Tata Nilai yang Jungkir Balik

Tata Nilai yang Jungkir Balik

Dulu gak ada aspal Gus di padang pasir.Wahyu pertama tentang shalat jum’at jga saat Rasulullah hijrah ke madinah. Bid’ah ndasmu!

“Mana Tabayyunmu, dasar orang ACD (edited)!” Kedua kalimat ini muncul di media sosial dan ditujukan kepada dua orang ulama besar yang yang berbada, yang dihormati banyak orang.

Perbedaan pendapat apalagi dalam permasalahan dukung-mendukung aspirasi politik adalah hal yang wajar. Semua orang bebas untuk mendukung atau menolak tokoh idolanya menduduki jabatan politik tertentu. Sejak NKRI belum berdiri, perbedaan pendapat tentang hal itu sudah biasa terjadi.

Namun, ketika seseorang sampai mengeluarkan kata makian kepada orang-orang tua yang cukup terhormat di ruang publik dengan jangkauan yang tidak terbatas, tampaknya baru terjadi di zaman sekarang. Di era revolusi teknologi informasi ini.

Revolusi teknologi informasi atau revolusi 4.10 memang menimbulkan kegagapan budaya. Hampir semua bangsa mengalami hal itu. Media sosial yang merupakan bagian kecil dari gatra revolusi 4.10, dapat dikatakan matra yang paling mengubah tatanan budaya saat ini.

Generasi yang lahir sebelum tahun 1980-an banyak yang mempunyai buku harian. Saat tumbuh di usia remaja,mereka rajin menulis semua curahan hatinya di buku harian itu. Buku harian itu tersimpan rapi bahkan tergembok. Mereka akan marah kepada siapapun yang membaca buku itu.

Namun, hadirnya media sosial tatanan itu berubah. Banyak anak remaja juga orang dewasa yang setiap hari menumpahkan suasana hatinya di seluruh media sosial yang mereka punya. Berbeda dengan dahulu, remaja zaman sekarang banyak yang akan merasa sedih kalau teman-temannya tidak mau membaca atau menanggapi catatannya itu.

Fakta dari dunia media sosial yang seperti itu secara tidak langsung meunjukkan watak dasar manusia. Yakni haus akan pengakuan dan perhatian, dan media  sosial memang disdain untuk menjawab semua dahaga itu secara cepat.

Oleh karena itu tidak mengherankankan kalau saat ini, seperti yang disampaikan Presiden Jokowi saat Puncak Peringatan HPN 2017, 9 Februari 2017, “Sekarang semuanya main medsos, masyarakat, Bupati, walikota, Gubernur, Menteri, Presiden semunya main medsos. Ada yang ngetwit, ada yang senang main istagram, ada yang senang main path, ada yang senang main facebook. Semua gandrung media sosial”.

Pernyatan Jokowi tentang kegandrungan masyarakat Indonesia pada media media sosial ini linear dengan data Usman Yatim yang dikutip akademisi UIN Sunan kalijaga Yogyakarta, Dr Muhammad Soehada yang menyatakan pada tahun 2017 di Indonesia ada ada sekiar 129,2 juta akun medsos aktif yang rata-rata menghabiskan waktu sekiyar 8 jam per hari untuk online. Dari beberapa rujukan yang dikutip Soehada juga menyatakan kalau 44, 30% pengguna medsos menerima kabar hoax setiap hari.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Menteri komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Saat menjadi pembicara dalam Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang bertema “Dakwah Pencerahan Zaman Milenial”, di Kampus Terpadu UMY, (24/5/2018) Rudiantara menyatakan kalau pada tahun 2017 ada sekitar 143 juta orang penggunaa internet yang aksesnya melalui ponsel, yang otomatis sangat dekat kebiasaan mengakses media sosial, media online, dan instant messenger seperti facebook, WhatsApp, dan lainnya.

Tentang penguna medsos di Indonesia Rudiantara mengklifikasinya menjadi 3 tipe. Merekayang bermedsos untuk mencari teman, mencari berkah dengan berjualan online, dan mereka yang mencari masalah masalah dengan menebar pesan-pesan palsu yang yang dapat menimbulkan perpecahan.

Pengguna medos tipe ketiga inilah yang bisa disebut sebagai korban dari revolusi informasi ini. Pada saat mental dan intelektual sebagian masyarakat Indonesia belum siap sepenuhnya memasuki abad digital mereka mengalami kekacauan budaya.

Banyak penelitian yang menunjukan kegandrungan pada media sosial ini mempengaruhi kesehatan jiwa masyarakat. Kebiasaan berlomba membagikan moment yang menyenangkan memicu orang lain untuk  merasa iri, curiga, hingga ketakutan. Mereka yang merasa telah dan akan kalah dibandingkan orang lain akan memicu depresi pribadi dengan respons yang beragam. Ada yang mengejar kekalahan dan kekhwatiranya dengan  menyebar kabar bohong, fitnah, dan tudingan yang tidak mendasar.

Oleh karena gaya komunikasi yang terjalin di media sosial tidak dilakukan secara langsung mejadikan para penggunanya lebih leluasa dalam menyalurkan ekspresinya. Termasuk dalam menyalurkan berbagai ekspresi depresinya tersebut. Jadi tidak terlalu mengherankan apabila ada seorang pemuda yang cukup terdidik memaki ulama besar hanya karena merasa kepentingannya terganggu oleh sikap sang ulama. Atau seorang tokoh agama yang tanpa merasa bersalah ikut menyebarkan meme yan dibuat mengolok-olok tokoh lain di satu group instant messenger.

Sementara itu, Pakar komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Taufiqur Rahman Ph D juga mengingtakan adanya algorithmic enclave dalam bangunan media sosial yang secara tidak langung menggiring komunitasnya untuk berkelompok sesuai kepentingan. Dari sini akan memunculkan terjadinya alienasi sosial karena munculnya tendensi yang kuat untuk meyaring informasi secara selektif yang tidak memungkinkan masuknya informasi dan opini yang bertentangan dengan pandangan sebagian besar anggota jaringan tersebut.

Fenomena ini dapat kita lihat di group-group instant messenger semisal grous WhatsApp. Di groups itu akan memuculkan kecenderungan hanya informasi yang sesuai kepentingan mayoritas anggota group saja yang dianggap benar. Ketika ada berita bohong atau pendapat sesat namun menguntungkan bagi kepentingan mayoritas anggota, informasi itu cenderung akan dibiarkan tanpa pelurusan. Kalau ada yang mencoba meluruskan, pelaku pelurusan itu akan dikeroyok beramai-ramai.

Dalam jangka panjang, budaya seperti ini akan menggerus keadaban manusia dan bahkan menjungkirbalikan nilai-nilai kebenaran dan kebathilan. Kebenaran tidak akan lagi dimaknai sebagai lawan dari kebatilan tetapi kebenaran hanya akan dimaknai sebagai sahabat dari kepentingan. [ima, gsh, basri, qiqi]


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Sajian Utama” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 13 tahun 2018

Exit mobile version