Ketika beberapa ormas dan LSM perempuan berbasis Islam menyuarakan perspektif baru fikih perempuan, Muhammadiyah lewat gerakan ‘Aisyiyah, sebenarnya sudah selesai mengatasi persoalan bias gender ini. Apalagi problem relasi gender yang tidak terurai yang disebabkan karena salah satu pihak tidak mendukung keadilan dan kesetaraan gender. “Di Muhammadiyah, persoalan ini sudah selesai,” tegas Siti Noordjannah Djohantini, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Menurutnya, sejarah telah mencatat bagaimana kelahiran ‘Aisyiyah yang didukung oleh para tokoh laki-laki dari Muhammadiyah yang berpandangan maju.
Organisasi ‘Aisyiyah yang berdiri sejak tahun 1917 memang sejak awal merupakan bagian dari gerakan Muhammadiyah. Atas inisiatif Kiai Ahmad Dahlan, anak-anak perempuan diberi kebebasan untuk mengakses pendidikan, berpartisipasi di tengah masyarakat, bahkan meniti karir seperti kaum laki-laki. Tokoh-tokoh ‘Aisyiyah generasi pertama mulai dari Nyai Ahmad Dahlan, Siti Bariyah, Siti Munjiyah, Siti Hayyinah, Siti Badilah, Siti Umniyah, Siti Aisyah, dan lain-lain adalah perempuan-perempuan handal yang selesai dengan persoalan gender berdasarkan Islam. Para suami dari tokoh-tokoh ‘Aisyiyah tersebut memiliki pemahaman yang jauh lebih maju dibanding para feminis yang datang kemudian.
“Dalam konteks Muhammadiyah, di awal gerakannya sudah mendesain ‘Aisyiyah. Menempatkan perempuan untuk berkiprah lebih luas dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan berbangsa. Kalau Muhammadiyah tidak memiliki pandangan bagaimana perempuan harus berkiprah, tidak akan memberikan kesempatan peluang-peluang bagi perempuan, baik secara institusi atau individu-individu. Pandangan Muhammadiyah seperti itu tentu karena pandangan Islamnya berkemajuan,” terang Noordjannah Djohantini.
Perspektif baru fikih perempuan yang diusung para feminis belakangan ini sebenarnya sudah terjawab semuanya di Muhammadiyah. Konsep relasi gender dalam pandangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah terus berkembang sebagaimana termaktub dalam kitab Adabul Mar’ah Fil Islam (2010), Isu-isu Perempuan dan Anak Perspektif Tarjih Muhammadiyah (2012), dan Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah (2016).
“Hak dan kewajiban laki laki dan perempuan sudah banyak dibicarakan di Muhammadiyah, baik melalui Adabul Mar’ah fil Islam dan Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah. Jika berbicara Islam rahmatan lil ‘alamin, untuk mewujudkannya jelas diperlukan peran bersama laki-laki dan perempuan,” kata Shoimah Kastolani, ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. (Rif)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 5 tahun 2017