YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sekolah Tarjih yang diselenggarakan oleh Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan berlangsung pada 12 s/d 13 Januari 2019 di Wisma Sargede Yogyakarta. Kegiatan ini dihelat sebagai ruang untuk memperkenalkan Majelis Tarjih baik dari segi sejarah, pemikiran, metode dan lain-lain kepada kader Muhammadiyah di berbagai daerah. Karenanya, gagasan Sekolah Tarjih lahir dari persepsi bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan – dimana Majelis Tarjih sebagai think tank-nya – perlu membuat satu kegiatan khusus yang dapat menjadi titik temu antara kader Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih.
Ajang yang berlangsung selama dua hari ini diikuti oleh 45 peserta dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Sebelum resmi menjadi peserta Sekolah Tarjih, mereka diseleksi dari tahap kelengkapan administrasi sampai penulisan esai. Alhasil, penyeleksian peserta memberikan dampak yang positif terlihat dari antusiasme mereka mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Sekolah Tarjih.
Di hari pertama, kegiatan Sekolah Tarjih dibuka secara resmi oleh Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Drs H Muhammad Fahmi Muqoddas, MHum. Sebelumnya, ustaz Fahmi memberikan sambutan yang isinya menegaskan tentang pentingnya manhaj tarjih dipahami dengan baik oleh seluruh peserta agar nantinya pengetahuan tersebut disebarkan di daerah masing-masing. Beliau menjelaskan bahwa manhaj tarjih merupakan metode istinbath hukum yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi, keteguhan iman dan toleransi. Walau terkesan sebagai gerakan puritan di satu sisi, jauh di dalam diri manhaj tarjih ini bersemayam kelenturan dan kemoderatan.
Setelah acara pembukaan, para peserta diajak bertamasya mengarungi bahtera serba-serbi Majelis Tarjih yang dipandu langsung oleh ustaz Ali Yusuf, SThI, MHum. Beliau menjelaskan pada tahun 1927 saat Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, gagasan mendirikan Majelis Tarjih muncul ke permukaan. Pendirian Majelis Tarjih secara formal baru diresmikan pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta tahun 1928 dengan KH. Mas Mansoer sebagai ketuanya. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh ustaz Ali, jauh sebelum Majelis Tarjih berdiri, spiritnya telah ada sejak KH. Ahmad Dahlan, yaitu ketika beliau megoreksi arah kiblat di masjid Gedhe Kauman.
Selesai materi serba-serbi Majelis Tarjih, peserta Sekolah Tarjih selanjutnya dibimbing oleh ustaz Wawan Gunawan Abdul Wahid, MAg. yang membawakan materi tentang Perspektif/Wawasan Tarjih. Dalam materinya dosen perbandingan mazhab UIN Sunan Kalijaga ini menyampaikan bahwa ada lima hal yang menjadi kekhasan manhaj tarjih, yaitu wawasan tentang Agama, tidak berafiliasi mazhab, toleransi, keterbukaan, dan tajdid. Melalui materi ini, para peserta semakin antusias lantaran pembawaan ustaz Wawan yang kadang diselingi humor segar serta joke-joke cerdas membuat siang yang cukup panas ketika itu tidak membuat kantuk peserta yang hadir.
Dalam Muhammadiyah, tajdid tidak dilakukan untuk menunjukkan arogansi intelektual, akrobat pemikiran atau sensasi pemberitaan. Tetapi tajdid difungsikan sebagai panduan, pencerahan, dan jalan keluar dari berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Karenanya ustaz Wawan memaparkan bahwa ciri khas tajdid Muhammadiyah ada dua, yaitu purifikasi dalam konteks akidah dan ibadah, dan dinamisasi dalam konteks muamalah. Misalnya, penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab).
Selain tajdid, ciri khas yang paling menonjol dari manhaj tarjih adalah tidak berafiliasi mazhab, meskipun demikian pandangan mazhab dapat menjadi pertimbangan putusan. Menurut ustaz Wawan, alasan utama Muhammadiyah tidak menisbatkan diri menjadi pengikut mazhab tertentu karena tidak ada perintah yang tegas dalam al-Qur’an maupun Sunnah untuk mengikuti pandangan mereka. Para imam mazhab juga menegaskan bahwa sekiranya pendapat mereka keliru dan menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah, maka jangan segan untuk meninggalkannya.
Selain itu, kenyataan yang kita saksikan di panggung sejarah, ketika pemikiran mazhab menyebar, aktivitas ijtihad terus mengalami kemandegan cukup parah, lalu lintas impuls pemikiran hukum Islam menjadi macet total bahkan menemui jalan buntu dengan dikumandangkannya pintu ijtihad telah tertutup. Karena itulah, menisbatkan diri pada mazhab tertentu merupakan katalisator paling bertanggungjawab terhadap munculnya fenomena taklid dalam diskursus fikih. Taklid jadi semacam penanggungjawab utama matinya kreativitas pemikiran hukum Islam. Meski demikian, Muhammadiyah sama sekali tidak anti dengan pemikiran mazhab.
Misalnya tentang badal haji, Muhammadiyah sependapat dengan pandangan Imam Syafi’i, tapi tidak sependapat dengan beliau mengenai qunut salat subuh. Walaupun dalam akidah Muhammadiyah lebih dekat dengan pemikiran Ibnu Taimiyah, namun Muhammadiyah tidak sependapat dengan Syaikh al-Islam yang mengatakan bahwa penggunaan hisab sebagai metode penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan hukumnya haram. Meski Muhammadiyah sangat menghormati Imam Abu Hanifah dan segala kontribusinya, tapi Muhammadiyah tidak mengikuti pandangan beliau tentang jumlah rakaat salat tarawih. Di sini cukup jelas posisi Muhammadiyah tidak seperti ungkapan filsuf Yunani kuno Protagoras. Kalimatnya yang terkenal berbunyi man is the measure of all think, yaitu manusia adalah ukuran segala sesuatu.
Setelah ustaz Wawan memaparkan panjang lebar tentang Perspektif/Wawasan Tarjih, materi selanjutnya diampu oleh ustaz Ruslan Fariadi, SAg, MSI. Pada kesempatan sore itu ustaz Ruslan memaparkan materi tentang Sumber Ajaran Agama yang meliputi pandangan Majelis Tarjih terhadap al-Qur’an, Hadis, ijma’ dan qiyas. Dalam pandangan Majelis Tarjih, al-maṣadir al-muttafaq ‘alaihā atau sumber hukum Islam yang disepakati hanya ada dua, yaitu: al-Qur’an dan al-Sunah, sedangkan ijma’, qiyas, istishlah, istihsan, dan lain-lain dipandang sebagai sumber paratekstual atau instrumental.
Penjelasan ustaz Ruslan semakin diperkaya saat malam hari. Tiba giliran ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul Anwar, MA memberikan kuliah tentang pendekatan, dan metode yang digunakan dalam Manhaj tarjih Muhammadiyah.
Menurut beliau, metode yang digunakan Majelis Tarjih ada dua, yaitu: asumsi integralistrik dan asumsi hirarkis. Dengan adanya kedua metode ini, Putusan Tarjih harus tersusun melalui alur norma berjenjang: nilai-nilai dasar (al-qiyām al-asāsiyah), asas-asas umum (al-uṣul al-kulliyah), dan norma-norma konkret (al-ahkām al-far’iyyah). Adanya asumsi hirarkis ini membuat fikih Muhammadiyah begitu unik lantaran akan terhindar dari perdebatan melelahkan seputar hal-hal yang bersifat halal-haram, dosa-pahala, dan sunnah-bid’ah, namun justru menawarkan gagasan yang lebih holistik, karena nantinya akan memadukan semua aspek syariah, yaitu teologis, moral-etik, dan yuridis.
Setelah menjelaskan apa yang disebut oleh ustaz Syamsul sebagai teori pertingkatan norma itu, beliau kembali membawanya pada pembahasan tentang ‘illat, satu bahasan yang sangat penting dalam pemikiran hukum Islam. Menurut beliau, ‘illat terbagi dua bagian, yaitu: Pertama, “al-‘illah al-fā’ilah” atau kausa efisien. Kedua, “al-‘illah al-ghā’iyyah” atau kausa finalis.
Dalam penjelasan ustaz Syamsul, al-‘illah al-fā’ilah adalah penyebab ditetapkannya suatu ketentuan hukum dan ‘illat ini mendahului penetapan hukum. Contoh, ijab qabul adalah ‘illat sahnya suami istri berhubungan badan. Tindak pidana korupsi adalah ‘illat dari jatuhnya hukum potong tangan. Sedangkan al-‘illah al-ghā’iyyah adalah tujuan yang hendak diwujudkan melalui suatu penetapan hukum. Menurut prof. Syamsul, ‘illat ini terwujud setelah, dan didahului oleh, penetapan hukum. Contoh, pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, sah tidaknya sebuah perceraian harus ditentukan di pengadilan, tujuannya agar menekan tingkat perceraian dan menghindari kesewenangan talak yang mungkin dijatuhkan oleh suami tanpa alasan yang logis dan sah. Menurut beliau, al-‘illah al-ghā’iyyah atau kausa finalis inilah yang sesungguhnya merupakan maqāṣid al-syarī’ah.
Berdasarkan penjelasan di atas nampaknya manhaj tarjih ingin memberikan satu pelajaran penting kepada kita bahwa penetapan hukum jangan dilihat secara monolitik (misalnya hanya dihukumi haram), tetapi harus menyeluruh berdasarkan al-‘illah al-ghā’iyyah atau kausa final. Dengan pembacaan yang seperti ini, kita akan melihat segala objek hukum dengan adil dan proporsional, tidak melulu halal dan juga tidak selalu haram.
Misalnya, pandangan Majelis Tarjih tentang menggambar, melukis dan membuat patung. Saat sebagian kelompok Islam mengharamkan melukis dan membuat patung, Majelis Tarjih dengan menggunakan metode pembacaan teks yang menyeluruh (istiqrā), aktivitas melukis dan membuat patung dihukumi tiga bentuk tergantung al-‘illah al-ghā’iyyah, yaitu bisa haram, makruh, dan mubah. Melukis dan membuat patung dapat menjadi haram manakala disembah, dan dapat menjadi mubah manakala dijadikan media pembelajaran. Oleh karenanya, penentuan hukum yang bersifat konkret dan praktis agar tidak monolitik harus memakai kerangka kausa final atau maqāṣid al-syarī’ah atau al-‘illah al-ghā’iyyah.
Selain metode, ustaz Syamsul juga menjelaskan bahwa Majelis Tarjih menggunakan tiga pendekatan sekaligus, yaitu bayani, burhani, dan irfani. Banyak peneliti menilai bahwa ketiga pendekatan tersebut terinspirasi dari proyek kritik nalar Arab-nya Muhammad Abid Al-Jabiri. Secara singkat al-Jabiri mencoba merumuskan kerangka teoritik dari tiga masalah umat sekaligus. Pertama, kecenderungan sufistik yang mereduksi segala sesuatu menjadi “mistis”, yang lepas dari realitas. Kedua, tendensi filosofis yang mereduksi semuanya harus masuk akal. Ketiga, tendensi hukum yang mereduksi segalanya harus selaras dengan teks.
Atas dasar ini dalam pemaparannya, ustaz Syamsul menyampaikan bahwa di dalam Manhaj tarjih, penggunaan ketiga pendekatan tersebut tidak dibiarkan berjalan paralel, karena nilai manfaat yang dapat diraih akan sangat sedikit. Begitu juga tidak dibiarkan hubungan antara yang satu dengan lainnya bersifat linier, karena hanya memunculkan yang satu lebih unggul dari yang lainnya. Akan lebih baik jika ketiganya dijalin berkelindan dan mencari tali sintesa agar lebih fungsional.
Ada pun materi terakhir disampaikan oleh ustaz Atang Sholihin, SThI yang memaparkan tentang Fikih Ibadah. Dalam penyampaiannya, alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini menjelaskan bahwa untuk mencapai kata sepakat dalam ijtihad jama’i begitu sulit karena setiap kepala memiliki satu kesimpulan yang berbeda. Alotnya mencapai kata sepakat menandakan bahwa Majelis Tarjih dalam memutus suatu perkara selalu ditandai dengan kehati-hatian, tidak serba simplikatif dalam memutus suatu hukum, serta selalu mempertimbangkan titik paling mashlahat antara idealisme hukum dan realitas sosial. Buktinya, menurut beliau, satu persoalan dapat diselesaikan hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Kemudian, beliau menutup kajiannya dengan menyampaikan bahwa Majelis Tarjih terbuka dengan kritik dan masukan apabila terdapat sesuatu yang keliru di dalam fatwa maupun putusan tarjih.
Seluruh rangkaian kegiatan di hari pertama sukses dijalankan dengan baik. Pukul 23.00 WIB nampak peserta masih saling menyapa satu sama lain, mereka mulai mencair, ngobrol banyak hal tentang beratnya jadi kader Muhammadiyah di daerah pedalaman. Walau terlihat masih bersemangat saling menukar informasi, namun kesan lelah di raut wajah mereka jelas tidak dapat dibohongi.
Hari kedua Sekolah Tarjih dilaksanakan dengan format yang berbeda dengan sebelumnya. Kini para peserta dituntut untuk mengaplikasikan manhaj tarjih yang telah mereka peroleh dari para pakar. Dibagi lima kelompok dengan ketentuan masing-masing kelompok mendapatkan satu permasalahan yang perlu dijawab dengan menggunakan manhaj tarjih Muhammadiyah. Ada pun masalah yang diangkat, yaitu: shalat tarawih 23 rakaat, hukum merokok, permasalahan wakaf, hukum memainkan alat musik, dan penggunaan rukyat.
Setelah berdiskusi membahas persoalan masing-masing kelompok, hasil temuan mereka kemudian dikumpulkan dalam sidang pleno. Masing-masing ketua dan sekretaris setiap kelompok maju ke depan mempresentasikan temuan-temuan dan kesimpulan mereka di hadapan kelompok lain. Terjadi tukar pikiran dan gagasan antar kelompok. Walhasil, dengan interval waktu yang relatif singkat, sedikit demi sedikit mereka mulai memahami bagaimana menggunakan manhaj tarjih untuk satu persoalan hukum.
13 Januari 2019 pukul 12.00 WIB Sekolah Tarjih ditutup secara resmi oleh Kepala Pusat Tarjih Niki Alma Febriana Fauzi, SThI, MUs. Dalam sambutannya beliau berpesan agar pengetahuan tentang ketarjihan tidak hanya disimpan dalam diri pribadi tetapi juga dapat ditularkan ke daerah masing-masing. Beliau juga mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah ikut rembug mendukung kesuksesan kegiatan ini, di samping itu juga mengucap maaf kepada seluruh peserta manakala ada kesalahan dan kekhilafan. (Ilham Ibrahim)
Baca juga:
Pengajian Tarjih 23: Refleksi Islam Berkemajuan