YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Seminar Internasional bertema ‘Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara Berkemajuan untuk Dunia’ di Balai Senat UGM, 25 Januari 2019. Kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Prof Malik Fadjar dan Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo, Buya Ahmad Syafii Maarif, KH Yahya Cholil Staquf, Prof Mark Woodwark, dan Prof Azyumardi Azra.
Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir menyatakan bahwa Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia terus berupaya memproyeksikan Islam Indonesia yang rahmatan lil alamin ke pentas dunia dalam 15 tahun belakangan ini. Hal itu dilakukan melalui berbagai forum internasional, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Semua itu didukung penuh oleh Muhammadiyah dan NU.
“Wajah Islam yang damai dan moderat menjadi aset Indonesia dalam negosiasi damai di tingkat dunia. Indonesia adalah negara yang paling aktif dalam menyelenggarakan dialog lintas agama,” katanya. Hal ini merupakan bukti tindakan nyata Islam Indonesia membumikan damai dalam kehidupan. Di Afghanistan sudah berdiri NU. Demikian juga dengan Muhammadiyah yang menawarkan Islam Indonesia di Thailand dan Filipina. “Muhammadiyah dan NU memberi perspektif Islam alternatif,” ungkap Fachir.
Menurutnya, tantangan dunia hari ini semakin kompleks. Pertama, dunia dipenuhi oleh ketidakpastian. “Dunia mulai kehilangan kepemimpinan global. Fenomena negara yang berbalik arah 180 derajat,” ulasnya. Banyak negara yang dulunya terbuka, justru kini menutup diri. Negara yang dulunya mengkampanyekan demokrasi, sekarang berubah haluan. Negara yang dulu menggembar-gemborkan HAM, sekarang bahkan menutup ruang bagi pengungsi korban perang. “Kita marak melihat negara yang mengedepankan kepentingannya sendiri. Dampaknya luas bagi tatanan global. Dunia terbelah antara with us or them,” tukasnya.
Kedua, kondisi umat Islam masih memprihatinkan. Umat Islam dunia masih banyak yang dilanda konflik, kemiskinan, tidak berpendidikan, memprihatinkan. Kondisi ini sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad: akan datang suatu masa ketika umat seperti buih. Besar secara kuantitas, namun tidak dapat memberi manfaat bagi komunitas di sekitarnya.
Ketiga, persepsi negatif terhadap Islam. Banyak masyarakat dunia yang melihat Islam mendorong terorisme dan kekerasan, Islam dan demokrasi tidak bisa berjalan. Negara Barat masih menjatuhkan stigma negatif terhadap Islam.
Dalam kondisi seperti ini, kata AM Fachir, masyarakat Indonesia khususnya muslim, harus terus mempertahankan identitasnya yang moderat, hidup rukun di tengah bingkai kemajemukan. Antara Islam dan nasionalisme berjalan seiring.
“NU dan Muhammadiyah harus jadi perekat. Kepentingan politik ekonomi jangka pendek jangan sampai mengorbankan apa yang diperjuangkan selama ini. Lebih penting dari itu, Islam Indonesia harus menunjukkan kerja nyata. Stigma negatif tidak bisa hanya dilawan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. Beri bukti bukan janji,” ulasnya. Bukti nyata itu harus ditunjukkan dalam kerja di bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, penegakan HAM dan demokrasi.
Dalam rangka mepromosikan Islam damai dan merebut narasi publik, kata Fachir, kemasan tidak kalah penting dibandingkan isi. Narasi tentang Islam harus menarik dan memanfaatkan teknologi. Dengan memanfaatkan modal teologi damai, tindakan nyata, dan dakwah yang massif, maka usaha untuk memproyeksikan Islam Indonesia di pentas dunia akan membuahkan hasil.
Buya Ahmad Syafii Maarif dalam paparannya menyatakan bahwa Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan. “Di era politik pasca kebenaran ini bisa melahirkan seorang Donald Trump. Dulu negara demokrasi bisa melahirkan seorang Hitler,” katanya. Gejala ini perlu dicarikan solusi bersama.
Nasib Indonesia, di mata Buya Syafii, masih relatif lebih baik dibandingkan dengan banyak negeri Arab yang sedang jatuh. “Dengan segala kekurangan, kita lebih baik,” katanya. Meskipun ada oknum yang berusaha mengimpor konflik tersebut ke Indonesia. “Peradaban yang sedang membusuk dibeli juga. Sebagian Muslim non-Arab tidak bisa membedakan antara Islam otentik dan misguided arabism,” ujarnya.
Menurutnya, sesuai dengan QS Al Anbiya ayat 107, keberadaan kita sebagai umat Islam harus menjadi ramatan lil alamin, membawa rahmat dan damai bagi semua. Qur’an memberi petunjuk dalam mengelola kehidupan bersama di muka bumi. Semua manusia dari beragam latar identitas suku, ras, agama, diberikan hak untuk hidup. “Qur’an jauh lebih toleran dibanding sebagian kita,” katanya.
Buya Syafii merujuk pada QS. Yunus 99: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” Pada ayat lainnya, “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan- Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Ma’idah: 48).
Di seluruh dunia hari ini, populasi Muslim mencapai 1,6 Milyar dari jumlah penduduk dunia. “Tidak ada negara yang tidak ada Muslimnya,” kata Buya Syafii. Namun, problemnya adalah dalam hal peningkatan kualitas dan keunggulan Muslim, sehingga menjadi khairu ummah sebagaimana predikat yang diharapkan oleh al-Qur’an.
Dalam kesempatan ini, Buya Syafii Maarif mendukung penuh rencana pengajuan nominasi nobel perdamaian bagi Muhammadiyah dan NU. “Nominasi nobel perdamaian ini punya landasan. Kalau kedua organisasi ini menang, dunia akan gempar dalam arti positif,” katanya. Islam Indonesia akan menjadi antitesis atau antidot (penawar racun) bagi wajah Islam global, Islam Indonesia tidak punya beban sejarah masa lalu. Oleh karena itu, inisiasi ini perlu didukung.
“Banyak negara Timur Tengah tidak punya kekuatan sipil yang kuat seperti di Indonesia,” ujar Buya Syafii. Kebanyakan negara lain hanya memiliki kekuatan militer dan politik. Mesir misalkan, memiliki Ikhwanul Muslimin yang berjuang puluhan tahun untuk merebut tampuk kekuasaan, ketika menang, mereka hanya memikirkan kelompoknya sendiri.
KH Yahya Cholil Staquf memiliki pendapat senada. Menurutnya, dalam tradisi banyak negara, agama kerap diidentikkan sebagai identitas negara. Indonesia dengan landasan Pancasila justru berbeda. “NU dan Muhammadiyah mengukuhkan otoritas keagamaanya sendiri, tidak bergantung pada Timur Tengah,” katanya. Ketika Majelis Tarjih Muhammadiyah atau Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama mengeluarkan Fatwa, maka negara tidak bisa melakukan intervensi.
Wajah dunia Islam, kata Kiai Yahya, mengalami perubahan demografi. Selain itu juga menghadapi tantangan globalisasi yang meruntuhkan sekat-sekat identitas sempit. “Fenomena ini harus direspons oleh Islam sebagai agama,” katanya. Muhammadiyah dan NU dianggap telah berbuat untuk merespons perubahan zaman. “Ijtihad sudah menjadi tradisi Muhammadiyah dan NU, untuk merespon zaman. Dan belahan dunia Islam lain gagal merespons zaman secara positif,” ulasnya.
Sementara itu, cendekiawan Muslim Azyumardi Azra menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling beruntung karena memiliki ekspresi keagamaan Islam yang kompatibel dengan budaya. Kehadiran Muhammadiyah dan NU dianggap telah mengukuhkan wajah Islam yang moderat dan ramah budaya.
Hal lainnya yang membuat Indonesia perlu bersyukur adalah karena adanya dua organisasi massa Islam terbesar yang menjadi kekuatan civil society yang kuat. “Asia selatan dan Timur Tengah tidak ada middle power, hanya ada militer dan organisasi politik,” katanya. Kedua organisasi ini telah mengalami banyak konvergensi keagamaan dalam 20 tahun terakhir. Oleh karena itu, hampir tidak ditemukan adanya gesekan yang berarti. Keduanya saling melengkapi dan menguatkan. Kedua organisasi ini mampu mengelola kemajemukan dengan baik. (ribas)
Baca juga:
Muhammadiyah dan NU Dinominasikan Raih Nobel Perdamaian
Sumbangan Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi