Dakwah Digital dan Pusat Informasi Muhammadiyah Berkemajuan
Oleh: Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi
Dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1439 Hijriyah baik di Yogyakarta maupun Jakarta secara khusus mengangkat bahasan tentang “Keadaban Digital: Dakwah Pencerahan Zaman Milenial”. Banyak pemikiran dan masukan sangat berharga dan mengagetkan dari para narasaumber. Sekilas, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah terasa tertinggal dari dinamika baru era digital yang sangat revolusioner, baik dalam pemikiran maupun langkah dakwahnya. Karenanya menjadi sangat penting dan mendesak merancang-bangun dakwah virtual secara lebih seksama dan kontekstual sebagaimana diamanatkan Muktamar tahun 2015 di Makassar.
Manusia dan masyarakat saat ini memasuki zaman millenial yang berbasis teknologi informasi sebagai ciri utama kehidupan di era baru. Penggunaan tekonologi informasi yang serbadigital menjadi kekuatan dominan dalam kehidupan zaman baru itu yang menandai lahirnya revolusi industri keempat yang kini populer disebut Revolusi Industri 4.0 atau “Four Point Zero”. Masyarakat digital atau masyarakat virtual telah lahir secara niscaya dengan alam pikir dan corak hidup berteknologi indormasi serba canggih itu.
Maka menjadi penting dan strategis untuk mengupayakan pelaksanaan model dakwah digital yang canggih dan bersifat alternatif. Termasuk di dalamnya bagaimana menghadirkan narasi-narasi tabligh alternatif yang dapat mengimbangi berbagai konten pesan yang begitu majemuk dari “A” sampai “Z”. Jika ada pesan-pesan ekstrem dan radikal, baik yang kekanan-kananan maupun kekiri-kirian, adakah narasi alternatif dari pesan-pesan dakwah Muhammadiyah di dunia digital saat ini?
Komunitas Digital
Masyarakat generasi millenial umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital, sehingga lahirlah komunitas digital atau komunitas virtual. Yakni suatu komunitas yang memiliki karakter khusus selain hidup memakai dan tidak lepas dari teknologi informasi yang serba digital, hubungan sosial melalui media sosial yang masif, serta mengalami proses digitalisasi yang luar biasa.
Komunitas virtual atau digital itu heterogen, mereka bergabung dalam “jamaah” Facebookers, Tweeters, Bloggers, Monitor (pendengar radio), Online News, Sineas, dan lain-lain. Kondisi ekonomi kelompok ini sangat variatif dari yang berpenghasilan rendah, sedang, sampai tnggi. Orientasi politiknya dinamis; bahkan menjadi kekuatan baru dalam dunia perpolitkan seperti dalam Pemilihan Presiden dan berbagai kepentngan politk lainnya. Komunitas ini secara budaya segmental; artinya terpolarisasasi dalam beragam orientasi kolektf, pola relasi, dan sistem pengetahuan yang majemuk serta gampang sekali berubah. Orientasi sosial komunitas virtual atau digital itu eksklusif, yang cenderung berada dalam “dunia” sendiri, tdak jarang memiliki sikap fanatk sosial tertentu. Sedangkan dalam hal orientasi keagamaannya heterogen, baik yang berafliasi pada agama tertentu, lebih cair lagi di antara mereka tdak sedikit yang mengedapankan orientasi spiritual yang bersifat “lintas” yang jika dibiarkan lepas akan cenderung “anti-agama” atau “spiritualitas tanpa agama” (PP Muhammadiyah, 2015).
Masyarakat yang tergitilasisasi akan menjadi komunitas yang tercerabut alam pikiran dan budaya aselinya dan digantikan dengan budaya baru serba mesin-digital yan* maya. Hubungan sosial mereka laksana mesin dan bersifat impersonal, kehilangan peronalitasnya selaku manusia yang memiliki rasa dan hati. Dua orang dapat duduk bersama di satu tempat berjam-jam lamanya tetapi satu sama lain tidak saling komunikasi karena asyik berkomunikasi dengan pihak lain (the other) di seberang sana melalui media maya yang digenggamnya. Inilah fenomena “chaos” dan “disrupsi” dalam masyarakat digital.
Francis Fukuyama (2000) menyebut meluasnya fenomena “disrupi” (kekacauan) dalam bentuk “the great disruption” dalam kehidupan masyarakat modern yang terdigitalisasi secara masif. Yakni suatu guncangan besar-besaran dalam kehidupan masyarakat modern yang ditandai antara lain kejahatan dan gangguan sosial yang meningkat, melemahnya keberadaan keluarga, menurunnya pernikahan disertai meningkatnya perceraian dan anak-anak di luar nikah, dan berbagai kekacuan dalam tatanan sosial masyarakat.
Masyarakat virtual atau digital di era modern juga mengalami “chaos” atau masalah ketepecahan kepribadian dan liar. “Chaos” menurut Peter L Berger (1969, 1991) yaitu ketika manusia modern itu mengalami banyak problem kejiwaan sehingga terlibat dalam perilaku ironi sebagaimana perangai orang-orang di media sosial saat ini yang serba aneh-aneh dan ekstrema seperti sifat kekanak-kanakkan (senang bermain-main), mudah marah dan menghujat satu sama lain, gampang berseteru, dan mudah menyeba4 hoax.
Model Alternatif
Mengemban misi dakwah pencerahan di zaman milenial sungguh berat agenda dan tantangannya. Di satu pihak menjalankan dakwah dalam keadaan atau zaman normal saja sungguh tidak mudah karena memerlukan reorientasi atau bahkan transformasi pemikiran tentang dakwah dan aplikasi atau aktualisasinya dalam kehidupan, yang memerlukan “ijtihad” atau “tajdid” dalam berdakwah. Di pihak lain, menjalankan misi dakwah pencerahan di zaman milenial lebih menantang karena harus hadir di zaman baru yang berbeda jauh dari zaman sebelumnya, yakni zaman ketika masyarakat dengan orientasi kebudayaannya serba menggunakan teknologi informasi yang canggih yang berpengaruh dalam pola pikir dan sikap-tindaknya sebagai “insan digital” dari “generasi milenial”.
Dalam perspektf dakwah sebagaimana disebutkan pada “Dakwah Komunutas Virtual” hasil Muktamar ke-47, bahwa kehidupan dunia maya secara umum dan media sosial secara khusus merupakan realitas baru yang belum banyak digarap oleh Muhammadiyah. Padahal segmen ini merupakan wilayah yang bukan hanya sangat potensial karena telah memiliki komunitas yang banyak anggotanya, melainkan juga strategis karena ke depan kehidupan masyarakat akan semakin tergantung kepada teknologi informasi dan komunitas dunia maya. Muhammadiyah memang sudah banyak menggunakan teknologi modern, termasuk media sosial (situs web, facebook, WhatsApp group, dan lain-lain), untuk melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi dakwah, namun intensitas dan kapasitasnya masih terbilang rendah dibandingkan dengan komunitas yang harus dijangkau. Dalam hal ini Muhammadiyah masih tertnggal beberapa langkah dari sejumlah organisasi dakwah lain yang sangat aktf berkomunikasi dan berinteraksi dengan publik yang menggunakan media sosial.
Muhammadiyah perlu semakin terlibat proaktf dan sistemats dalam melakukan dakwah pada komunitas media sosial dengan dua tujuan pokok. Pertama, sebagai media komunikasi, yaitu untuk mempertahankan hubungan dan penyampaian pesan dakwah kepada umat dan warga persyarikatan yang semakin hari semakin banyak memanfaatkan media sosial. Kedua, sebagai upaya memberikan warna dakwah ke dalam interksi media sosial yang cenderung lebih banyak berisi aktvitas untuk mengisi waktu luang (trivial activites) dan beresiko membawa dampak sosial sepert pertengkaran, penipuan, perselingkuhan, hingga perkelahian dan pembunuhan. Ketiga, terlibat dalam eksperimentasi penemuan dan penciptaan komunitas dunia maya alternatif yang lebih bertanggungajwab, bermoral dan Islami sesuai dengan cita-cita Muhammadiyah menuju tewujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (PP Muhammadiyah, 2015).
Dakwah di era minileal dan digital memerlukan konten, pensekatan, dan metode yang bersifat alternatif dalam perspektif “al-dakwah al-badilah” yang bersifat mencerahkan. Ketika banyak isi, model, dan cara hidup orang di era digital betul-betul baru dan nokonvensional maka dakwah Islam pun harus hadir dengan isi, pikiran, dan cara yang baru yang sesuai dan mampu memenuhi tuntutan masyarakat digital. Termasuk memenuhi kebutuhan spiritual, moral, dan orientasi hidup generasi baru yang lahir sejak era 1980an yang disebut generasi “Y” dan “Z” yang kehidupannya serbadigital dan mengalami digitalisasi yang masif. Dakwah dan tabligh untuk generasi baru tersebut tudak dapat dilakukan dengan cara dan model yang “jadul” atau kadaluwarsa tetapi harus baru, keren, dan bersifat alterrnatif yang menarik.
Model dakwah digital alternatif perlu dirumuskan Muhammadiyah dengan melibatkan Majelis Tarjih, Tabligh, Pustaka Informasi, dan institusi terkait lainnya secara simultan dan masif. Kontens Islam berkemajuan yang membawa pesan damai, tengahan, keadaban, dan nilai-nilai kemajuan perlu dihadirkan di media sosial dan berbagai media digital secara menarik dan berkualitas terbaik. Ketika dunia digital serba instrumental dan ada yang membawa pesan-pesan eksrrem, keras, dan radikal maka Muhammadiyah harus menyajikan pesan-pesan Islam wasthiyah-berkemajuan yang unggul. Mobilisasi para penulis dan mubaligh digital yang cerdas, moderat, dan hadir sebagai syuhada ‘ala-naas yang terbaik. Di sinilah pentingnya Pusat Informasi Muhammadiyah Berkemajuan serba-digital yang canggih, representatif, dan unggul untuk menghadirkan dakwah digital yang terbaik di zaman milenial!
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Bingkai” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 14 tahun 2018