Rentetan persitiwa kekerasan yang terjadi belakangan ini di tanah air, begitu mengejutkan mata public, apalagi kekerasan-kekerasan yang terjadi sering dalam bentuk komunal yang digerakkan oleh kelompok warga. Kenapa kekerasan-kekerasan seperti ini justru sering terjadi? Bagaimana sesungguhnya peran tokoh agama dan pemerintah? Dan sejauh mana program-program toleransi, deradikalisasi dan sebagainya yang dikampanyekan tokoh-tokoh agama tertentu efektif meredam kekerasan antar warga masyarakat yang berbeda? Lebih lanjut, berikut petikan wawancara Suara Muhammadiyah dengan Prof Dr Sunyoto Usman, Sosiolog dan guru besar Universitas Gajah Mada beberapa waktu yang lalu di ruang kerjanya, gedung Pasca Sarjana UGM.
Belakangan peristiwa kekerasan dalam bentuk komunal begitu mudah terjadi, kenapa warga begitu mudah ngamuk ?
Pertama, hal seperti ini bisa terkait dengan semakin terpinggirnya hak-hak rakyat terhadap penguasaan sumber daya alam yang semakin terbatas, sebab semakin banyak sumber-sumber daya alam dikuasai oleh pemilik modal besar, maka rakyat-rakyat kecil hak-haknya akan semakin terpinggirkan. Kedua, akibat kehancuran lembaga-lembaga yang dulu mampu menjembatani kepentingan yang berbeda. Jadi organisasi keagamaan misalnya dulu bisa menjadi simpul bertemunya kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat. Tapi sekarang organisasi keagamaan itu lebih berwajah politik, sehingga mereka tidak punya rujukan kepada siapa mereka harus mengadu jika ada persoalan, karena simpul-simpul yang menghubungkan itu rusak. Anda bisa bayangkan kita punya pemilu Pilpres, pemilihan anggota DPR-DPD RI, Pilkada propinsi, kabupaten dan kota, adanya beberapa event kompetisi ini membuat masyarakat kita dihadapakan pada kompetisi-kompetesi yang kurang sehat, karena disana ada money politik dan yang lainnya. Jadi kita ini sudah dihadapkan saling curiga satu sama lain, serta dihadapkan pada persaingan kalah menang, ketiga, adanya pemicu-pemicu yang kaitanya dengan bagaimana tokoh politik mencoba menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada untuk memobilisasi masa dan digerakkan utk kepentingan tokoh tersebut
Artinya konflik dan kekerasan yang terjadi bukan pada ruang hampa ?
Iya, jadi konflik-konflik komunal itu terjadi bukan pada ruang vakum, tidak bebas seperti itu, melainkan adanya penyulut-penyulut dan pemicu tertentu. Kadang persoalan yang seharusnya bisa diredakan, akhirnya karena ada penyulutnya menjadi sulit, apalagi ditambah dengan institusi-institusi yang seharusnya bisa berperan dengan baik untuk menjadi simpul perbedaan kepentingan itu rusak.
Bukankah proses demokrasi yang kita jalani ini bisa mengantarkan masyarakat dan elit-elit bangsa ini lebih dewasa? Kenapa justru sepertinya demokrasi gagal?
Demokrasi yang kita jalani ini, melewati budaya parokial atau budaya paroki paroki, dimana disana ada patron yang dikelilingi oleh klien-klien, yang mengumpul menjadi satu. Jadi nanti ada perbedaan agama, perbedaan ideologi politik, perbedaan orientasi. Kemudian dengan adanya kompetisi yang tidak sehat dari perbedaan itu, membuat masa masih menjadi bagian dari klien patron-patron ini. padahal demokrasi yang diimpikan itu tidak begitu, demokrasi yang diimpikan itu, massa begitu cair, pintar dan bisa menentukan apa yang diinginkan, dan bisa memilih sesuai dengan kemampuan merealisasikan menjadi pengembangan asset dan kapabelitas, tapi ini belum tercapai kesana, namun masih parokial.
Bagaimana anda melihat peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Ahlusunnah Waljamaah di Sampang, Madura?
Saya kira itu diawali adanya understanding atau pemahaman yang berbeda, karena memang dalam masalah keagamaan itu, ada kebenaran itu yang diciptakan oleh tokoh. Jadi kalau kita belajar agama, ada kebenaran yang sesuai dengan firman Tuhan, seperti orang tidak boleh makan daging babi dan minuman keras dengan firman Tuhan yang tegas. Tapi sebaliknya ada pula kebenaran-kebenaran yang membutuhkan campur tangan manusia atau penafsiran, oleh karena itu dalam Islam, terkait kebenaran yang adanya campur tangan manusia ini cenderung menimbulkan variasi dalam pemahaman itu, sehingga sangat mudah terjadinya understanding ini, apalagi simpul-simpul keagamaan itu tidak berjalan dan rusak, akibatnya perbedaan-perbedaan ini tidak ada yang menjembatani, dulu ketika terjadi understanding ini ada yang menjembati ketegangan yang terjadi, dan akhirnya bisa diredakan, namun sekarang ini siapa? Sepertinya tokoh-tokoh kharismatik era masa yang lalu tidak kita temui seperti sekarang ini.
Kekerasan komunal yang terjadi, justru di tengah semangat kampanye tolerensi dan anti kekerasan oleh beberapa tokoh agama, kenapa tidak berpengaruh pada akar rumput ?
Karena tidak ada kalangan yang mampu menterjemahkan dan menderivasi ide-ide besar tokoh agama ini menjadi kongkritnya di lapangan, sebab ide dan kampanye toleransi, deradikalisasi dan sebagainya itu baru sebatas tataran ide, seperti himbauan mari bersatu dan toleransi, tapi ide ini harus bisa diterjemahkan pada tingkat bawah, kalau tidak, ide ini hanya akan berhenti pada tingkat ide saja.
Apakah ide ini sekedar proyek atau tidak adanya peran yang menterjemahkan tersebut?
Kalangan tengah dari organisasi keagamaan atau elit agama yang seharusnya bisa menterjemahkan ide-ide besar ini sudah tidak bagus, karena mereka-mereka itu sekarang sudah ikut arus dalam kepentingan politik praktis. Bisa jadi karena mungkin mereka adalah tokoh-tokoh atau figur yang bertahun-tahun dimanfaatkan untuk dukungan mobilisasi politik, jadi mereka tidak mampu menterjemahkan ide-ide besar dari langit itu turun ke bumi.
Kenapa kita sebagai muslim justru lebih toleran dengan agama lain ketimbang dengan internal agama yang berbeda mazhab, pemahaman, penafsiran dan sebagainya?
Kalau dengan agama lain karena terang perbedaan yang ada, dan tentunya ini tidak begitu masalah, karena jelas batasnya. Namun jika adanya overlap dalam pemahamaan agama yang sama, ini justru sering menimbulkan ketegangan, jadi kalau total different, apa yang akan diperdebatkan, karena sudah jelas berbeda dan tidak ada isu yang diperdebatkan lagi. Namun kalau ketika keyakinanya kurang lebih sama, simbolnya kurang lebih sama, dan ritualnya kurang lebih sama, tiba-tiba kita berbeda, tentu muncul pertanyaan ada apa ini ? dan orang tentunya mudah dan ingin masuk pada perbedaan-perbedaan itu, dan kalau kita sudah jelas berbeda secara tegas, orang tidak akan masalah lagi
Seperti apakah implikasi dari kekerasan-kekerasan yang terus berulang bagi bangsa ini?
Kita tidak akan memiliki pemimpin yang baik, kita akan ingkar pada akuntabilitas, transparansi, dan aturan main. Karena kesepakatan-kesepakatan yang telah dirumuskan itu bisa dirusak dengan kekerasan. Makanya kehadiran negara dalam konidisi ini harus jelas, dimana penegak hukumnya tidak boleh diskriminatif dan harus mengambil tindakan-tindakan tegas dalam setiap terjadinya kekerasan, jadi polisi, hakim ditantang dalam kondisi seperti ini, seberapa jauh mereka mampu mengendalikan kondisi ini, karena mereka ini lembaga-lembaga yang mengawal aturan main, ibarat sepak bola, ini pemainya sedang ribut, kemudian wasitnya harus berani mana yang diberi kartu kuning dan mana pula yang diberi kartu mereh, kalau hanya sekedar menegur, “..kalian tidak boleh ribut..!, nanti ketika bola bergulir, keributan akan bisa terjadi lagi. Makanya wasit harus tegas.
Jadi anda ingin mengatakan bahwa rentetan kekerasan yang terjadi di negeri ini juga akibat ketidaktegasan pemerintah atau Negara?
Ya ini sangat kelihatan sekali, karena aturan mainnya sudah ada, tapi law informentnya dari aturan main ini yang tidak kelihatan.
Bagaimana peran dari tokoh-tokoh agama maupun ormas-ormas Islam dalam meminimalisir maupun mengantisipasi terjadinya kekerasan komunal tersebut?
Pertama, tokoh-tokoh panutan agama ini jangan terlalu asik dengan politik praktis, mereka tidak usah ikut terlalu dalam, tapi cukup memberikan inspirasi bagaimana caranya berpolitik yang cerdas, kalau bahasa pak amin dulu ada hight politik, yaitu politik yang cerdas yang memberikan kesejukan dan kedamaian. Kedua, organisasi keagamaan harus mampu menterjemahkan ide-ide besar dari elit agama ke akar rumput, contohnya tadi ide toleransi, seperti apa aplikasinya? Ini harus ada organsiasi keagamaan yang mempunyai kemampuan dan kemamuan menterjemahkan itu. Seperti di Muhammadiyah, ada Universitas Muhammadiyah Kupang misalnya, yang lebih 50 persen mahasiswanya non muslim, begitu juga di Universitas Muhammadiyah Malang. Jadi ide-ide besar tersebut harus diterjemahkan ke akar rumput seperti apa, jadi tidak hanya jargon-jargon dan kampanye saja. (d)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Dialog” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 3 tahun 2012