YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada mengadakan seminar dan sekaligus peluncuran buku Dua Menyemai Damai: Peran dan Konstribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi (2019), di Ruang Multimedia Balai Senat UGM, pada Kamis, 17 Januari 2019.
Buku yang ditulis oleh Muhammad Najib Azca, Hairus Salim, Moh Zaki Arrobi, Budi Asyhari, dan Ali Usman ini memberikan gambaran tentang capaian Islam Indonesia yang direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan NU dalam membangun dan mengukuhkan perdamaian dan demokrasi.
Direktur PSKP UGM Muhammad Najib Azca PhD, menjelaskan bahwa belakangan ini, narasi ruang sosial dipenuhi oleh kabar yang kurang menggembirakan. Padahal, Indonesia memiliki kekuatan civil society yang terus bergerak dalam karya-karya besar untuk perdamaian dan demokrasi. “Kita lupa punya kekayaan. Tercerai berai dan tidak sepenuhnya mengetahui apa yang kita miliki,” ujarnya.
Menurutnya, Muhammadiyah dan NU menjadi pilar Islam berperadaban yang memegang peranan penting dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi. “Peran-perannya luar biasa. Di tengah negara muslim lainnya banyak berkonflik Indonesia merepresentasikan sebagai perdamaian dan demokrasi,” tuturnya.
Organisasi ini memiliki kekuatan struktural dari pusat sampai ke ranting, selain juga sayap kultural yang kaya dan bertebaran di seluruh penjuru. Azca menyebut Islam Indonesia sebagai smiling face of islam in the world. Indonesia juga menjadi negara Muslim demokratis terbesar di dunia. Namun, belum menjadi representasi wajah Islam. “Otoritas dan legitimasi keagamaan masih melekat ke Arab. Ini tantangan kita untuk menjadikan Indonesia bisa menjadi representasi,” katanya.
Penulis buku, Muhammad Zaki Arrobi menjelaskan tentang beberapa peranan Muhammadiyah sebagai juru damai. “Muhammadiyah aktif mendorong reformasi damai dan mengawal transisi demokrasi berkeadaban. Suksesi nasional sudah dibahas di internal organisasi sejak tanwir 1993 di Surabaya,” ulasnya. Selanjutnya, para aktivis Muhammadiyah menghimpun diri dalam aliansi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang mengawal proses pemilu yang konstitusional dan demokratis.
Muhammadiyah, ulas Zaki, juga terlibat dalam resolusi konflik di era transisi demokrasi dengan membuat tim mediasi dalam pertikaian di Ambon, Poso, Papua, dan Aceh. Demikian halnya di ranah internasional melalui forum dialog dan konsolidasi. Di antaranya melalui World Peace Forum yang rutin diadakan oleh CDCC.
Misi perdamaian di Mindanao, Filipina juga dilakukan Muhammadiyah dengan membuat tim ad hoc, melakukan pemberdayaan ekonomi melalui pendirian BMT, hingga pemberian beasiswa penuh bagi korban konflik untuk berkuliah di beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
Melalui institusi pendidikan, ujar Zaki, Muhammadiyah juga menjadi juru damai. Melahirkan varian Kristen-Muhammadiyah (Krismuha). Banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia Timur yang peserta didiknya adalah umat kristiani. Muhammadiyah bahkan menyediakan guru beragama Krsiten untuk mengajar di institusi tersebut.
Menurut Zaki, misi perdamaian Muhammadiyah, belakangan juga tercermin melalui gerakan trisula baru: Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu), serta Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Gerakan filantropi ini melakukan misi kemanusiaan yang menembus batas SARA, bahkan hingga ke luar negeri.
Penulis lainnya, Ali Usman menyebut beberapa peranan NU dalam membela minoritas dan kampanye damai. Keberadaan situs web NU Online, misalnya, menjadi salah satu media penting dalam meredam narasi-narasi ekstremisme dan radikalisme agama. NU melalui Lazisnu-NU Care juga melakukan aksi kemanusiaan yang melintas batas.
Pengkaji Indonesia yang juga pengajar di Boston University, Prof Robert W Hefner menyebut bahwa peluncuran buku ini berada di momen yang tepat. Indonesia yang mayoritas beragama Islam Sunni ini sangat dikenal dan semakin sering dibicarakan oleh publik internasional.
“Peluncuran buku ini di tahun ke-20 setelah reformasi. Setelah suksesi kepemimpinan tahun 1998, ada beberapa kerusuhan dan konflik. Banyak yang mulanya skeptis, civil islam (Muhammadiyah dan NU) di mana,” tuturnya. Buku ini memberi jawaban bahwa Muhammadiyah dan NU terus melakukan sesuatu di tengah masyarakat dalam hal penerimaan pancasila dan demokrasi.
Menurutnya, Muhammadiyah dan NU menjadi akar kebangsaan. Demokrasi di Indonesia teruji. Ketika ada riak, selalu kembali ke landasan kebangsaan. Peran itu dilakukan oleh para tokoh ormas ini. “Sumbangan besar Muhammadiyah dan NU memberikan warna demokrasi bagi Indonesia,” katanya.
Robert Hefner menyebut bahwa reformasi pendidikan di Indonesia merupakan sumbangan besar Muhammadiyah pada awalnya. Termasuk mengawali pendidikan kaum perempuan melalui Sopo Tresno yang merupakan cikal bakal ‘Aisyiyah. Sejarah pendidikan di Indonesia merupakan bagian dari bangunan proyek kebangsaan.
Belakangan, Hefner melihat ada beberapa upaya yang terus dilakukan oleh Muhammadiyah dalam mengokohkan kewarganegaraan dan kebangsaan. Semisal yang dilakukan oleh beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah. “Pak Said Tuhuleley di UMY, sudah pernah menyusun buku kewarganegaraan yang sangat bagus, tapi tidak dilanjutkan karena tersendatnya dana,” ujarnya.
Guru besar Fisipol UGM, Prof Mohtar Mas’oed menyatakan bahwa buku Dua Menyemai Damai ini bisa menjadi dokumen penting untuk mendukung pengakuan Nobel Peace Prize bagi Muhammadiyah dan NU. “Buku ini cukup banyak berkisah tentang praktek menyakinkan dari kedua jam’iyah ini dalam memupuk peradaban dan menyemai bibit-bibit perdamaian,” katanya.
Namun, narasi atau cerita tentang bina damai yang digambarkan dalam buku ini masih kurang menyakinkan dari sisi empirik. “Kita perlu menunjukkan kapasitas behavioral dan institusional NU dan Muhammadiyah untuk menangani tantangan baru itu,” ujarnya.
Tantangan baru yang dimaksud Mohtar adalah berupa populisme demagog dan histeria politik. Ada apa dengan populisme? Apakah populisme adalah keliru. Mengapa kemudian banyak ‘orang baik’ di sekitar kita yang juga menjadi pengikut populisme. Di sinilah, peran NU dan Muhammadiyah perlu lebih nyata. (ribas)