Oleh: Haedar Nashir
Umat Islam diidealisaikan sebagai khairu ummah atau umat terbaik (QS Ali Imran: 110), ummatan wasatha atau umat tengahan dan syuhada ‘ala al-nas atau pelaku sejarah (QS Ali-Baqarah: 143), dan dijanjikan Allah menjadi khalifah yang akan menguasai dunia (QS Ar-Rum: 55). Sungguh betapa hebat kedudukan sekaligus harapan akan kehadiran umat yang maju, unggul, dan terbaik di muka bumi ini.
Islam sebagai agama Allah yang dianut umat Islam pun merupakan agama yang sempurna, utama, dan paripurna (QS Al-Maidah: 3), yang tidak ada agama yang paling diridlai Allah kecuali Islam. Umat Islam sering menggelorakan slogan keyakinan Al-Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaihi, bahwa Islam itu agama yang unggul dan tidak ada agama apapun yang menyamainya. Umat terbaik dengan agama yang sempurna tentu akan melahirkan peradaban utama.
Namun dalam kenyataan saat ini umat Islam masih tertinggal dalam banyak aspek kehidupan. Dalam bidang ekonomi umat Islam dhu’afa. Dalam politik selain terpecah-belah juga belum mampu menghadirkan tokoh Islam yang representatif di puncak pemerintahan, kecuali yang terbatas beragama Islam. Dalam kehidupan sosial, pendidikan, kualitas sumberdaya manusia, dan lainnya juga belum terbilang unggul. Umat malah sering menjadi objek pihak lain karena masih lemah atau belum kuat.
Kalau urusan sermonial, peringatan hari-hari besar, mujahadahan, kirab atau arak-rakan, dan aktivitas pengerahan massa memamg gemar dan kelihatan hebat. Malah merasa kurang masih oerlu hari masional yang baru. Sebagian pimpinannya pun pandai retorika ulung dan obral jumlah yang luar biasa piawai. Namun semua itu tidak mengubah nasib mayoritas umat Islam yang maaih tertinggal, lemah, dan bekum menjadi golongan yang unggul. Padahal apa yang dapat dilakukan untuk persaingan strategis dengan golongan lain jika umat Islam sendiri masih lemah?
Tantangan Masa Depan
Umat Islam ke depan harus semakin maju, menjadi golongan agama yang berkemajuan. Tantangan yang dihadapi gerakan Islam ini sangatlah berat. Di ranah global terjadi perkembangan dunia yang sangat dinamis, kompleks, dan sarat muatan kepentingan dari setiap bangsa dan negara dalam relasi globalisasi dan politik global yang sangat keras. Dunia Islam mengalami banyak masalah, lebih-lebih pasca The Arab Spring, perubahan peta politik Timur Tengah yang membara dan mempengaruhi ketidakpastian kawasan ini ke depan. Gejolak dan konflik politik di kawasan gurun dan kaya minyak ini memperburuk nasib dunia Islam, sehingga jangankan mampu memainkan peran ke luar, di kawasan sendiri justru centang perenang. Dunia Islam jauh dari harapan Kebangkitan Islam abad ke-15 seperti dua daswarsa lalu dikmandangkan.
Demikian halnya dengan tantangan perubahan geopolitik, geoekonomi, dan geobudaya ke Asia Timur terutama Tiongkok sangat mempengaruhi perkembangan dunia. Lahirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN akan semakin berpengaruh tehadap Indonesia ke depan. Semua menjadi tantangan dan ancaman baru bagi umat Islam di negeri-negeri Muslim. Pergeseran hubungan dengan Tiongkok yang makin gencar tentu perlu perhitungan baru, apakah Indonesia makin berperan atau sebaliknya lebih menjadi sasaran dari ekspansi ekonomi-politik Tiongkok? Jika tanpa kemampuan mengimbangi maka hanya menjad objek pasar semata, yang tidak tertutup ada dampak politik dan ideologis yang masuk ke Indonesia dan mengubah peta politik domestik ke depan.
Kehidupan politik nasional juga sarat masalah. Perkembangan politik, ekonomi, dan budaya yang semakin liberal dan menuju liberalisasi yang semakin masif sungguh akan memberi corak terhadap Indonesia ke depan. Banyak masalah bermunculan akibat liberalisasi struktural dan kultural itu. Sementara korupsi, ajimumpung kekuasaan, dominasi partai dan elite politik yang prgamatis, otomomi daerah yang sangat terbuka, pengrusakkan dan eksploitasi sumberdaya alam yang besar-besaran, kesenjangan sosial ekonomi, kemiskinan dan marjinalisasi sosial, konflik sosial, krisis keluarga, kekerasan, peluruhan jiwa kenegarawanan, dan berbagai masalah ke depan akan semakin kompleks. Rekonstruksi kehidupan kebangsaan ke depan sangatlah memerlukan basis idealisme yang kuat pada jiwa, pikiran, dan cita-cita kemerdekaan yang diletakkan para pendiri bangsa.
Agenda Strategis
Peran unat Islam dalam perjuangan kebangsaan dan kemanusiaa universal ke depan sangat penting dan strategis. Kaum Muslimun Indonesia harus menjadi kekuatan strategis dalam membawa Indonesia dan peradaban semesta yang berkemajuan sejalan dengan nilai-nilai Islam untuk rahmatan lil-‘alamin. Jika ingin berperan memajukan bangsa dan dunia kemanusiaan universal maka umat haruslah maju terlebih dulu. Jadilah umat berkemajuan yang kuat pendirian, mandiri, dan memiliki kekuatan inner-dynamic yang tinggi. Umat Islam harus kuat dari rumah dan dapurnya sendiri sebelum memperkuat dunia luar, yang kokoh dalam berbagai aspek. Mana mungkin umat Islam mampu menjadi penyebar rahmatan lil-‘alamin manakala dirinya tidak memiliki kekuatan.
Boleh jadi sekadar wacana menjadikan umat Islam itu hebat da besar tentu mudah, apapun di tingkat teori itu serba gampang, diperlukan kerja keras dan faktor-faktor pendukung yang positif. Jika ingin memberi ke pihak lain harus memiliki sesuatu yang akan diberikan. Pepatah menyatakan, “faqid asy-syaiy la yu-thi“, orang yang tidak mempunyai sesuatu maka tidak akan dapat memberi sesuatu. Umat Islam harus memilki kekuatan dan keunggulan sendiri di banyak bidang garapannya jika ingin berperan di dunia luar.
Umat Islam jika ingin berperan strategis di dalam negeri dan di ranah global haruslah memiliki kualitas daya saing tinggi di bidang karakter diri, sumberdaya manusia, pendidikan, penguasaan iptek, ekonomi, stategi politik, dan strategi kebudayaan yang unggul atau berkemajuan. Semua harus dirancang-bangun dengan benar dan komprehensif, serta diwujudkan dalam agenda-agenda strategus yang teraplikasi secara terorganisasi. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern dan maju amal usahanya sebenarnya memiliki potensi dan peluang untuk berperan strategis dibandingkan dengan organisasi Islam lainnua. Semuanya memerlukan kerja kolektif dan sistemik yang terencana dalam perencanaan strategis ke depan yang total dan menyeluruh. Strategi gerakan pencerahan dapat dijadikan titik tolak melakukan langkah-langkah strategis itu.
Dalam menjalankan langkah strategis ke depan yang berat dan penuh tantangan itu maka sangatlah penting tanggungjawab para pemimpin umat di seluruh komponen. Terutama kepemimpinan transformasional yang mampu membolisasi potensi, mengagendakan perubahan, dan mempeoyeksikan masa depan secara terorganisasi baik dan komprehensif. Kepemimpinan yang memadukan visi pemikiran dengan agenda-agenda praksis dan strategis yang sistematik. Bukan kepemimpinan yang sarat wacana, retorika, citra, dan gemar upacara. Umat Islam harus digerakkan bukan sekadar secara formal dan minimal, tetapi benar-benar menjadi kekuatan pergerakan yang maju dan unggul.
Secara objektif umat Islam yang diwakili organisasi-organisasi Islam belum sepenuhnya memiliki agenda strategis yang dirancang-bangun secara komprehensif, termasuk dalam menyusun strategi kebudayaan sebagai kerangka strategis besar. Masih banyak yang bergerrak apa adanya dam ada yang reaktif spontan. Kerja kolektif dan strategis juga belum tampak, kecuali dalam wacana. Terus terang komponen organisasi-organisasi Islam itu masih berjalan sendiri-sendiri. Jika menyangkut politik dan kekusaan bahkan saling rebut dan mengutamakan kepentingannya sendiri, bila perlu dengan mengetepikan atau meminggirkan sesama kelompok Islam tanpa canggung. Akibatnya umat Islam gampang dipecah dan menjadi tidak kuat sebagai kolektif.
Umat Islam semestinya mampu memainkan peran strategis dalam menghadapi tantangan global dan nasional yang komoleks itu. Namun alih-alih berperan strategis, umat yang mayoritas di negeri ini masih lemah secara politik, ekonomi, dan budaya. Banyak problem laten dihadapi umat seperti kemiskinan, berfirqah-firqah dan konflik paham, tidak memiliki peta jalan kolektif yang strategis, dan berbagai masalah lainnya. Masalah bangsa identik dengan masalah umat Islam karena menjadi penduduk terbesar. Terus terang umat Islam Indonesia atau umat Islam Nusantara itu masih “yad al-sufla” alias tangan di bawah dan belum menjadi “yad al-‘ala” atau tangan di atas, meskipun di antara elite dan organisasinya mungkin sering bicara yang besar-besa dan hebat-hebat seolah benar-benar umat Islam itu kuat. Apalagi kondisi umat di akar-rumput, masih berposisi sebagai “maf’ul bihi” yakni menjadi objek penderita.
Kondisi umat yang rentan ini tidak dapat dibiarkan dan dininabobokan oleh langkah-langkah kamuflase dan mercusuar seperti kirab nasional dan berbagai seremoni nasional yang memobilisasi massa umat, tetapi membutuhkan kerja-kerja sistematik, kongkret, dan produktif yang bersifat praksis sekaligus strategis. Apalah artinya membesar-besarkan jumlah dalam kebanggan diri yang berlebihan dan banyak melakukan pertunjukan-pertumjukan massal jika umat Islam masih tertinggal dalam banyak hal dan tidak memiliki agenda strategis untuk memberdayakan diri sekaligus merebut masa depan. Umat Islam yang demikian hanya seperti buih, yang menggelembung tetapi tidak memiliki kekuatan. Di sinilah pentingnya membangun umat Islam yang berkemajuan agar tidak menjadi buih di lautan!
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Bingkai” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 22 tahun 2015