Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Memang benar, di dunia Arab, kata Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (2003), karena sejarahnya bahasa oposisi dan bahasa negara menyatu menjadi bahasa agama.
Di Arab kombinasi antara agama dan politik telah terbukti sangat mudah melahirkan ledakan-ledakan. Hasilnya adalah suatu sikap yang tak kenal kasihan terhadap politik: pemenang akan mendapatkan segalanya. Kita lupa bahwa dunia Arab adalah padang pasir politik yang tak memiliki partai politik yang nyata, tak ada kebebasan pers, dan hanya sedikit jalan bagi oposisi untuk membangkang. Sebagai akibatnya maka rumah-rumah ibadat menjadi tempat untuk mendiskusikan politik, dan di sanalah semua kebencian oposisi terhadap rezim berkumpul dan tumbuh.
Politik di dunia Arab saat ini, baik berkenaan dengan negara atau oposisinya, merupakan kelanjutan atau bablasan dari politik masa lalu. Perdana Menteri Irak Nuri Al-Maliki (2014) dalam suatu pertemuan ofisial dengan pimpinan MPR RI di Baghdad, mengeluhkan fenomena masih maraknya orang memperdebatkan Tahkim, bahkan keabsahan para khalifah dalam era normatif khulafau Rasyidun (650), sebagaimana juga legitimasi Khalifah Muawiyah pada masa Umayyah. “Sampai kapan kita akan begini terus?”, demikian keluhnya.
Perebutan hegemoni politik
Itu semua adalah politik belaka untuk memperebutkan dan mempertahankan keseimbangan atau hegemoni di kawasan panas itu. Fatalnya sebagian umat Islam Indonesia memandang perpolitikan Arab yang kompleks tersebut secara agama dengan segala simplifikasinya. Malah dalam kasus Yaman diam-diam umat Islam Indonesia terpecah menjadi dua golongan: golongan yang mendukung serangan aliansi Arab yang dimotori Arab Saudi, dan golongan Islam yang lain mendukung al-Houthi yang didukung Iran. Ketika terjadi gelombang Arab-Spring yang ditandai dengan demonstrasi besar-besaran di Bahrain, Iran mendukung demonstrasi-demonstarsi untuk menggulingkan rezim, sementara Arab Saudi berada di pihak Emir yang berkuasa. Apalagi ketika Iran sudah sedemikian besar pengaruhnya di Irak, Suriah, Libanon (dengan Hizbullahnya). Yang pro-Wahabi mendukung setiap langkah politik intervensi Saudi, yang anti-Wahabi menghujat agresi Saudi.
Dan, ini fatalnya lagi, argumen yang mendasari dukungan tersebut adalah agama, bahkan, sektarian. Politik di Arab menjadi agama di Indonesia. Islamic State in Irak and Syria (ISIS) pun yang nota bene sepenuhnya gerakan politik, di Indonesia menjadi heboh karena dianggap sebagai gerakan agama belaka. Jika dulu di Barat ada olok-olok western thought, eastern religion, kini muncul lagi ungkapan yang sejenis: middle-estern politic, south-eastern Asia religion! Pasalnya, begitu terjadi sebuah pergumulan politik di dunia Arab ketika sampai di Indonesia disikapi sebagai persoalan agama. Sunni-Syiah yang di sana lebih dominan politiknya, di Indonesia lebih dominan teologinya.
Uniknya, sekaligus bedanya: di sana yang namanya politik benar-benar politik. Meski ada terjadi rivalitas politik yang keras antara Arab Saudi dan Iran tapi di sana tidak terdengar ada pengkafiran (takfiri) satu sama lain. Jutaan jamaah umrah dan haji dari Iran setiap tahun memasuki Saudi tanpa masalah. Artinya, Syiah dianggap Islam oleh Saudi yang Sunni-Wahabi. Mereka hanya bertentangan secara politik. Di Indonesia sebaliknya: melihatnya secara simplistis sebagai pertentangan agama.
Tentu, bahkan pasti, ada dimensi agamanya di sana. Tetapi dimensi ini hadir karena, pertama, Islam pada abad pertengahan adalah memang negara dan agama; kedua pemikiran yang hadir dalam pertarungan ideologis masa itu secara umum adalah pemikiran keagamaan. Maka sudah barang pasti agama memiliki kaitan langsung dengan politik. Tetapi, ini yang penting, itu semua hanya relevan di dunia Arab. Pasalnya, di sana hubungan antara pemikiran dan politik memang tidak hanya ditentukan oleh politik yang ada saat ini, tetapi juga ditentukan oleh politik masa lalu yang jauh itu. Dalam konteks dan perspektif ini, benar bahwa Sunni-Syiah itu warisan dan produk politik masa lalu. Dan sejarah Islam adalah sejarah politik. Historiografi Islam adalah historiografi perang dan politik.
Maka umat Islam Indonesia seyogyanya memandang fenomena konflik di Arab sekarang ini secara politik, jangan secara akidah, apalagi sektarian. Sebab sekte-sekte di Arab adalah politik! Indonesia tidak perlu ikut-ikutan mendukung dan mengutuk salah satu pihak dalam pergumulan politik di Arab. Politik di dunia Arab rumit dan kompleks. Seorang diplomat sebuah negara Arab di Jakarta pernah mengajari tokoh-tokoh Indonesia yang sedang berkumpul dalam suatu pertemuan di Jakarta begini: “politik Arab terlalu rumit bagi kalian. Kalian jangan terlibat terlalu dalam karena nanti kalian akan kecewa. Terhadap politik Arab”, demikian katanya dengan sangat meyakinkan dan percaya diri, “cukuplah bagi kalian dengan berpendapat saja atau menulis artikel yang berisi analisis politik di di media. Sebaiknya jangan lebih dari itu”.
Apalagi sudah biasa terjadi manakala dua negara Arab berperang maka seusai berperang kedua belah pihak biasa mengklaim sebagai pemenangnya dan merayakan kemenangannya itu dengan penuh keyakinan dan ribuan atau jutaan masa turun ke jalan-jalan dengan penuh antusiasme. Padahal menurut pandangan umum kedua pihak sama-sama hancur-hancuran alias dedel duel dengan kerugian materi dan korban jiwa yang tak terhitung besarnya.
Tentu kita harus menolak perang semata-mata karena perang bertentangan dengan roh Islam yang damai. Bukan mendukung atau menolak peperangan di kalangan bangsa Arab karena pretensi-pretensi keagamaan dan sektarianisme. Beginilah mestinya kita bangsa Indonesia memandang pergolakan politik dan militer yang begitu dahsyat di dunia Arab sampai dewasa ini.
—
Hajriyanto Y Thohari, Anggota PP Muhammadiyah (2015-2020), mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014).