Pertaruhan Baru Muhammadiyah

Pertaruhan Baru Muhammadiyah

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang memelopori kebangunan umat Islam dan memodernisasi  kehidupan masyarakat Indonesia. Gerakan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), pendidikan Islam modern, taman pustaka, dan tablig merupakan empat pilar penting dalam perintisan awal Muhammadiyah. Keempat bidang gerakan tersebut saling menopang satu sama lain, yang satu tidak lebih penting  dari yang lainnya. Belakangan ditambah dengan aspek lainnya, termasuk gerakan ‘Aisyiyah sejak tahun 1917, maka menjadi semakin lengkaplah kepeloporan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang progresif.

Bagian Tablig termasuk bidang gerakan Muhammadiyah yang awal tadi. Waktu itu namnaya Bahagian Tablig,  dibentuk tahun 1920 dan dipimpin oleh Haji Fakhruddin.  Fakhruddin sosok yang sangat progresif baik pikiran maupun langkahnya. Dia muda, memimpin Redasksi Majalah Suara Muhammadiyah yang berdiri tahun 1915,  dan penulis yang tajam  di berbagai media.  Tokoh ini termasuk penggerak kesadaran buruh bersama Soerjopranoto yang ditakuti Belanda.  Mu’arif menyebut dalam bukunya (2010) sebagai Benteng Muhammadiyah, yang radius pergaulannya melampaui sekat-sekat ideologi, politik, dan golongan.

Keprogresifan Haji Fakhruddin (1890-1929) menyatu dengan kemujadidan Kyai Haji Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dan para perintis awal gerakan Islam modernis ini. Pengajian Malam Jum’at dan Malam Selasa  yang diselenggarakan oleh HB Muhammadiyah masa awal sungguh luar biasa. Para ustadznya membuka cakrawala pemikiran yang berkemajuan dan selalu membuka dialog perdebatan. Semangat para pesertanya sangat tinggi, hingga membayar iuran untuk sewa kursi dan lain-lain. Segala persoalan dari soal-soal aqidah dan ‘ubudiyah hingga akhlaq dan mu’amalah dibahas secara terbuka. Pengajian bukan sekadar mengaji dalam pengertian sempit dan pandangan Islam yang dibahas pun luas.

Karena itu gerakan tabligh, termasuk pengajian, yang menyatu dengan empat pilar gerakan lainnya menjadi kekuatan penggerak Muhammadiyah yang membangkitkan daya hidup umat dan masyarakat luas. Dari gerakan yang progresif itulah Muhammadiyah dalam masa awal terutama pada kurun 1922-1923 melebarkan sayap gerakannya ke seluruh tanah air hingga terbentuk sejumlah Cabang perintis.  Dalam kurun berikutnya sampai tahun 1933, gelombang Muhammadiyah semakin tidak terbendung meluas ke seluruh Nusantara dari Aceh hingga Indonesia bagian Timur. Termasuk tablig melalui Majalan Suara Muhammadiyah.

Muhammadiyah terus bergerak menawarkan dan menampilkan Islam yang berkemajuan.  Pengajian-pengajian  yang diselenggarakan Muhammadiyah di berbagai pelosok pun menjadi pemicu perubahan, yang tidak jarang mengundang kontroversi karena membawa paham  baru, bahkan dituding menyebarkan agama baru.  Karena itu pula institusi pengajian menjadi syarat penting dan niscaya berdirinya Ranting Muhammadiyah. Hal itu sebagai wujud pengabsahan akan keberadaannya sebagai penggerak denyut nadi keyakinan, paham, dan pengamalan Islam yang menggerakkan kehidupan dalam satu paket besar bersama gerakan PKO, taman pustaka, dan pendidikan. Umat dan masyarakat luas sungguh memperoleh pencerahan dari pengajian-pengajian Muhammadiyah.

Kini seratus tahun setelah Muhammadiyah berdiri dan baru saja menyelenggarakan Muktamar Satu Abad, tantangan gerakan Muhammadiyah semakin kompleks. Kondisi saat ini tentu saja jauh berbeda dengan masa lalu. Masyarakat yang menjadi lahan tablig Muhammadiyah semakin pusparagam.  Masyarakat kota dan desa makin berkembang dalam segala macam keadaan dan corak kehidupan di tengah pusaran perubahan berskala lokal, nasional, dan global kompleks. Pertaruhan dakwah  Muhammadiyah di tengah kemajemukan pemikiran dan praktik beragama pun bahkan semakin keras, penuh persaingan, dan serba melintasi. Agama semakin dituntut untuk menjadi pedoman kehidupan yang melampaui segala hal di tengah gelora dunia yang sarat perubahan.

Pertanyaan ialah, memadaikan gerakan dakwah termasuk tablig dan pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah di seluruh pelosok tanah air dalam menjawab perubahan dan perkembangan masyaakat saat ini?  Cukpkah paham Islam tentang aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah-dunyawiyah diajarkan dalam pandangan yang serba melintasi? Apakah para pelaku dakwah termasuk tablig Muhammadiyah mampu ber-fastabiqul-khairat  dengan para pendatang baru yang semakin militan dan masuk ke sudut-sudut  masyarakat dari  kelas menengah ke atas hingga ke  akar-rumput? Sedangkan gerak misi agama lain pun semakin progresif dalam merebut hati umat dan masyarakat luas, yang memerlukan penghadapan kompetitif. Inilah pertaruhan baru gerakan Muhammadiyah. (HNs)


Tulisan ini pernah dimuat di “Tajuk” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 10 tahun 2011

Exit mobile version