JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian berkunjung ke Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, pada Jumat, 28 Desember 2018. Dubes Xiao Qian diterima langsung Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Turut serta para jajaran PP Muhammadiyah, di antaranya Abdul Mu’ti, Hajriyanto Y Thohari, Bahtiar Effendy, Suyatno, Agung Danarto, Agus Taufiqurrahman, Syafiq A Mughni, dan Sudibyo Markus.
Dalam pertemuan itu, Pimpinan Pusat Muhammdiyah memberikan beberapa masukan kepada kedutaan besar China di Indonesia terkait dengan isu keadaan umat muslim Uyghur di provinsi Xinjiang, yang diberitakan mengalami diskriminasi.
Muhammadiyah meminta Pemerintah Tiongkok untuk membuka akses ke propinsi tersebut. “Selain memberi penjelasan terbuka dan apa adanya, kami beri masukan tadi kepada pak Dubes Xiao agar pemerintah China mau membuka akses bagi masyarakat internasional yang ingin mengunjungi Xinjiang,” tuturnya.
Dibukanya akses bagi masyarakat internasional untuk berkunjung ke Xinjiang diharapkan akan menjernihkan persoalan. “Dengan akses yang terbuka ke Xinjiang, masyarakat internasional bisa melihat sendiri situasi dan kondisi di sana,” ujar Haedar.
Haedar berharap pemerintahan China bisa menerima masukan tersebut. Terlebih, China merupakan salah satu negara besar yang punya kekuatan diplomasi serta menjadi pelopor paradigma politik internasional. Oleh karena itu, pemerintah setempat harus mengutamakan perdamaian non kekerasan, sehingga tercipta nilai-nilai kemanusiaan secara bersama.
Dalam kaitannya dengan isu diskriminasi agama, Muhammadiyah berharap negara tirai bambu ini bisa memberikan jaminan kebebasan bagi semua, sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. “Kami berikan masukan kepada China agar masyarakat di China dapat kebebasan menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing,” ungkapnya.
Dalam menghadapi masalah apapun, Haedar mengusulkan supaya mengedepankan jalan dialog dan permusyawaratan. “Kami sampaikan agar dialog terus dilakukan dengan berbagai komponen, dan kami anjurkan China untuk perluas hubungan dengan dunia Islam yang lebih mengedepankan pendekatan kesejahteraan perdamaian dan hidup kebersamaan,” katanya.
Di luar itu, pertemuan itu juga membahas terkait isu tenaga kerja dan investasi yang menyangkut hubungan antara Indonesia dan China. Haedar mengatakan pihaknya sangat menghormati kerjasama itu. Muhammadiyah menyarankan ke depan supaya ada prioritas untuk mempekerjakan para tenaga kerja dalam negeri.
Terkait usulan ini, Dubes China menyambut positif untuk selanjutnya ditindaklanjuti. Sehingga, tidak ada lagi kesan tenaga kerja China membanjiri Indonesia. “Pak dubes sambut baik dan akan berikan masukan ke perusahaan-perusahaan China di dalam negeri,” tutur Haedar.
Sementara itu, Dubes Xiao mengatakan bahwa pihaknya menerima saran-saran positif yang diberikan oleh PP Muhammadiyah. Salah satu saran menyebut bahwa China perlu menjalin komunikasi yang lebih luas dengan berbagai komunitas muslim, guna membentuk progresivitas dalam menetapkan berbagai kebijakan yang sesuai dengan asas perdamaian, sebagaimana disepakati oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Selain sebagai teman baik, kami juga memandang Indonesia sebagai salah satu negosiator yang baik dalam menanggapi berbagai isu yang berkaitan dengan ekstremisme dan terorisme. Kami senang dapat berdialog dengan Bapak Haedar Nashir dan rekan-rekan di sini, membahas tentang beragam hal yang berakar pada semangat perdamaian, keadilan, dan kemajuan zaman,” ujar Dubes.
Terkait kondisi masyarakat muslim di Provinsi Xinjiang, Dubes Xiao meluruskan bahwa hal itu tidak benar. Menurutnya, terjadi salah paham dalam menerima informasi yang beredar di luas di tengah masyarakat, terutama via media sosial.
“China terdiri dari masyarakat yang multikultur dan multibudaya, di mana undang-undang dasar kami menjamin tidak ada pembatasan ruang gerak bagi rakyat untuk menjalankan keyakinannya,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan bahwa China kini memiliki sekitar 23 juta penduduk muslim, 14 juta di antaranya berada di provinsi Xinjiang. Wilayah yang berada di sisi barat daya China itu, menurut Dubes Xiao, memiliki lebih dari 24 ribu masjid, hampir 29 ribu ulama, dan 103 organisasi masyarakat muslim.
“Xinjiang adalah provinsi yang damai. Daripada Anda mendengar 100 kali kabar tidak benar tentang kondisi di sana, lebih baik menyaksikannya langsung. Kami sangat terbuka untuk itu, mulai dari akses, keramahan penduduk, dan banyak lainnya,” ujarnya.
Dubes Xiao kembali menegaskan bahwa tidak ada kamp detensi (penahanan) di propinsi tersebut, melainkan pusat pendidikan dan pelatihan vokasi. Program peningkatan skill ini, menurutnya, adalah bentuk komitmen nyata dari pemerintah Xinjiang untuk menjalankan amanah pusat dalam menyejahterakan rakyat.
Sebelumnya, PP Muhammadiyah juga telah mengeluarkan pernyataan sikap terkait dengan kondisi di Xinjiang. Dalam pernyataan tersebut dinyatakan: Jika kekerasan yang diberitakan oleh media massa dan lembaga-lembaga hak asasi manusia dan internasional benar adanya, maka pemerintah Tiongkok telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan hak asasi manusia universal yang dijamin Perserikatan Bangsa-Bangsa. Apapun alasannya, pemerintah Tiongkok tidak dibenarkan melakukan tindakan kekerasan bagi masyarakat yang lemah dan tidak berdosa yang semestinya dilindungi. Pemerintah Tiongkok, sebaiknya melakukan pendekatan politik yang elegan dan berorientasi pada kesejahteraan terhadap mereka yang dianggap melakukan aksi separatisme.
Melalui pernyataan ini, PP Muhammadiyah juga menghimbau kepada pemerintah Tiongkok untuk membuka diri dengan memberikan penjelasan yang sebenarnya mengenai keadaan masyarakat Uighur dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi berbagai masalah dan tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Penjelasan yang faktual akan memperkecil berbagai opini dan kesimpangsiuran wacana. (ribas)
Baca juga:
Pernyataan Sikap PP Muhammadiyah Tentang Kekerasan di Uighur
Anwar Abbas: Jika Memang Ada Diskriminasi Terhadap Islam di Tiongkok, Hentikan!