kiprah yang melampaui zamannya. Hidupnya dihibahkan untuk peran keumatan dan kebangsaan.
Nyai Ahmad Dahlan lahir dan dibesarkan dalam kebudayaan patriarkhi, kolonialisme, dan feodalisme sekaligus. Perempuan sering dipersepsikan sebagai makhluk kelas kedua di bawah laki-laki. Perempuan tidak berhak memiliki cita-cita dan masa depan di luar wilayah domestik.
Ketidakberdayaan perempuan ketika itu diperparah karena mereka tidak memperoleh hak pendidikan. Alam pikir yang terbangun bahwa akal perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dalam Serat Paniti Sastra, misalnya, perempuan dinarasikan; Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan myang kuwate/ tuwin wiwekanipun. Artinya, “Katanya yang telah selesai menuntut ilmu, wanita hanya seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaanya.”
Walidah mendedikasikan hidupnya untuk merubah keadaan. Mulai dari pengajian hingga berbicara di berbagai forum yang lumrahnya diisi oleh laki-laki. Dalam Kongres Muhammadiyah 1926, misalnya, sebagai perempuan pertama yang memimpin kongres, duduk sejajar dengan laki-laki. Dia berujar, “Perempuan sebagai pendamping suami juga memiliki hak untuk menjadi pintar.”
Banyak yang menyebut, Nyai Dahlan melanggar kesusilaan wanita demi melawan kemapanan tradisi patriarkhi. “Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita. Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan,” tulis Harian Republika, 29 September 2008.
Menurutnya, pendidikan bisa menjadi awal penyadaran individu dan kolektif. Hasil dari pendidikan adalah membentuk manusia yang mandiri. Terutama mandiri dalam berpikir. Lepas dari budaya taklid, takhayul dan khurafat. Kemandirian pada akhirnya akan membuahkan keberdayaan. Itulah cita-cita besar Nyai Dahlan dan Aisyiyah di masa itu.
Perempuan yang kerap didudukkan sebagai sosok yang berada di rumah dalam pengawasan laki-laki, diubah oleh Nyai Dahlan dengan tindakan sebaliknya. Seorang diri, Nyai Dahlan mengunjungi cabang-cabang Aisyiyah di seluruh Jawa. Di antaranya Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya. Tak jarang, ia bertabligh dengan menunggangi kuda.
Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra bagi suami. Perempuan dan laki-laki memiliki derajat dan tugas yang sama sebagai pemakmur bumi. Kemuliaan laki-laki dan perempuan dilihat dari ketakwaannya di hadapan Tuhan. Nyai Walidah membuktikan bahwa perbedaan nasib laki-laki dan perempuan di masa itu bukan karena kodrati, tetapi karena akibat bentukan kultur dan lingkungan sosial.
Guna mengenang dan mewariskan semangat Nyai Ahmad Dahlan, Iras Film menghadirkan sebuah film drama-biopik yang dirilis pada 24 Agustus 2017. Film ini mendapat apresiasi dari banyak kalangan. Salah satunya dari Mendikbud Muhadjir Effendy. “Film ini hadir pada saat yang tepat, ketika Bangsa Indonesia merindukan sosok yang bisa menjadi teladan, yang bersedia mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan umat dan bangsa,” kata Muhadjir ketika bertemu para kru film. (ribas)