Oleh Haedar Nashir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Siapa kenal Pak AR? AR nama panggilan populer dari Abdul Rozak. Nama lengkapnya Abdur Rozak Fachruddin, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah hampir sepanjang era Orde Baru, dari tahun 1968 sampai 1990. Bagi anggota generasi lama Muhammadiyah dan umat Islam maupun maayarakat umum tentu sangat mengenal sosok satu ini. Kita tidak tahu memori anak-anak generasi milenial, semoga mereka mengenal Pak AR Fachruddin. Sosok bersahaja yang menampilkan aura keteladanan yang alami.
Adalah Syaifudin Simon, seorang penulis yang pernah kos di kediaman tokoh Muhammadiyah ini selama dua tahun (1978-1980), menulis buku tentang figur Pak AR Fachruddin yang menjadi idola ketakjubannya. Judul bukunya menarik sebagaimana dikutip langsung dalam judul tulisan ini, “Pak AR Sang Penyejuk”. Ketua PP Muhammadiyah ini lahir di Yogya tanggal 14 Februari 1916, wafat 17 Maret 1995 setelah memimpin organisasi Islam modern terbesar selama sekitar 27 tahun. Ulama dan tokoh yang selain dikenal sederhana, yang juga menonjol ialah sikap dan pemikirannya yang santun dan moderat. Sikap tengahannya sangat mewarnai karakter dirinya, dengan tetap kokoh dalam prinsip tetapi luwes dan lembut dalam cara.
Kenapa menjadi Sang Penyejuk? Simon memberi kesaksian berikut ini, “Aku baru sadar, ternyata pengaruh Pak AR luar biasa. Kisah hidupnya yang mengesankan —sederhana, ikhlas, santun, baik pada semua orang, dan humoris— benar-benar seperti air segar yang menyejukkan jiwa di tengah gersang keteladanan. Umat Islam, baik Muhammadiyah dan NU, ternyata sama-sama merindukan sosok teladan seperti Pak AR. Seorang ulama yang berdakwah tanpa pamrih, bercucur keringat untuk membimbing umat, dan memberikan keteladanan sikap hidup setiap saat.”.
Banyak sisi humanis maupun sikap dan pemikiran Pak AR, yang dinarasikan dengan menarik dalam buku karya Syaeifuddin Simon yang baru terbit ini. Buku hasil kumpulan tulisan yang dipublikasikan terutama melalui media sosial yang cukup lama. Simon yang pada awalnya tidak mengenal Pak AR di mana rumahnya menjadi tempat kos dia selama dua tahun, baru tahu kalau tokohnya itu ternyata orang ternama dan Ketua PP Muhammadiyah. Sosok tokoh yang menurut Ahmad Syafii Maarif disebut tawadhu’, ikhlas, sederhana, zuhud, dan wara’.
Dikisahkan pula bagaimana Pak AR memimpin Muhammadiyah dengan sejuk dan moderat tetapi tetap kokoh dengan prinsip di tengah rezim Orde Baru yang makin lama kian otoriter, termasuk saat-saat kritis sekitar kebijakan Azas Tunggal Pancasila. Buku ini khususnya bagi warga Muhammadiyah layak dibaca, menambah referensi buku-buku Pak AR yang ditulis Drs H Syukriyanto AR, M.Hum, yang juga putra Ketua PP Muhammadiyah yang populer tetapi rendah hati itu. Juga buku lain karya Prof Abdul Munir Mulkhan. Plus film dokumenter sederhana “Meniti 20 Hari” tentang sosok tokoh Muhammadiyah ini.
Penulis artikel ini mengenal Pak AR sejak tahun 1979 akhir ketika pertama merantau ke Yogya sampai akhir hayat beliau tahun 1995. Waktu itu penulis aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) wilayah DIY dan kemudian PP IPM serta di Badan Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Peluang mengenal dan dekat dengan Pak AR maupun tokoh Muhammadiyah lain yang semuanya egaliter sangat terbuka. Pak AR memang bersahaja, rendah hati, dan ramah dengan siapapun. Kepada anak-anak muda biasa menyapa, kadang bercanda ringan. Ketika suatu ketika penulis —waktu itu bersama Mas Ismail Siregar— mewawancari beliau di kediamannya, Pak AR bertanya santai sambil menyindir, ”wartawan apa hartawan?”. Wah, mana mungkin mahasiswa pejalan kaki seperti kami hartawan. Beliau sangat cair dan lemah lembut tetapi tetap berwibawa serta membuat kita segan dan takzim.
Beruntung penulis sempat mengenal Pak AR Fachruddin tokoh wibawa yang tulus dan bersahaja. Sebagaimana penulis sempat memgenal tokoh Muhammadiyah lainnya di era Pak AR seperti Buya Malik Ahmad, H Djarnawi Hadikusumo, Drs H Lukman Harun, KH Djindar Tamimy, KH AHmad Azhar Basyir, dan lain-lain. Banyak kearifan dan mutiara-mutiara cerdas yang dapat dijadikan rujukan dalam kehidupan. Selama mengenal Ketua PP Muhammadiyah ini, kita belajar pentingnya hidup secara autentik. Hidup tanpa topeng dan ambisi berlebih melampau kemestian, tetapi tetap bersungguh-sungguh dengan pengkhidmatan yang tulus dan optimal.
Pada posisi ini pemimpin lahir bukan sebagai sosok-sosok instrumental yang gagah perkasa, yang membahana dan menggetarkan jagat raya. Tetapi sebagai figur apa adanya, namun sangat kuat selaku role-model atau suri teladan. Sosok yang membumi, bukan figur di atas langit nan tak tersentuh. Bukan pula sosok penuh mitos dan kultus. Sebuah kehadiran figur yang bersahaja namun memberi inspirasi spiritual tinggi, mengalahkan sosok virtuoso atau keperkasaan Sang Rubah dalam idealisasi kepempinan ala Niccolo Machiavelli.
Apakah sosok Pak AR sebagai Sang Penyejuk masih dirindukan publik saat ini tatkala sebagian ruang sosial kita cenderung didominasi nuansa garang, galak, keras, dan digdaya? Tokoh yang dianggap heroik adalah mereka yang tampil serba kritis-instrumental, oposan, dan perkasa. Suatu suasana yang mungkin saja dipandang paradoks dan tidak akan populer, karena sifat sejuk dan moderat dikesankan lemah. Sikap seimbang meski kritis dan menjaga prinsip tetap dipandang lembek, sebab kalah hebat dari tampilan yang serba mengepalkan tangan ke khalayak publik. Meski boleh jadi arus besar masyarakat Indonesia masih tetap berwajah tengahan dan ramah, hanya saja mungkin kalah nyaring oleh suara-suara bising di tengah kegaduhan.
Mas Simon berbagi informasi bagaimana tanggapan publik atas tulisan-tulisannya tentang Pak AR Fachruddin. Tulisan-tulisan dia mengenai sosok PAK AR justru diminati khalayak dari banyak kalangan, bukan hanya dari Muhammadiyah. Ulil Abshar Abdala dari Nahdhatul Ulama termasuk yang meminati. Menurut wartawan Republika Mohammad Subarkah, bahwa tulisan Simon di Republika Online tentang Sang Panyejuk belum sampai hitungan jam dibaca sampai 300.000 orang. Publik rupanya mendambakan sosok-sosok pemimpin yang menyejukkan. Laksana oase di gurun sahara.
Menariknya, Simon mengekspresikan sosok KH AR Fachruddin seputar sikapnya yang menyejukkan dalam untaian narasi puisi. Berikut salah satu bait puisi Bung Simon tentang Pak AR Sang Penyejuk:
“Pak AR,
Kala terik mentari menyengat tubuh
Kau datang membawa cahaya teduh
Kau suguhkan tirta ‘tuk sejukkan jiwa
Manusia gersang yang terpagut nafsu amarah”.
Tulisan ini dimuat di Republika Selasa 13 Juni 2018.