YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Nasib para nelayan di Indonesia belum bisa dikatakan dalam kondisi menggembirakan. Meskipun menyandang gelar sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang membentang dari ujung Sabang hingga Merauke, profesi nelayan belum menjadi pilihan. Selain rendahnya sumberdaya, faktor kebijakan pemerintah juga menjadi penyebab keprihatinan nasib nelayan. Oleh karena itu, dibutuhkan keberpihakan langsung melalui kebijakan yang pro nelayan.
Demikian antara lain yang disampaikan anggota Divisi Pertanian Terpadu Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, Suadi PhD, dalam forum diskusi rutin Dwi Mingguan pada Jum’at malam, 11 Januari 2019, di Gedoeng Moehammadijah, Ngampilan, Yogyakarta.
“Kita baru mampu berproduksi, tapi belum punya daya saing dalam pasar perikanan global. Tidak sebanding antara luas wilayah lautan Indonesia dengan produktivitas nelayannya. Hal ini juga karena tidak didukung infrastruktur yang memadai,” tuturnya. Padahal, dengan semua potensi yang dimiliki, laut Indonesia bisa menyumbang pendapatan dalam jumlah sangat besar.
Termasuk infrastruktur yang dimaksud Suadi adalah semisal terbatasnya kapal penangkap ikan hingga dermaga tempat merapatnya kapal berukuran besar. “Struktur kapal ikan yang timpang, rata-rata memiliki ukuran 4.5 GT 67% dan 5-10 GT 20%,” katanya. Padahal, ukuran kapal yang kecil menghambat para nelayan untuk memburu ikan-ikan berukuran besar yang berada di tengah laut Indonesia.
“Juga karena jarak antara tempat tangkap dan tempat produksi jauh,” ungkapnya. Suadi menyebut bahwa kebanyakan tempat pengolahan ikan berada di Pulau Jawa. Pabrik pengolahan ikan di luar Jawa masih tergolong minim, meskipun di wilayah tersebut terdapat banyak ekosistem ikan yang beragam.
Semua permasalahan nelayan itu membuat nelayan tidak berdaya. Terlebih ketika berhadapan dengan para pemilik modal besar. “Permasalahan nelayan lebih kompleks karena kelembagaan nelayan dan usaha yang lemah. Juga terkait management ekonomi. Ini menjadi sasaran bagi pemberdayaan untuk masuk dan membina,” ulasnya.
Suadi menyarankan supaya diadakan kebijakan kongkrit yang membantu nelayan untuk memberdayakan diri. Kebijakan itu harus melingkupi keseluruhan aktivitas nelayan. Mulai dari aspek hulu hingga hilir. Pemberian bantuan pada nelayan juga jangan hanya bersifat karikatif dan jangka pendek, lebih penting adalah membuat kebijakan yang mendorong dan menjamin nelayan bisa berdaya dan mandiri. (ribas/aan)