Oleh Haedar Nashir
Saat itu Umar bin Hattab sedang berada di sebuah majelis. Seorang lelaki datang menemuinya dengan membawa berita panas. Lelaki itu mengabarkan keburukan seseorang dengan maksud agar Umar terpancing marah dan kemudian bertindak keras. Si lelaki itu tahu bahwa Amirul Mukminin dikenal tegas terhadap sesuatu yang sifatnya kemunkaran.
Namun di luar perkiraan, Umar hanya duduk termenung. Kepada lelaki itu, Umar berkata, kalau beritamu itu dusta, ingatlah firman Allah berfirman dalam Al-Quran, yang artinya “Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.” (QS al-Hujurât/49:6).
Tetapi, jika berita itu benar, lalu Umar mengungingatkan si lelaki itu dengan ayat Al-Quran, yang artinya: “Dan janganlah kamu ikuti orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak.Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.” (QS Al-Qalam/68: 10-15).
Umar berkata lagi, “Jika aku ingin memaafkanmu, kamu jangan ulangi dan jangan kembali lagi ke sini, karena itu bukan sifat seorang mukmin”. Si lelaki itu meminta maaf dan pulang dengan perasaan malu dan hina. Kisah yang ditulis Amin Al-Jundi itu merupakan pelajaran (ibrah) tentang larangan membawa berita-berita yang bersifat hasutan dan mengumbar kejelekan orang. Pada saat yang sama kaum muslim harus selektif dan tidak gampang menerima maupun mengikuti berita yang penuh hasutan seperti itu.
Kita ingat ulah Abdullah bin Ubay yang selalu membikin onar di lingkungan kaum muslimin. Perbuatannya selalu menuruti hawa nafsu dan penuh ambisi buruk. Dibakarnya emosi orang, dihasut, diadu-domba, dan dipecah-belah agar suasana panas. Dia dan kelompoknya tak segan memfitnah Nabi dan para sahabat. Setiap ada kesempatan selalu dimanfatkan untuk membikin kacau. Banyak sahabat Nabi yang marah dibuatnya, bahkan anaknya sendiri tak tahan menghadapi perangai nifak ayahnya itu. Namun Nabi selalu menyikapinya dengan jernih dan meminta kaum muslim tidak mudah terpancing ulah jahat tokoh kaum munafik itu. “Sebaluaskan perdamaian dan perkuatlah hubungan persaudaraan”, sabda Nabi.
Dalam kehidupan di mana pun sering dijumpai orang-orang yang pekerjaannya membikin suasana panas, gaduh, dan masalah. Ambisinya meluap-luap. Tidak jarang dalih yang seolah baik ditebarkan untuk meyakinkan orang atas hasrat dan ulah dirinya. Bila perlu dengan dalil agama. Orang-orang jenis ini termasuk dalam kategori trouble-maker, si pembuat onar. Sering umat atau warga yang kurang kritis terbawa hasutan dan cara berpikir para pembuat gaduh seperti itu. Ada keenderungan jika suatu kali ulahnya berhasil maka diulang pada kesempatan lain. Akibatnya masalah demi masalah muncul dan tak kunjung selesai akibat polah orang-orang pembuat ulah tersebut.
Para pembuat onar itu ada di mana-mana. Kadang sosoknya tampak berperan aktif sehingga mudah mempengaruhi lingkungannya. Tidak jarang paham dalil-dalil agama. Dia tidak sadar kalau ulahnya sering membawa masalah bagi sesama. Pada saat yang sama, perbuatan onarnya itu sesungguhnya akan menjadi senjata makan tuan (QS Al-Isra: 6).
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 6 tahun 2015