Kemiskinan bukan saja persoalan personal atau persoalan kelompok tertentu, namun kini telah menjelma menjadi persoalan kolektif dan persoalan sosial yang massif. Baik itu di level elit maupun di level masyarakat bawah. Di level elit terjadi kemiskinan secara nurani atau moral, sedangkan pada level masyarakat bawah terjadi kemiskinan secara material. Muhammadiyah pada awal zamnnya telah memiliki peran yang fundamental dan luar bisaa dalam mengatasi fenomena ini melalui gerakan al-Ma’un. Namun bagaimana dengan gerakan Muhammadiyah saat sekarang ini? Sudahkah gerakan al-Ma’un menjadi kekuatan dalam menjawab persoalan yang terjadi? Sudahkah tepat dan efektif gerakan Muhammadiyah dalam menjawab persoalan kemiskinan massif ini? Berikut petikan wawancara Suara Muhammadiyah dengan cendekiawan Dr Moeslim Abdurrahman, Mantan Ketua Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan PP Muhammadiyah serta pendiri Al-Maun Institute.
Problem kemiskinan di tanah air bukan lagi persoalan suatu kelompok, tapi sudah menjadi persoalan massif, baik kemiskinan moral di kalangan elit, maupun kemiskinan material di kalangan rakyat bawah, bagaimana Anda melihat persoalan ini?
Sejak dulu saya melihat gerakan Islam seperti Muhammadiyah ini selalu melihat persoalan kemiskinan ini dari sesuatu yang bersifat normatif. Dimana persoalan seperti kemiskinan yang terjadi seolah-olah terkait dengan persoalan tingkat kesolehan seseorang atau kesolehan di kalangan elit yang belum selesai, sehingga asumsinya persoalan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari persoalan kesolehan seseorang. Repotnya, cara pandang yang dimulai dengan cara seperti ini, maka konsep Muhammadiyah untuk mengurangi, menangani atau melawan kemiskinan hanya bisa dilakukan melalui sarana dakwah kesolehan secara normative semata. Melalui dakwah kesolehan ini harapannya, orang-orang akan berubah menjadi seorang yang soleh dan mau mendermakan sebagian kekayaannya. Dengan begitu maka hubungan antara orang kaya yang saleh dengan orang miskin dalam bentuk-bentuk kegiatan dalam bentuk kegiatan kedermawanan semata. Hal seperti ini tentu saja baik, tapi kalau sudut pandangnya masih seperti itu, maka kurang lebihnya Muhammadiyah akan tetap pada kegiatan-kegiatan kedermawan yang bersifat karitatif saja nantinya. Jadi tidak mungkin Muhammadiyah akan menjadi gerakan transformatif.
Apakah gerakan sosial yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini belum cukup?
Jikalau kemiskinan itu kita lihat sebagai fenomena sosiologis bisaa, dan bukan akibat suatu ketimpangan struktural, maka cara kita mengatasinya sebagaimana cara yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini, saya rasa sudah cukup, karena jumlah orang miskinnya tidak massif, sehingga bisa dilakukan gerakan-gerakan yang bersifat karikatif atau seperti bentuk kesolehan itu saja. Akan tetapi jika persoalan kemiskinan itu merupakan persoalan massif atau persoalan struktural, maka saya khawatir kalau orientasi gerakan Muhammadiyah masih berkutat dalam agenda seperti di atas tadi. Karena Muhammadiyah tidak akan bisa menjadi gerakan transformatif dan tidak memiliki sudut pandang yang kuat bahwa masalah kemiskinan adalah masalah struktural. Dan akhirnya gerakan Muhammadiyah hanya cocok menjadi gerakan liberal ekonomi yang dikendalikan oleh pasar dan Negara.
Jadi apa yang mesti dilakukan oleh Muhammadiyah jika besaran orang-orang miskin melebihi kelompok menengah atau kemiskinan yang terjadi secara massif ?
Jika jumlah besaran orang miskin lebih besar dari pada kelompok menengah, maka tidak cukup kalau tidak ada tindakan yang lebih memihak, baik dari Negara maupun dari cara-cara masyarakat memaknai Islam yang lebih radikal untuk melawan ketimpangan struktur sosial yang tidak memihak. Karena jika pendekatan penyelesaiannya secara normative saja, restribusinya tidak akan bisa menyelesaikan masalah ketimpangan dan kemiskinan massif itu. Oleh karenanya menurut saya, kalau Muhammadiyah memang serius memperhatikan persoalan kemiskinan yang massif ini, maka tidak cukup gerakannya berorientasi pada kesolehan, tapi harus bisa melihat dan memaknai problem kemiskinan sebagai problem struktural. Dengan cara pandang yang seperti ini, maka mau tidak mau, Muhammadiyah harus berani menjelma menjadi gerakan transformatif, yaitu gerakan yang memikirkan betul bagaimana cara mengubah struktur sosial baik melalui advokasi kebijakan Negara yang memihak maupun melalui pemaknaan bahwa harus ditafsirkan ulang teks Al-Quran seperti konsep zakat yang mengarah pada transformasi sosial.
Bukankah upaya melakukan gerakan transformasi dalam ranah kebijakan Negara harus melibatkan kekuasaan atau partai politik? Jadi menurut anda Muhammadiyah harus terlibat dalam gerakan kepartaian?
Pandangan yang semacam itu hanya ada di dalam pikiran demokrasi yang biasa memaknai demokrasi sebagai rezim partai. Tetapi saya tidak melihat satu-satunya cara kalau demokrasinya dibajak oleh kelompok elit itu, maka tidak mungkin terjadi transformasi struktural. Oleh karena itu, biar pun tidak melalui partai, tetapi kalau ada suara Muhammadiyah yang bisa didengar dan menekan terhadap peran Negara, saya kira cukup signifikan, dengan begitu Muhammadiyah akan menjadi gerakan transformatif, dan bukan menjadi gerakan ormas Islam semata. Sebab kalau kita telusuri pada walnya, Muhammadiyah itu tumbuh dan lahir dari jawaban dan respon terhadap modernisasi dan modernitas, maka untuk konteks sekarang, hal yang semacam itu harus dirubah, mulai dari sudut pandang, kemudian cara memaknai zaman, merumuskan metodologi baru, yang semuanya diorientasikan pada perubahan terhadap gerakan stuktur sosial yang tidak adil itu.
Kalau begitu artinya selama ini peran dan kedudukan ideologi Muhammadiyah kurang mampu diperankan sesuai dengan cita-cita yang ingin diwujudkan Muhammadiyah?
Bukan kurang mampu, akan tetapi kita harus mengetahui bahwa Muhammadiyah itu pada zamannya lahir sebagai gerakan yang luar biasa, karena gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan puritan Islam mampu memberikan gerakan alternatif bahwa iman itu tidak bertentangan dengan modernisasi, dan iman itu tidak bertentangan dengan akal, serta iman itu tidak bertentangan dengan sains dan teknologi, dan gerakan ini juga memiliki kepekaan terhadap orang-orang yang tersisih, dengan mendirikan lembaga pendidikan yang mampu mengantarkan kaum muslimin untuk bersaing pada saat itu. Oleh karenannya gagasan yang dulu lahir itu, perlu dikaji lebih radikal lagi untuk menjawab problem konteks sekarang yang berbeda dengan zaman awalnya Muhammadiyah.
Jadi bagaimana sesungguhnya konsep awal gerakan al-Maun pada masa awal berdirinya Muhammadiyah? Sudahkah mengarah pada gerakan transformatif itu?
Menurut saya, gerakan awal yang dilakukan KHA Dahlan itu adalah mengkonfrontir antara pesan al-Ma’un dalam Al-Quran terhadap situasi kemiskinan dan kebodohan yang pada saat itu membuat orang-orang Islam tertinggal. Nah, yang menarik dari KHA Dahlan pada saat itu adalah, beliau berani mengkonfrontir keadaan itu dengan teks Al-Qur’an atau gerakan al-Ma’un itu, sehingga ia berhasil memotong semua tradisi dan warisan yang selama ini membuat umat Islam ketinggalan menjadi tradisi Kaum Muslimin yang maju. Dengan begitu KHA Dahlan melalui al-Ma’un betul-betul menggunakan metode reflektif yang ortopraktis, yaitu bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an mampu dirumuskan dan diamalkan menjadi praktis-praktis sosial dalam mengatasi keadaan yang tidak adil yang merupakan tantangan dari kemunduran kaum muslimin selama ini. Oleh karena itu, maka saatnya bagaimana tradisi ortopraktis itu bisa diwujudkan kembali oleh warga Muhammadiyah dalam menjawab tantangan kemiskinan massif ini di era sekarang. Jadi kita sekarang ini bukan lagi semata-mata hanya sekedar pengguna produk pemikiran Dahlan semata, namun yang lebih penting adalah, bagaimana untuk menghidupkan kembali tradisi KHA DAhlan dalam ortpopraktis ketika membaca al-Maun itu saat sekarang., kalau kita tidak punya bacaan apa sesungguhnya tantangan struktural sekarang ini, baik nasional maupun global, maka tidak mungkin problem kemanusiaan kita akan memperoleh solusi. Karena di dalam tradisi ortopraktis itu sebelum kita menemukan refleksi aksinya atau gerakan amalnya, Maka kita harus tahu konstruks atau hasil bacaan kita dimana sebenarnya akar persoalan dan sebab-sebab dari munculnya kemiskinan ini. Seperti anda tadi bilang, bahwa kaum elit ini miskin dari nurani dan moralnya. Tapi apa yang menyebabkannya, kita harus tahu terlebih dahulu. Kalau salah satu penyebabnya pengaruh dari budaya konsumeristik gaya hidup, maka sebenarnya Muhammadiyah harus meninjau kembali bagaimana cara melawan gaya hidup yang konsumeristik itu.
Artinya pendekatan dan strategi yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam gerakan sosialnya selama ini jauh dari semangat al-Maun yang sesungguhnya ?
Iya, misalnya saya masih jarang melihat kawan-kawan di Muhammadiyah ini, khususnya mereka yang menjadi da’i, ketika mereka melihat para pekerja seks atau kelas bawah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seperti itu bukan pekerjaan yang dipilih mereka. Tapi kita selalu mendekatinya bahwa orang ini sesat dan kotor dari segi norma kesolehan semata, padahal ada masalah-masalah struktural yang membuat mereka tidak bisa memilih, dan bagaimana mereka surviv dalam hidup itu bukan persoalan mudah, ada satu pergulatan hidupnya yang tidak bisa diterangkan hanya dengan mengutarakan ayat wala taqrabu zina saja, dan bagaimana mereka bisa keluar dari sudut kehidupan yang gelap itu, tanpa ada akses dan relasi kita untuk mengubah itu dengan kekuasaan. Nah kita sangat jarang melihat da’I Muhammadiyah yang bisa melihat dengan perspektif baru sebagai upaya menjawab persoalan ini dengan cara-cara yang tepat.
Atau memang di dalam internal Muhammadiyah sendiri masih ada problem internal yang belum terselesaikan untuk memberikan satu perspektif gerakan?
Tapi kita memiliki pimpinanya yang bisa mengkonsolidir berbagai pandangan dan pemikiran yang ada, sehingga pemikiran seperti Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) atau dari majelis majelis yang lain dalam membaca ayat-ayat al-Maun dalam konteks yang baru ini bisa disusun proposal dan agendanya. Jadi menurut saya, Muhammadiyah bisa menemukan kembali panggilannya sebagai gerakan yang memihak bukan hanya pada orang miskin saja, tapi memihak kepada nasib orang miskin sebagai fenomena ketimpangan. Jadi bukan orang msikin dalam arti individu-individu yang bisa diselesaikan dengan memberikan zakat fitrah, khitanan masal dan sebagainya, saya khawatir, kita ini selain sudah punya amal yang rutin terhadap pelayan sosial, seperti rumah yatim atau rumah sakit, akan tetapi kita tidak punya sosial vision yang bisa memiliki spirit baru dan bisa diusung sebagai cita-cita persyarikatan yang utama. Jadi lebih banyak agenda-agenda yang karitatif semata, ini sungguh disayangkan.
Lantas bagaimana tahapan perubahan yang harus dilakukan Muhammadiyah untuk membangun spirit al-Maun dalam menjawab konteks sekarang?
Jadi begini, Muhammadiyah itu tetap harus dipertahankan sebagai identitas persyarikatan, tapi bahwa ruh ideologinya bersumber dari al-Maun itu, jadi Muhamamdiyah akan tetap berperan sebagai gerakan almaun. Untuk mengarah kesini, maka harus dimulai kembali penataan secara menyeluruh dari segi pengelolaan persyarikatan, seperti kepemimpinan, manajemen organisasi, sehingga dimungkinkan untuk mengkonsolidir ide-ide baru yang lebih bersemangat. Sebab saya merasa sebenarnya kalau dari segi potensi inteletual di kalangan Muhammadiyah jauh lebih banyak sekarang ini, kita bias lihat anak-anak mudanya saja begitu banyak yang melalang buana mencari ilmu ke luar negeri. Maka potensi yang semacam ini bias dimanfaatkan Muhammadiyah untuk menghadirkan kelompok-kelompok kreatif yang bias mendorong Muhammadiyah untuk menjadi gerakan tarnsformatif. (d)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Dialog” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 12 tahun 2011