YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dunia diciptakan Allah sebagai tempat untuk berjuang. Berbeda dengan akhirat yang merupakan tempat memetik hasil. Selama hidup di muka bumi, segala musim kehidupan datang dan pergi silih berganti. Semua jenis manusia dengan berbagai karakter kejahatan dan kebaikan juga bisa ditemui. Menghadapi realitas ini, manusia harus terus berusaha dan tidak boleh berputus asa.
“Dunia ini memang diciptakan seperti ini,” tutur Buya Ahmad Syafii Maarif dalam Kultum seusai shalat Zuhur di Mushala Grha Suara Muhammadiyah, 22 Januari 2019. Menurutnya, dunia diperuntukkan bagi semua manusia. Tidak mungkin bisa hanya dihuni oleh orang yang baik dan orang beriman saja.
Buya Syafii mengutip Quran Surat Nuh yang menceritakan perjuangan Nabi Nuh dalam mendakwahkan ajaran agama dan kebenaran. Siang dan malam dalam durasi yang panjang, Nabi Nuh berjuang keras untuk mengajak kaumnya. Usianya yang mencapai ratusan tahun juga tidak mampu membuat kaumnya berubah. Hanya sedikit sekali yang mau membenarkan ajaran yang dibawa Nabi Nuh.
Saking frustasi karena dakwahnya tidak berhasil, ungkap Buya Syafii, Nabi Nuh hendak menyerah. Nabi Nuh sampai berdoa supaya Allah membinasakan semua orang kafir yang telah membangkang. QS. Nuh ayat 26 menyatakan: wa qāla nụḥur rabbi lā tażar ‘alal-arḍi minal-kāfirīna dayyārā… (Dan Nuh berkata: Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi…)
“Tapi doa Nabi Nuh tidak dikabulkan. Orang kafir tetap ada di muka bumi. Maka caranya adalah hidup saling menghormati,” kata Buya Syafii. Artinya, Allah memberikan hak bagi semua jenis manusia. Dan tugas orang-orang beriman adalah mengajak pada kebenaran dan kebaikan dengan semua kemungkinan keadaan yang dihadapi.
Supaya bisa hidup saling menghormati, ungkap Buya Syafii, maka kita harus memiliki pemikiran yang melampaui sekat-sekat sempit. Terutama umat Islam, harus memiliki pemikiran besar yang melintas. Menurut Buya Syafii, sikap ini dimiliki oleh para pendahulu Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan merupakan sosok yang memiliki pikiran dan nyali yang besar.
“Muhammadiyah lahir tidak di ruang kosong. Ada warna budaya di situ, ada warna politik, ada warna moral juga di situ. Pada mulanya, lingkungan Keraton itu penganut Islam kulit luar, Kiai Dahlan melakukan revolusi besar,” ulasnya. Pemberontakan Kiai Dahlan ini tidak mudah. Banyak yang mulanya menentang, namun diam-diam justru dibenarkan dan diikuti. Sultan Hamengkubuwana VII termasuk yang mendukung.
Buya Syafii melihat bahwa ada nilai penting yang membuat Muhammadiyah bisa bertahan lebih dari seabad. Sementara, banyak organisasi sezaman telah bubar dan menyusut. “Bertahan lebih 100 tahun dan belum ada tanda-tanda akan menyusut ini prestasi luar biasa, tapi ke dalam harus terus diperkokoh,” ujarnya.
Mengokohkan ke dalam yang dimaksud Buya Syafii adalah dalam hal peningkatan kapasitas intelektual para tokoh Muhammadiyah dan pewarisan nilai-nilai para pendahulu Muhammadiyah. “Para tokoh Muhammadiyah harus paham dan banyak membaca. Baca buku karangan Kiai Syuja, Kiai Hadjid,” tukasnya. Ketika nilai-nilai pendahulu dan kadar intelektual tidak dijaga, maka dikhawatirkan organisasi tersebut akan buta sejarah dan berjalan tidak pada relnya.
“Sejarah adalah sebagai sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan. Sejarah ini sekaligus untuk menunjukkan arah ke masa depan. Orang yang tidak membaca sejarah, maka akan gagal melihat realitas,” ujar Buya Syafii.
Buya mencontohkan tentang kegagalan kelompok Salafi-Wahabi membaca sejarah dan realitas. Para pengikut kelompok ini hanya menyerap dimensi tauhid murni atau aspek akidah saja dari para pendahulunya. “Dimensi intelektual Ibnu Taimiyah tidak diserap oleh Wahabi dan pengikutnya, maka agama menjadi hitam putih,” ungkap Buya Syafii dalam kultum bersama awak redaksi. Turut dihadiri sahabat Buya Syafii sesama sesepuh Muhammadiyah, HM Muchlas Abror. (ribas)
Baca juga:
Kultum Buya Syafii Maarif: Muhammadiyah Harus Memunculkan Dahlan-Dahlan Baru
Kultum Buya Syafii Maarif: Esensi Syariat adalah Tegaknya Keadilan
Kultum Haedar Nashir: Upaya Muhammadiyah Internasionalisasi Islam Indonesia
Kultum Buya Syafii Maarif: Menjadi Pemenang dalam Perlombaan Peradaban