Cerpen karya Nonodiono Wahyudi
Adalah Mas Joko Radaup. Lelaki kurus yang tidak beranak istri dan memiliki nama asli Joko Samaran bin Sukarto ini tersohor pandai bergaul. Dengan keahliannya dalam mengolah kata-kata, siapa saja bisa terpengaruh dan terseret oleh kemauan hati dan jalan pikirannya. Dalam hidupnya ia selalu memiliki sahabat kenthel, namun tak satupun yang bisa bertahan lama. Bukan lantaran perbedaan pendapat atau perselisihan, namun lantaran sifat anehnya yang terkadang tiba-tiba saja muncul. Lelaki bujang ini dengan begitu saja merasa bisa muak dan sebal terhadap sepak terjang keseharian sahabatnya itu. Maka dengan alasan yang tidak jelas dan tidak bisa dimengerti meskipun oleh dirinya sendiri, tiba-tiba saja ia kemudian ingin menjauh dan bahkan menyingkirkannya. Dan cepat-cepat pula ia mencari teman curhat baru. Dialah satu-satunya orang yang bisa bergaul luwes dengan ibu-ibu kampung santri pinggiran kota itu. Walaupun lelaki yang tak bisa baca Al-Qur’an ini pandai menghasut dan memfitnah dengan halus, tokh kelebihan ini jarang disadari oleh orang-orang yang mengenalnya.
Di dalam ketakmiran, lelaki bertampang ikan lohan ini sebagai penyedia dan pemelihara peralatan masjid. Ditemani Nasirun Jazid dan Bahrun sebagai pembantunya. Walaupun ketiga pengurus ini tidak bisa akrab, tapi pada saat-saat tertentu bisa memiliki pendapat yang sama. Karena memiliki sifat yang hampir tak berbeda. Siapa saja yang tidak bisa berbaik-baik dengannya atau dipandang memuakkan sepak terjangnya menurut ukuran mereka, bakal menerima akibatnya. Yaitu dikucilkan dari pergaulan minimal di lingkungan masjid. Di dalam forum-forum rapat kedua pegurus ini mlempem atau tidak bisa bicara untuk mengutarakan pendapat. Namun di luar ruang, terutama Mas Joko, sangat pandai memutarbalikkan fakta, membelokkan pandangan umum dengan argumentasi yang dimilikinya.
Seperti saat ini. Ketika matahari mulai memerah di langit timur. Selepas shalat Shubuh di masjid Ar-Rakhman yang tak jauh dari rumahnya, Mas Joko Radaup dan Nasirun nampak tengah berbincang lesehan dengan Ketua Takmir di utara serambi. Ketua takmir yang gendut bongsor itu sebentar-sebentar nampak manggut-manggut sambil mengerutkan kedua alisnya seperti tengah membenarkan pendapat lawan bicaranya.
“… tapi maaf …. Ini saya hanya menyampaikan pendapat teman-teman pengurus dan jamaah lho.” Begitu kata Mas Joko Radaup meyakinkan ucapannya, menyembunyikan kebohongannya. “Daripada semakin nglunjak,“ sambungnya
“Baik … kalau memang begitu ya, kita ganti saja.“ Begitu jawab Ketua Takmir yang memang jarang berada di masjid lantaran kesibukan di warung baksonya.
Dan tidak pakai waktu lama ustadz Faruk yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Mas Joko itupun tidak lagi menjadi imam shalat maghrib di masjid itu. Bahkan jadwal ceramahnya pun telah diisi oleh ustadz-ustadz dari tetangga kampung.
“Ya, sudah ndak usah jadi imam. Jadi makmum juga dapat pahala.“ Begitu sambut isterinya ketika ustadz Faruk bicara padanya. “Tidak jadi penceramah juga ndak apa-apa, kan? Jadi jamaah saja.“
“Cuma cara mereka yang kurang etis. Dulu waktu meminta saya jadi penceramah setiap Rabu Legi sehabis Shubuh pakai kulonuwun. Sekarang tanpa basa-basi telah diganti dengan orang lain ….” Begitu keluh ustadz Faruk pelan dan terkesan sabar menerima. Percakapan itupun diakhiri dengan terdengarnya suara adzan Isya’ dari masjid. Mereka berdua segera berangkat ke masjid.
Pagi-pagi sekali tokoh kita ini sudah mengeluarkan sepeda gunungnya. Sesampai di jalan aspal ia genjot sepedanya menuju arah selatan sendirian. Seperti hari-hari yang lain ia tampak tersenyum-senyum sendiri. Sesampai di persawahan ia genjot sepeda onthelnya kencang sekali. Dan semakin kencang sambil tertawa terbahak-bahak membelah lautan padi yang hijau menguning. Ia sedang gembira sekali memang. Karena merasa telah berhasil memporakporandakan group kasidah ibu-ibu arisan di kampungnya. Bukan saja lantaran karena lelaki bujang lapuk ini memang tidak suka mendengar musik maupun lagu. Namun lebih dikarenakan si pendiri group kasidah yang bernama Niken Suprapto itu dulu pernah diincar dan digandrunginya. Namun gayung tidak bersambut alias bertepuk sebelah tangan. Kini janda langsing beranak satu itu nampak sering berdekatan dengan sang pelatih kasidah, mas Asmorono Yudistiro. Dengan keahlian yang ia miliki tokoh kita ini bisa menghembuskan isu-isu negatif tentang keberadaan keduanya. Mungkin karena merasa risi antara percaya dan tidak tentang isu santer yang menggelitik telinga mereka. Satu persatu personil group itupun mulai malas-malasan latihan. Tidak hanya itu antara pemain dan pelatih diadu domba. Akibatnya sang pelatih yang bukan warga kampung tersebut mulai jarang datang. Akhirnya group kasidah yang hampir berkibar itupun surut membeku. Bahkan hilang dari peredaran.
Adu domba, meneliti kekurangan orang lain dan menghasut memang keahlian ganjil yang digemarinya. Dan ia selalu akan merasa puas sepuas-puasnya setelah mengetahui mangsanya tersakiti. Demikianlah Mas Joko masih asyik dengan sepedanya yang semakin kencang bergoyang di atas aspal. Dan baru berhenti setelah ban depannya meletus. Ia tersungkur meringis kesakitan di pinggir sawah.
Keganjilan sifat Mas Joko bin Sukarto mulai menguak menjadi pembicaraan. Satu-satu mereka yang merasa menjadi korbannya yang jumlahnya dua puluh satu orang ini berkumpul di halaman masjid. “Kalau memusuhi kita dengan terus terang berani menunjukkan muka dan pasang badan namanya gentlemen, jantan, dan sportif. Dan memang fakta yang ia kemukakan. Tapi mas Joko ini hanya klecam-klecem melempar batu sembunyi tangan.” Begitu umpatan salah seorang dari mereka.
Merasa mendapati keanehan pandangan mata orang di sekitarnya tokoh kita ini mulai menyadari kesendiriannya. Dengan tekad bulat ia membawa luka mengasingkan diri di rumah saudara sepupunya jauh di ujung desa. Bulan puasa yang biasanya ia sibuk menangani takjilan kini hanya menjadi sebuah kerinduan yang semakin jauh. Ia lebih banyak merenung dan jarang sekali berbicara. Dan kabar terakhir yang sampai ke kampung santri di mana Mas Joko dibesarkan bahwa, telah diusirnya tokoh kita ini dari desa tersebut lantaran tertangkap basah telah mengganggu gadis belia sebelas tahun di dekat belik kali Bayem, menjelang Maghrib.
Sore yang dingin Mas Joko Radaup bin Sukarto nampak menapaki jalan tanah meninggalkan desa itu. Rombongan mendung di langit berarak pergi berlawanan dengan arah jalannya. Genangan air hujan tadi siang menyisakan rasa kekes dan nglangut. Lelaki yang dikenal ramah itu kini hanya bisa tertunduk suntuk menapaki jalan berniat pulang ke kampung halamannya. Ia ingin menengok rumahnya. Kini ia merasa kepalanya berat sebelah dan langkahnya semakin tersendat. Iapun berhenti, istirahat di emperan balai desa yang sepi. Dan tertidur di situ. Di dalam tidurnya ia bermimpi menangis di pangkuan almarhum ibunya. Tetes air hangat dari pipi yang keriput itu menetes satu-satu bercampur dengan air matanya.
Jam dua belas tengah malam ia terbangun. Ditandai dengan suara burung hantu yang sedang mengintimidasi kelelawar yang beterbangan di sekitar pohon sawo kecik. Tokoh kita mengucek matanya. Pusing di kepalanya sudah berkurang. Ada sedikit kekuatan mendorongnya untuk bangkit melangkah. Setetes air bening membasahi hatinya yang hitam. Ia ingin bertaubat atas dosa-dosanya.
Di pinggiran desa ia melihat sebuah surau yang terang lampu di dalamnya dan gelap di luarnya. Surau itu berbentuk panggung dari gebyok kayu jati. Setapak demi setapak ia pelan mendekati dengan hati galau. Terdengar suara orang mengaji dari dalam surau itu. Di dekat tangga ia menghentikan langkahnya. Sejenak ia termangu ragu ingin menaikinya. Namun berkat tekadnya ia mengangkat kakinya menaiki satu tangga. Suara mengaji itu berhenti. Dengan hati-hati ia naiki setingkat lagi. Tapi ada suara parau orangtua dari dalam surau menciutkan nyalinya.
“Berhenti!!! Jangan masuk. Surau ini tidak menerima orang kotor.“ Begitu suara berwibawa Eyang Kiyai dari dalam. Tokoh kita bergetar hatinya dan gemetaran tubuhnya.
“Saya ingin taubat.“
“Silahkan pergi. Jangan lagi datang sebelum mengenali jati dirimu sendiri.“ Sambungnya lebih mantab.
Dengan masih gemetaran Mas Joko Radaup turun dari tangga lalu dengan sekuat tenaga ia berlari kencang sekali menjauh sambil berteriak keras sekali. “Hooooooaaaaahhhhh.“ Dan menghilang di tengah kegelapan kebun jati.
Di masjid di kampung halamannya yang megah ia mendengar suara iqamat dari muadzin menandakan shalat Shubuh sudah mulai berdiri. Mas Joko mengambil air wudhlu Lalu dengan perasaan sedikit gamang ia masuki pintu masjid. Ada lima shaf panjang yang berderet memenuhi hampir setengah ruangan masjid. Di bawah cahaya lampu yang terang benderang ia ambil shaf paling belakang di ujung kanan. Suara imam membaca surat Al-Fatihah disambung surat Al-Falaq terdengar merdu sekali. Ia tahu telah tertinggal satu rakaat. Selesai shalat ia berdoa dan berdzikir lama sekali, khusuk sekali. Lalu menangis sesenggukan dengan luka hati yang terus menganga. Sementara sinar matahari telah menyiram halaman masjid. Seorang penjaga masjid nampak mendekati. Sejenak memperhatikan lalu pergi dengan begitu saja.
Menjelang tengah hari beberapa tetangga laki-perempuan tua-muda berkerumun di depan pintu rumah Mas Joko Radaup. Mereka tertarik dengan tulisan yang tertera di pintu rumahnya yang berbunyi: Mohon maaf atas kesombongan dan kesalahanku selama ini. Aku akan kembali setelah menemukan jati diriku sendiri. Ttd Joko Samaran bin Sukarto.
Yogyakarta, akhir Desember 2014
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Humaniora” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 3 tahun 2015