Menyemai Keindahan dalam Keberagaman (Kisah Mahasiswa non-Muslim di ITB AD Jakarta)

Menyemai Keindahan dalam Keberagaman (Kisah Mahasiswa non-Muslim di ITB AD Jakarta)

Oleh Mukhaer Pakkanna

In my deepest condolence. Itulah ucapan terakhirku melepas kepergiannya. Kamis sore lalu, di Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Tangerang Selatan, salah seorang mahasiswaku pamit menemui Tuhannya, setelah sekian lama berpeluk sakit, jantungnya yang bocor sehingga mengidap hipertensi paru. Saprin Eka Pasih namanya. Mahasiswi asal pelosok Noemuti, Kabupaten Timur Tengah Utara, NTT. Almarhumah adalah pemeluk Katolik. Bersama puluhan rekan-rekannya yang berasal dari daerah yang sama, Saprin aktif belajar dan aktif di berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Institut Teknologi dan Bisnis, Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta. (ITB AD dulunya bernama STIE AD).

Menariknya, puluhan di antara mereka yang Katolik ini juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan telah mengikuti tahapan perkaderan Darul Arqam Dasar (DAD) dengan tetap istiqamah pada agama yang dipeluknya. Bahkan, jika ada kegiatan seremonial kampus, mereka kerap tampil sebagai tim paduan suara, menyanyikan Mars Muhammadiyah (di antara liriknya berisi: Al-Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku), Mars IMM, dan tentu di antara mereka mulai fasih belajar al-Qur’an dan Bahasa Arab. Sesekali mereka berkelakar, “Kami sudah Muhammadiyah, tapi belum berislam.”

Jum’at (30/11) kemarin, setelah melepas jenazah Seprin di bandara Soekarno-Hatta untuk dimakamkan di kampung halamannya, saya mengundang beberapa mahasiswa beragama Katolik dan Kristen yang berasal dari NTT, Maluku Tengah, dan Tanah Toraja. Kami bersilaturrahmi, menanyakan suka duka hidup di tanah rantau, menceritakan bagaimana keadaan keluarganya, dan pengalaman batinnya kuliah di ITB-AD Jakarta.

Remi Iusfay, mahasiswa Akuntansi yang aktif di IMM, menceritakan kebahagiannya kuliah di kampus Sang Pencerah. Padahal dia juga aktivis pemuda gereja di bilangan Kebayoran, Jakarta Selatan. Anak dari Ferdinands dan Theresia, petani serabutan di pelosok Timur Tengah Utara, menikmati proses belajar di STIEAD yang terbuka, demokratis, partisipatif, dan tidak eksklusif.  Sosok Remi Iusfay adalah sosok mahasiswa Kristen-Muhammadiyah (Krismuha), yang pernah dipopulerkan Mas Abdul Mu’ti (Sekum PP Muhammadiyah) dalam disertasinya.

Terus terang, saya teringat dan terinspirasi pada sosok kiai Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah 106 tahun lewat. Sejak awal, beliau menekankan agar Muhammadiyah bukanlah organisasi bergerak di bidang politik. Tapi lebih banyak bergerak di bidang sosial dan terutama pendidikan. Bagi kiai Dahlan, Muhammadiyah sebagai sarana berdakwah dan pendidikan membawa ideologi pembaruan.

Saat merintis dan membangun sekolah berbasis agama, Kiai Dahlan berkunjung ke sekolah sahabatnya seorang pastor Katolik berdarah Belanda, Pastur van Lith. Persahabatan Dahlan dengan pastor tersebut untuk berdialog, berdiskusi bagaimana memajukan pendidikan pribumi yang bermartabat dan memanusiakan manusia.  Demikian juga, sosok kiai Ahmad Azhar Basyir (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1990 -1995), selalu menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, Pedoman Hidup Islami (PHI) bagi warga Muhammadiyah memberi tuntunan, “Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan, baik dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim, dalam hubungan ketetanggaan.”

Keapikan inklusifitas dalam pengelolaan pendidikan dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah harus senantiasa kita gelorakan. Islam mengajarkan keramahan, kemanusian, tidak diskriminatif, dan senantiasa menjunjung tinggi keadilan. Jangan sampai hanya kepentingan politik sesaat yang myopic, telah mengoyak sulaman kebangsaan kita. ITB-AD Jakarta sebagai salah satu pionir Pendidikan Tinggi Muhammadiyah (PTM) harus tetap istiqamah dalam perjuangan ini, tentu di atas nilai-nilai socio-technopreneur yang dicitakan kampus ini. Wallahu a’lam.


Penulis adalah Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta

Exit mobile version