Era baru teknologi informasi telah melahirkan masyarakat virtual. Sebuah perubahan dari citizenship ke netizenship. Mereka berhimpun atas dasar kesamaan ide, gagasan, persepsi, kepentingan dan kecenderungan. Masyarakat berbasis patembayan yang menjalin relasi impersonal ini saling merebut ruang sosial baru.
Inilah dunia maya. Maya tetapi sekaligus nyata, sebagai realitas buatan yang sering meninabobo. Riset PPIM UIN Jakarta menemukan fakta bahwa generasi Z menghabiskan waktu 3-5 jam untuk berselancar di dunia digital. Demikian juga mayoritas generasi Y dan sebagian besar generasi X. “Medsos menjadi sumber utama untuk belajar, bergembira, berelaksasi, menghilangkan kesepian dan menjadi sarana rapat organisasi dan menyebarkan ide pencerahan,” tutur Alimatul Qibtiyah, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menurut Fahd Pahdepie, peraih UMY Alumni Award 2018, saat ini ada sekitar 40 persen penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun. Mereka umumnya aktif di media sosial. Sehingga wajar jika kemudian, merekalah yang mengendalikan ruang publik melalui narasi-narasi besar yang mempengaruhi narasi gerak dinamika bangsa.
Adalah mereka yang bisa membangun narasi akan menjadi influencer. Konsistensi ide, kecemerlangan gagasan, kreativitas dalam membungkus dan menyebarluaskan pemikiran menjadi kunci. Jika tampilan Website, Instagram, Facebook, Twitter, terlihat menarik dan keren, generasi milenial akan ikut serta. Dalam dunia digital, kharisma tidak menjadi penting. Atribusi dan latar belakang tidak menjadi soal. Generasi milenial cenderung menilai sesuatu dengan daya imaji visual. Yang pertama mereka lihat adalah tampilan atau visualnya.
Menurut direktur Pascasarjana IAIN Salatiga Zakiyuddin Baidhawi, internet dapat menarik keterlibatan semua orang tanpa otoritas keagamaan tertentu untuk membincang wacana keagamaan demi kebutuhan dan tuntutan masyarakat siber. Kebutuhan masyarakat virtual adalah terkait dengan kegersangan spiritual, tuntutan pada panduan instan, hingga aktualisasi diri. Kondisi ini dipahami betul oleh para ustaz medsos untuk kemudian menawarkan narasi agama yang minimalis dan praktis.
Narasi dalam ruang komunikasi meliputi unsur ide, nilai dan persepsi. Laporan Lembaga Kajian Syamina menunjukkan bahwa narasi yang dibangun pada akhirnya akan mengekspresikan sense of identity dan sense of belonging serta mengomunikasikan sense atas alasan, tujuan dan misi bersama. Gerakan 212 sebagai misal pembentukan ikatan virtual. “Gerakan 212 merupakan wujud dari pemanfaatan internet untuk menarik banyak pengikut dan mempersuasi mereka untuk isu tertentu, menciptakan wacana publik yang tidak tradisional dan lebih fleksibel, lebih mudah dipasarkan, dan berorientasi memperbesar pengikut dan kepedulian,” kata Zakiyuddin.
Dunia digital diibaratkan panggung gegap gempita. Semua orang bisa menjadi pemain. Sifatnya penuh kejutan, kesegeraan, dan keseketikaan. Khalayak akan menilai performa para pemain. Mereka yang mampu menampilkan sebuah performa menarik akan beruntung untuk kemudian mendapatkan sorak tepuk tangan, fans, dan bahkan buzzer setia. Sebaliknya, mereka yang tidak mau tampil, atau yang tampil tetapi performanya tidak menarik, maka dia harus bersiap untuk dipersekusi dan tidak dilirik.
Lalu, apa yang menjadi kriteria menarik dan tidak menarik? Tidak ada kriteria pasti. Tetapi sekali lagi, sesuatu dipandang menarik di media sosial adalah berupa hal yang dikatakan menarik oleh aktor yang sudah kredibel dan punya banyak pengikut. Sebaliknya, jika sang influencer mengatakan tidak menarik, maka bersiap-siap, netizen pun biasanya akan sami’na wa ata’na. Bahasa kekiniannya, sebagaimana dikatakan Alimatul Qibtiyah, legitimasinya adalah endorse. Maka, endorsement kini menjadi ajang bisnis baru. Sebuah postingan iklan endorse di akun influencer bisa berbayar puluhan juta.
Awal mula untuk menjadi aktor yang bisa mempengaruhi netizen harus melalui serangkaian proses pembentukan citra dan narasi cerita. Hal ini menjadi penting, terlebih di tengah kecenderungan masyarakat virtual yang serba dangkal dan menyisakan kegersangan dalam perenungan mendalam. Mereka mudah terbius dengan citra dan narasi cerita yang dibangun dengan mengesankan. Sebaliknya, gagasan menawan dengan gaya narasi yang biasa saja, tidak akan mengundang kesan.
Netizen dijejali beragam wajah dan tafsir agama. Ada yang berwajah santun, kasar, pemarah, ramah, berorientasi masa lalu, hingga sekuler. Namun, penelitian pakar komunikasi UIN Sunan Kalijaga Iswandi Syahputra, menyatakan bahwa kontestasi wacana agama di dunia digital didominasi oleh yang berwajah cenderung radikal. Meski hanya arus kecil, mereka sangat vokal. Narasi Islam Berkemajuan belum menunjukkan performanya.
Sekarang saatnya, Muhammadiyah menghadirkan kesalehan digital dengan wujud dakwah komunitas virtual. Jika tidak, Muhammadiyah akan menjadi terasing dari kehidupan era revolusi 4.0. Seabad yang lalu Muhammadiyah juga dianggap asing, tetapi dalam arti positif karena kepeloporan dan pemikiran yang melampaui zamannya. Demikian dikatakan Abdul Munir Mulkhan, guru besar emiritus UMS.
Kita bisa belajar dari komunitas GNFI (Good News From Indonesia), sebuah patembayan yang berkomitmen pada penyebaran konten positif dan menginspirasi tentang Indonesia. Kabar baik yang disampaikan merupakan himpunan berbagai sumber dan olahan menjadi sebuah produk konten kreatif yang memikat.
Dalam pandangan Ketua MEK PP Muhammadiyah M. Najikh, Muhammadiyah harus segera berbenah. “Gagal membaca perubahan, gagal menghubungkan diri dari jejaring teknologi dan support di luar, bahkan gagal meremajakan diri, maka akan bermuara pada kekakuan, terkunci di masa lalu, sulit bergerak dan selalu dalam situasi penuh ancaman,” ungkapnya. Mereka yang dalam kondisi terancam menjadi tidak percaya diri dan selalu mencari kebanggaan pada romantisme masa lalu untuk mengukuhkan eksistensinya. Postingan netizen jenis ini isinya didominasi pujian pada diri dan kelompoknya serta cacian pada liyan dan mereka yang berseberangan.
Ummatan wasathan dan syuhada ala al-nas yang menjadi pegangan Muhammadiyah sebenarnya relevan dengan dakwah era digital. Ummatan wasathan mengharuskan untuk berada di tengah dan unggul, sehingga dengan performa tersebut, Muhammadiyah dilirik dan narasinya diterima publik. Konsepsi syuhada ala al-nas meniscayakan supaya Muhammadiyah memiliki narasi menarik yang menjadikan netizen menyaksikan. Netizen akan menyaksikan dan mempersaksikan apabila disuguhi dakwah yang memikat. Dalam uraian Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas, dakwah bagi Muhammadiyah adalah dalam rangka memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik di semua situasi yang berubah, dilakukan dengan persuasif, bukan memaksa.
Di era media baru ini, dibutuhkan aktor-aktor yang bisa berkolaborasi menawarkan narasi alternatif dengan konten menarik, menjembatani ragam latar belakang, berakhlak mulia dan berkepribadian Muhammadiyah. Tak lupa, membangun kultur ruang virtual yang menumbuhkan kesadaran kritis para netizen, sehingga arif dalam memilah narasi di tengah zaman berlimpahnya informasi. (Muhammad Ridha Basri)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Sajian Utama” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 14 tahun 2018