YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta dikukuhkan pada Rabu, 9 Januari 2019. Di antara rangkaian prosesi pelantikan adalah kuliah umum yang disampaikan oleh sesepuh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif.
Dalam pemaparannya, Buya Syafii Maarif menyebut bahwa IMM yang didirikan pada 1964 merupakan sebuah harapan baru. Kelahirannya berkelindan dengan rencana pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di usianya saat ini, IMM dianggap sudah sangat matang dan dewasa.
Buya Syafii mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi IMM hari ini jauh lebih berat dibandingkan dengan generasi terdahulu. Namun, bukan berarti harus pesimis. Sebaliknya, tantangan ini harus memacu IMM untuk lebih mempersiapkan diri dan mengejar kualitas terbaik.
Di antara tantangan IMM hari ini adalah memasuki dunia yang disebut Tom Nichols sebagai era matinya kepakaran. Media sosial dikuasai oleh orang-orang yang tidak waras. Publik yang tidak kritis akan mudah percaya informasi apa pun. Realitas ini, kata Buya Syafii, “Selain era teknologi yang maju, juga era kedunguan.” Oleh karena ini, orang-orang yang waras diharapkan ikut tampil bicara.
Mengutip pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Kabinet Natsir dan Kabinet Wilopo: Bahder Djohan, Buya Syafii berpesan, “Curi waktu tidurmu untuk membaca!” Itulah satu-satunya jalan meningkatkan kualitas sumber daya umat Islam dan bangsa Indonesia. Dengan kualitas ini, IMM akan menjadi solusi.
“Saya berharap anak-anak muda IMM ini harus punya intelektual kelas satu. Harus rakus membaca. Pemikir itu jumlahnya tidak besar, tapi perlu. Kuasai bahasa asing: Arab, Inggris, Jepang. Itu bisa. Anda bisa. Saya sudah terlambat. Agus Salim menguasai 9 bahasa asing. Tan Malaka juga seperti itu,” tuturnya.
Buya Syafii mengingatkan bahwa IMM merupakan bagian kecil dari dunia. Cara berpikir dan wawasannya harus serba melampaui. “Yang hadir di sini merupakan bagian dari 1,6 miliar umat Islam di dunia hari ini. Jumlah kita besar, tapi peran kita masih jauh di belakang. Jangan salahkan orang lain. Salahkan diri sendiri,” ungkapnya.
Idealisme Qur’an yang menghendaki umat Islam sebagai khairu ummah, dalam pandangan Buya Syafii, justru mengalami kesenjangan dengan realitas hari ini. Qur’an itu memerlukan kualitas umat yang tinggi. Dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11 dikatakan, Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.
Buya Syafii menunjukkan realitas beberapa negara Muslim yang berada di ambang kehancuran. “Negara-negara Arab dilanda perang saudara. Indonesia ini relatif aman, meskipun ada banyak persoalan. Selain Indonesia, ada Turki yang diharapkan membawa obor perubahan. Tapi ternyata tidak bisa,” ulasnya.
Tidak hanya mengutuk kegelapan, Buya Syafii berharap generasi muda Muhammadiyah, terutama kader IMM bisa untuk mencari solusi bersama. “Saya berharap pada anak-anak muda ini, terlebih di zaman revolusi industri 4.0. Ini zaman Anda,” ujarnya.
“Muhammadiyah itu harus menjadi tenda besar. Wawasan kebangsaan dan wawasan keislaman harus luas. Dari sisi teologi, Islam itu satu. Tapi dari sisi ekspresi keagamaan, politik, kebudayaan, sosial, itu beragam. Tidak monolitik,” katanya. Wawasan ini dianggap penting sebagai landasan awal menjadi generasi yang memahami realitas dan peta dunia.
“Saya sering bertanya, apakah Islam yang ada di otak kita sudah benar belum? Kenapa kita kalah terus?” tanya Buya Syafii. Padahal, QS. Ali Imran ayat 104 dan 110 menyebut umat Islam dengan predikat khairu ummah, ummatan wasathan, dan syuhada ala al-nas. Yaitu umat pertengahan yang unggul dalam semua bidang. Dengan itu, dia dipersaksikan oleh umat lainnya sebagai teladan.
Buya Syafii menyatakan bahwa perubahan harus dijemput dengan usaha. “Dalam logika Qur’an, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum tersebut berinisiatif untuk berubah,” katanya sembari mengutip QS Ar-Rad ayat 11. Intervensi Tuhan datang ketika diundang.
Terakhir, Buya Syafii menitipkan pesan khusus. Menurutnya, IMM perlu melahirkan lebih banyak pemikir perempuan. “Intelektual perempuan perlu muncul lebih banyak di Muhammadiyah,” tukas Syafii Maarif yang juga anggota Dewan Etik MK. (ribas)
Baca juga:
Kultum Buya Syafii Maarif: Muhammadiyah Harus Memunculkan Dahlan-Dahlan Baru
Kultum Buya Syafii Maarif: Esensi Syariat adalah Tegaknya Keadilan