Muhammadiyah Harus Menjadi Penentu!

Muhammadiyah Harus Menjadi Penentu!

Buya Syafii berbincang dengan redaksi Suara Muhammadiyah, 2017 (Foto: dok sm)

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi massa terbesar, gerakannya dalam kehidupan bernegara saat ini hanya berperan sebagai pembantu. Padahal sebelum kemerdekaan dan di awal kemerdekaan, Muhammadiyah mampu berperan dan ikut menentukan arah negara melalui kader-kader negarawan terbaiknya. Peran itu dirasakan mulai memudar.

Untuk memperbincangkan hal ini, Suara Muhammadiyah mewawancarai Prof Dr H A Syafii Maarif atau yang lebih akrab dipanggil Buya Syafii. Guru bangsa ini menyarankan supaya Muhammadiyah jangan hanya berperan sebagai pembantu negara yang paling setia (melalui amal pendidikan, kesehatan, layanan sosial, hingga ekonomi), namun juga harus berkiprah sebagai penentu. Berikut ini wawancara yang dimuat di rubrik “Dialog” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 16 tahun 2016.

Buya pernah menyebut Muhammadiyah sebagai pembantu dan Muhammadiyah sebagai penentu. Apa maksudnya?

Sebagai pembantu negara, Muhammadiyah sangat setia untuk proses pencerahan otak dan hati bangsa Indonesia di ranah pendidikan dan pelayanan sosial. Bahkan kerja kemanusiaan itu telah dilakukan gerakan Islam berkemajuan ini jauh sebelum bangsa ini merdeka. Jaringan amal usahanya sungguh dahsyat, bertebaran di seluruh Nusantara. Belum tampak tanda-tanda akan surut, modal utamanya berasal dari kekuatan akar rumput dengan idealisme yang tak kunjung padam, demi pengabdian kepada Allah yang Maha Pemurah. Tetapi sepanjang perjalanan sejarahnya di atas satu abad, ketika berhadapan dengan masalah kemungkaran yang semakin masif mendera bangsa dan negara ini, Muhammadiyah tidak dapat berbuat apa-apa dalam posisinya sebagai pembantu negara.

Jangankan Muhammadiyah, negara sendiri pun sering lumpuh dibuatnya. Muhammadiyah memang sejak awal tidak dirancang untuk mengurus masalah politik kenegaraan. Pertanyaannya adalah: apakah dalam menapaki abad ke-2 dari kiprahnya di negeri ini, Muhammadiyah di samping melanjutkan sebagai pembantu juga turut sebagai penentu dalam merumuskan kebijakan negara agar bangsa ini tidak dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan kemungkaran? Tanggung jawab moral Muhammadiyah untuk menghalau kemungkaran ini adalah berdasarkan perintah agama yang dicantumkan dalam AD (Anggaran Dasar) Muhammadiyah sejak 1985 dalam Muktamar Surakarta.

Selama ini, peran utama  Muhammadiyah sebagai pembantu atau sebagai penentu?

Lebih sebagai pembantu. Untuk naik kelas sebagai penentu perlu difikirkan sebuah strategi yang cerdas dan mendalam dengan melibatkan PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) berdasarkan riset sosio-politik kebangsaan yang realistik. Tanpa riset yang mendalam, kita tidak mungkin mampu membaca peta kebangsaan secara benar dan akurat.

Mungkinkan di abad kedua usia Muhammadiyah dapat menjadi penentu?

Sangat mungkin, dengan syarat Muhammadiyah mau mempertajam  visi kebangsaannya dengan kesediaan mau menambah tanggung jawab moralnya, demi kebaikan hari depan bangsa dan negara yang tercinta ini.

Unsur atau syarat-syarat apa yang dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai penentu?

Kesiapan mengubah paradigma lama yang hanya sebagai pembantu, sekarang juga dalam posisi sebagai penentu politik kenegaraan tanpa kehilangan jati-diri sebagai gerakan Islam yang berkemajuan yang selalu berfikir kreatif dan dinamis.

Apa yang harus dilakukan Muhammadiyah untuk memenuhi syarat-syarat tersebut?

Muhammadiyah harus memahami peta keindonesiaan dari jarak yang sangat dekat. Adalah sebuah malapetaka sejarah karena banyak elite Indonesia yang tidak faham lagi pilar-pilar keindonesiaan karena buta sejarah. Akibatnya, mereka terputus dari urat tunggang  masa lampaunya, sesuatu yang sangat berbahaya karena orang akan dengan mudah menggadaikan tanahairnya kepada pihak asing atau agen domestiknya dengan harga murah. Sikap semacam ini tidak banyak bedanya dengan sikap mengundang penjajah baru dengan segala kelicikannya.

Apa pula yang menjadi penghalang untuk menjadi penentu ini?

Penghalang utama adalah sikap dan perasaan puas diri dengan segala apa yang telah dimiliki, seolah-olah tujuan utama telah tercapai. Padahal sebagaimana yang pernah saya sampaikan pada Sidang Tanwir di Denpasar, Januari 2003: “Jika bangsa ini tersungkur, Muhammadiyah pasti tersungkur pula.” Oleh sebab itu perasaan puas diri perlu diusir sejauh-jauhnya dari benak mereka yang menganut faham “Islam berkemajuan.”

Bagaimana mengatasi penghalang tersebut?

Bangun  tekad bulat dan kemauan keras untuk membela bangsa yang dihuni oleh mayoritas Muslim ini karena Muhammadiyah berada di barisan paling depan. Wawasan kebangsaan kita mestilah  seluas radius ribuan rangkaian kepulauan ini dengan kawalan “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” (eff)

Exit mobile version