Oleh Muhsin Hariyanto
Di sudut-sudut kampung penulis terpampang tulisan dalam bentuk spanduk yang berbunyi: “kawasan bebas pekat”. Sebuah tulisan yang mengisyaratkan bahwa seluruh penduduk kampung diimbau untuk tidak melakukan tindakan apa pun yang bermakna maksiat, yang dikenal dalam khazanah budaya Jawa dengan sebutan “mo limo”, singkatan dari “maling, madat, minum, madon lan main”, yang kurang lebih dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan dengan sikap “antipencurian, antirokok (candu), antiminuman keras, antiprostitusi dan antiperjudian” dalam segala bentuk derivasinya. Atau di kampus, salah satu sudut kampus penulis terpampang sebuah spanduk berkuran besar bertuliskan: ”say no to drug”, yang kurang lebih bermakna: “jangan pernah bersikap toleran terhadap penyalahgunaan obat-obatan berzat adiktif”. Sebuah sikap yang memerlukan komitmen tingkat tinggi dari seluruh komunitas yang berada pada kawasan tersebut.
Kalau di kampung dan kampus penulis, orang begitu apresiatif terhadap pesan moral pada spanduk itu, kenapa masih banyak orang yang masih belum paham terhadap imbauan para ulama dan tokoh masyarakat untuk tidak bersikap toleran terhadap segala sesuatu yang memang tidak selayaknya disikapi dengan (sikap) “tasâmuh?”. Apakah belum saatnya umat ini menyatakan “tidak” terhadap sesuatu yang harus disikapi dengan sikap “tidak”?. Dan bahkan pertanyaan radikalnya: “apakah umat ini boleh dilarang untuk menyatakan yang haram adalah haram, dan yang halal adalah halal?”, padahal Rasulullah s.a.w., dalam hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dari (sahabat) An-Nu’man bin Basyir, pernah menyatakan: “innal halâla bayyin, wa innal harâma bayyin …” (yang halal dan yang haram sudah [sangat] ‘jelas’) , dan kita – umat Islam – tinggal menyikapinya dengan tegas, seperti apa yang dinyatakan oleh Allah dalam QS al-Baqarah/2: 208: “… wa lâ tattabi’û khuthuwâtisy syaithân …” (jangan sampai kamu sekalian mengikuti langkah-langkah setan); dan juga bisa kita simak firmanNya dalam QS al-Baqarah/2: 256: “qad tabayyanar rusydu minal ghayyi” (sesungguhnya sudah jelas sesuatu yang benar ketika dikomparasikan dengan sesuatu yang sesat).
Umat ini sebenarnya sudah memiliki standar baku dalam hal yang terkait dengan sikap keberagamaannya. Ada sesuatu yang masuk dalam kategori ‘ats-tsawâbit’ (semua hal yang tak mungkin berubah dan diubah untuk selamanya), yang di dalam istilah ushul fiqihnya dikenal dengan al-Qath’iyyât (sesuatu yang sudah pasti), atau yang juga dikenal dalam studi hadis dengan sebutan ‘mutâwatir ‘amaliy’ (serangkaian hadis yang sudah menjadi sesuatu yang diamalkan intisari ajarannya secara kolektif, dan tak pernah dipertanyakan keabsahannya). Seperti: “keabsahan Allah sebagai satu-satu Tuhan dan Muhammad s.a.w. sebagai Nabi dan Rasul terakhir”; sebagaimana halnya kewajiban shalat lima waktu yang secara kolektif disepakati dalam bentuk ijma’. Semua itu tak mungkin diusik, apalagi digugat keabsahannya oleh seseorang atau kelompok orang dengan mengatasnamakan “Islam”. Andaikata ada yang berani mengusik atau menggugat keabsahannya, jangan salahkan bila resistensi atas usikan dan gugatan itu akan menjadi sesuatu yang sulit dibendung. Umat Islam – pada umumnya – akan menjadi ‘gerah’ dan bisa jadi ‘marah’, dan bukan tak mungkin akan sulit dikendalikan, karena keyakinannya sudah diusik dan digugat oleh orang-orang yang dianggap melawan arus besar pemahaman (dogmatik) mereka.
Penulis – hingga saat ini – masih belum bisa paham, kenapa masih banyak orang – yang dengan lantangnya – meneriakkan kata ‘toleransi’ dalam konteks kebebasan dengan mengatasnamakan – misalnya – HAM (Hak Asasi Manusia). Apakah mereka tidak sadar, bahwa di seberang mereka juga ada HAM orang lain yang perlu dilindungi? Lebih jauh lagi penulis juga bertanya: “apakah hidup ini harus hanya dibekali dengan kesadaran terhadap HAM untuk diri sendiri, tanpa harus ada kesadaran untuk melakukan sejumlah keawjiban dengan konsep KAM (Kewajiban Asasi Manusia), ketika kita sudah berada di rung publik?” Semestinya, di saat kita merasa terusik ketika ada seseorang tengah melanggar HAM kita, kita pun juga harus tahu bahwa di seberang kita pasti ada sejumlah orang yang akan terusik ketika HAM mereka terlanggar. Ironis, bila ada sejumlah aktivis HAM yang begitu ‘dungu’ untuk memahami konsep HAM secara resiprokal (timbal-balik). Sementara, ia meneriakkan ‘yel-yel’ HAM, tetapi mereka sendiri tidak memahami apa esensi teriakan mereka. Mereka yang hingga saat ini merasa menjadi pejuang HAM, ternyata justeru – dengan ke’dungu’-annya – memiliki sejumlah sikap dan tindakan yang bermakna ‘melanggar’ HAM orang lain – secara berkesinambungan — dengan mengatasnamakan HAM. Bak ‘Pahlawan Kesiangan’, mereka mempertontonkan keprihatinan mereka di media massa, tak terkecuali di televisi dengan sejumlah dukungan para aktivis HAM yang tak sadar bahwa mereka justeru bisa terjebak menjadi sekelompk manusia anti HAM, karena ke’dungu’annya.
Mencermati fenomena ini, penulis tiba-tiba ingat terhadap salah pernyataan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyâ ‘Ulûmiddîn, bahwa ada sekelompok orang yang tidak boleh tidak harus kita abaikan, dan sudah saatnya saat ini kita abaikan, termasuk teriakan-teriakannya, yaitu: rajulun lâ yadrî wa lâ yadrî annahu lâ yadrî (seseorang yang tidak tahu dan benar-benar tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu), orang ‘dungu’ yang tak sadar dengan ke’dungu’annya. Itulah – yang oleh para ulama disebut dengan – “jâhil murakkab” (dungu kuadrat), yang oleh salah seorang teman chatting saya disebut dengan istilah square amentia (orang ‘dungu’ yang tak sadar akan ke’dungu’annya).
Bagi kita yang masih siuman dan sadar-diri untuk berislam, jangan bimbang dan ragu untuk menyatakan bahwa setan adalah setan, dan jangan sampai terkecoh oleh ‘jubah’ mereka yang selalu bisa dipakai dengan penampilan-penampilan kosmetikalnya. Jangan katakan yang ‘halal’ menjadi ‘haram’, dan – sebaliknya yang ‘haram’ menjadi ‘halal’. Tunjukkan konsistensi kita dengan sikap istiqâmah yang harus kita tanam kokoh di hati kita, agar kita tetap – bisa dengan lantang – berteriak: “… isyhadû bi annâ muslimûn” (bersaksilah anda semua, bahwa kita adalah orang-orang Islam sejati) [QS Âli ‘Imrân/3: 64, meskipun bisa jadi membawa konsekuensi ‘negatif’, kita akan terpinggirkan karena sikap istiqâmah kita di tengah kerumunan orang-orang yang – dengan ke’dungu’annya – tengah menikmati kue-kue kenikmatan duniawi, dengan sejumlah pola budaya ‘korup’ mereka.
Sekali lagi penulis teriakkan, katakan dengan tegas: “say no to satan” (katakan tidak kepada setan), dengan risiko apa pun! Maju terus, pantang mundur!
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Bina Akhlak” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 7 tahun 2011