YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) sedang mempersiapkan dokumen pengajuan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai kandidat penerima penghargaan Nobel Perdamaian. Kedua organisasi ini dianggap menawarkan wajah Islam Indonesia yang moderat dan berkonstribusi pada cita-cita perdamaian dan demokrasi.
Penghargaan Nobel Perdamaian diinisiasi oleh Alfred Nobel. Sejak 1901, penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada tokoh yang telah memberikan upaya terbesar atau terbaik bagi persaudaraan antar bangsa, bagi penghapusan atau pengurangan angkatan bersenjata, dan bagi pelaksanaan atau promosi kongres perdamaian. Penerimanya dipilih oleh Komite Nobel Norwegia, sebuah komite berisikan lima anggota yang dipilih oleh Parlemen Norwegia.
Pengajuan Muhammadiyah dan NU jadi nominator nobel perdamaian ini didukung penuh oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan banyak tokoh. Di antaranya Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI di Norwegia dan Islandia Todung Mulya Lubis, serta Guru Besar Antropologi Universitas Boston Amerika Serikat Robert W Hefner.
Kepala PSKP UGM Muhammad Najib Azca mengatakan bahwa wajah dunia Islam secara global yang banyak direpresentasikan oleh Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan, yang cenderung identik dengan sikap anti demokrasi, kekerasan, terorisme, hingga ekstremisme.
“Islam Indonesia bisa berkelindan dengan demokrasi. Dalam lanskap demokrasi dan perdamaian global, Indonesia mencatatkan prestasi luar biasa dan terus menanjak,” ungkapnya dalam Seminar Internasional bertema ‘Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara Berkemajuan untuk Dunia’ di Balai Senat UGM, 25 Januari 2019.
“Di tengah konflik dan kekacauan yang melanda dunia terutama di negara-negara Muslim di Timur Tengah, Islam di Indonesia berjalan beriringan bersama pembangunan demokrasi dan perdamaian. Salah satu faktor utama di balik pencapaian gemilang ini adalah peranan aktif organisasi-organisasi masyarakat sipil Islam di Indonesia,” tutur Najib.
Kedua ormas ini dinilai berperan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia karena mengembangkan argumen-argumen keagamaan yang selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan penguatan masyarakat sipil. Selain itu, kedua ormas Islam ini juga aktif berkontribusi dalam proses pembangunan perdamaian (peacebuilding) di kancah regional dan internasional.
“Muhammadiyah dan NU berperan kunci dalam proses transisi demokrasi di Indonesia,” ujarnya. Selain itu, kedua kekuatan civil Islam ini berperan penting dalam bina damai di aras nasional, regional, dan internasional yang melintas batas suku agama dan bangsa. oleh karena peranan besarnya itu, kedua organisasi ini dianggap sangat layak untuk meraih Nobel Perdamaian.
Rektor Universitas Gadjah Mada Prof Panut Mulyono juga memiliki pendapat serupa. Menurutnya, Muhammadiyah dan NU telah berperan penting secara nyata dalam transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Proses transisi hanya bisa berjalan berkat dukungan yang luas dari komponen masyarakat sipil. Di sinilah peran Muhammadiyah dan NU melalui kekuatan struktural dan sayap kultural yang terus melakukan upaya untuk mengokohkan demokrasi dan perdamaian, bahkan di pentas internasional.
“Muhammadiyah dan NU menjadi antidot dari wajah Islam global,” tuturnya. Oleh karena itu, UGM mendukung penuh Muhammadiyah dan NU sebagai penerima nobel perdamaian, sebuah penghargaan prestisius internasional. Kedua organisasi ini telah berkonstribusi aktif dan positif dalam menyebarkan Islam yang damai dan demokratis bagi dunia. “Pengajuan Nobel Perdamaian ini menjadi sumbangsih dan prasasti UGM untuk perdamaian dan demokrasi di Indonesia dan dunia,” tukas Panut Mulyono.
UGM juga menghadirkan mantan Presiden Timur Leste dan sekaligus penerima Nobel Perdamaian tahun 1998 Jose Manuel Ramos Horta, untuk menyampaikan materi tentang ‘Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara Berkemajuan untuk Dunia” dalam seminar yang juga dihadiri beberapa tokoh. Di antaranya Buya Ahmad Syafii Maarif, KH Yahya Cholil Staquf, Prof Mark Woodwark, dan Prof Azyumardi Azra.
Ramos Horta mendapat anugerah Nobel Perdamaian bersama dengan Uskup Carlos Belo, karena dinilai berperan aktif dalam mewujudkan solusi damai dan adil dalam proses transisi di Timor Timur. Usai menjabat sebagai presiden pada tahun 2012, Horta dipercayakan oleh Sekjen PBB saat itu, Ban Ki Moon, untuk menjadi perwakilan khusus di Guinea Bissau. Horta berhasil mengemban misi membawa negara tersebut mengadakan pemilu yang demokratis dan sukses melewati proses transisi kekuasaan yang damai. (ribas)
Baca juga:
Sumbangan Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi
Inspirasi Islam Damai Nusantara Berkemajuan untuk Dunia
Misi Kemanusiaan, Muhamamdiyah Aid Bangun Sekolah hingga BLK untuk Pengungsi Rohingya