Kolaborasi Hamengku Buwono VII dan KH Ahmad Dahlan

Kolaborasi Hamengku Buwono VII dan KH Ahmad Dahlan

Masjid Gedhe Kauman tempo dulu (Dok SM)

Oleh M Syukrianto AR 

Hamengku Buwono VII (HB VII, lahir 1839, wafat 1931), nama kecilnya Raden Mas Murtejo. Setelah dikukuhkan sebagai Sultan beliau bergelar Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah Ing Ngayogyokarto. Beliau memerintah 1877 – 1920. Beliau adalah Sultan yang sangat kaya raya, sehingga dikenal dengan sebutan Sinuwun Sugih atau Sultan Sugih.

Ia memang seorang sultan yang kaya raya, karena pada masanya di Yogyakarta banyak dibangun pabrik gula yang mencapai 17 pabrik. Ia menerima banyak penghasilan dari sewa lahan (untuk pabrik dan untuk menanam tebu) bagi hasil keuntungan.  Untuk mendukung pengangkutan gula ke Semarang selanjutnya dkirim ke Belanda, dibangun  sarana transportasi  kereta api Semarang – Magelang – Yogyakarta,

Pembangunan pabrik gula itu diikuti dengan pembangunan berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan  pimpinan dan manajemen pabrik yang semuanya orang Belanda, seperti perumahan, sekolah, stadion, rumah sakit dan poliklinik serta tempat ibadah (gereja) di sekitar pabrik-pabrik gula itu. Ternyata pembangunan sekolah, rumah sakit dan poliklinik serta gereja – gereja itu kemudian diikuti – ditumpangi oleh aktifitas missi dan zending untuk mempengaruhi kehidupan beragama (baca melakukan kristenisasi / penginjilan) bagi penduduk pribumi khususnya petani dan buruh pabrik..

Melihat perkembangan seperti itu HB VII, selaku Sultan (penguasa – pemerintah), Sayidin Panotogomo (pembina kehidupan beragama) dan Khalifatullah (wakil Allah) merasa khawatir kalau rakyat Ngayogokarto Hadiningrat berubah agamanya. Maka di awal tahun 1900-an, beliau HB VII memanggil KHA Dahlan, salah satu abdi dalem pametakan yang dianggap ilmunya luas dan cerdas untuk diajak dialog tentang pembinaan keagamaan di Ngayogyokarto.

Sultan HB VII mengingatkan KHA Dahlan akan bahaya agama baru (agama nasrani) yang datang  dari utara (Semarang). Beliau juga mendorong KHA Dahlan untuk menggiatkan pembinaan agama (tabligh – dakwah amar makruf nahi munkar) rakyat Yogyakarta agar agamanya tetap  kuat dan tidak terpengaruh injilisasi. Beliau  mendorong KHA Dahlan untuk memperbaiki cara beragama dan pendidikan bagi penduduk pribumi. Konon kepergian KHA Dahlan pergi haji yang kedua juga atas dukungan HB VII (wallahu’alam).

Yang jelas, sepulang dari haji yang kedua  dan setelah bertemu dengan ulama sekaliber Syekh Muhammad Rasyid Ridha, KHA Dahlan sangat giat mengadakan dan mendirikan pengajian dimana-mana. Yang bercorak kejawen  ada pengajian Sumarah Ngalah, Pawiyatan, Sopo Tresno.   Yang bernuansa Arab modern, Maghribi School, Fathul Asrar Miftahussa’adah, Taqwimuddin, Ikhwanul Muslimin, yang bernuansa Qur’ani Wal ‘Ashri, Wal Fajri, Adz Dzakirin, Adz Dzakirat, Selain itu KHA Dahlan juga menjalin dengan semua golongan untuk mendapatkan inspirasi, ide dan pengetahuan untuk menggalakkan dakwah amar makruf dan nahi mungkar.

KHA Dahlan bergaul dengan berbagai kelompok  dan lapisan masyarakat. Dengan kelompok abangan yang kebanyakan berkultur Jawa dan kejawen seperti perkumpulan Priyo Oetomo (PO), Boedi Oetomo (BO), orang-orang Katholik (van Lith), Protestan (Zwemer), politisi muslim (HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim), orang-orang marxis – komunis seperti Semaun, Alimin dan Darsono dsb. Meskipun bergaul dengan berbagai macam golongan semangat tauhid,  Islamnya tetap kokoh  dan spirit dakwahnya sangat menggebu.

Dari pergaulannya yang luas dan  luwes itu KHA Dahlan kemudian  giat melakukan dakwah dengan melibatkan anak-anak muda (seperti Danial – H. Sujak, Jazuli – Fakhruddin, Hidayat – Ki Bagus, Hisyam, Sangidu, Muchtar, Hani dll), remaja putri (seperti Bariyah, Munjiah, Badilah, Umniyah, Walidah, Wasilah dll). KHA Dahlan memilih mengajak anak-anak muda, karena remaja dan anak muda adalah masa depan.

Bersama remaja-remaja putri dan anak-anak muda itu KHA Dahlan mulai menggerakkan pendidikan (pondok, sekolah, madrasah), tabligh dan pengajian, semangat membaca (bibliotik – perpustakaan), santunan untuk anak yatim dan fakir miskin, kesehatan dan pertolongan umum, membangun kepanduan dsb.

Dari pertemuan dan dialog HB VII (Sayidin Panotogomo dan Kahlifatullah)  dan KHA Dahlan (ulama cerdas dan visioner) itu telah terjadi kolaborasi dan sinergi dalam menggerakkan dakwah dan amar makruf dan nahi mungkar di negeri ini. Semoga sinergi dan kolaborasi antara umara dan ulama ini terus berlanjut.


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Wawasan” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 13 tahun 2015

Exit mobile version