Kehilangan Arah

Oleh: Haedar Nashir

Nabi Ibrahim alaihissalam berdialog dengan ayahnya, sang pembuat patung berhala dan pengikut setia penguasa Namruz. Dalam Al-Quran Surat Maryam dari ayat ke-41 sampai ke-50 dikisahkan sebagai berikut. “Ceritakanlah wahai Hai Muhammad tentang kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?”

“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”. “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.”. “Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”.

“Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”.

“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi.”. “Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.”.

Demikian kisah Ibrahim dan ayahnya, sebagai pelajaran bagi insan beriman. Manusia sering kehilangan arah hidup ketika fitrah keimanannya salah jalan, dari yang semestinya bertambat pada tauhid hanya menyembah Allah dan tidak memyekutukan dengan apapun. Orang-orang terpandang seperti ayah Ibrahim dan raja Namruz pun kehilangan nalar sehatnya, sehingga terjerembab pada sesembahan selain Allah. Mereka menyembah benda mati, yang diciptakannya sendiri.

Kini manusia beriman hidup di zaman supermodern. Kemusyrikan lama masih banyak dipraktikkan seperti menganggap keramat orang yang mati karena semasa hidupnya dianggap wali atau tokoh yang hebat, sehingga selain mengkultusan, kuburannya pun menjadi tempat meminta-minta. Beragam tahayul juga masih banyak dipraktikkan, termasuk percaya pada dukun dan paranormal.

Bersamaan dengan itu kemusyrikan jenis baru pun berkembang dengan mekar. Pemujaan terhadap materi atau uang, tahta atau kedudukan, dan segala kesenangan duniawi yang membuat kehidupan menjadi salah arah dan salah kaprah pun menjadi lumrah. Insan modern yang  sekuler malah bangga menyatakan diri tidak percaya kepada Tuhan, menegasikan nilai-nilai agama, dan merasa diri serbadigdaya. Mereka congkak dengan kekayaan, pikiran, dan kedudukannya yang sesungguhnya semua fana.

Tugas dakwah yang meluruskan aqidah dan sikap hidup umat masih diperlukan untuk misi pencerahan, agar manusia tidak salah arah dan menemukan jalan kebenaran hakiki. Insan beriman harus lurus hubungannya dengan Tuhan (habluminallah), seraya baik pula dalam berhubungan dengan sesama insan (habluminannas) tanpa kemusyrikan dan sesat jalan. Mereka yang kehilangan arah diajak kembali ke jalan Allah dengan  cara-cara yang hikmah, edukasi, dan dialogis. Bukan dakwah dengan cara-cara yang kasar, vulgar, keras, dan menyesatkan.


Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Ibrah” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 4 tahun 2016

Exit mobile version